Friday, December 30, 2016

Babi dan Penjajahan di Tanah Batak

Foto : Horbo (Kerbau) Sebelum Disembelih
Siporsuk Na Mamora - Akhir-akhir ini sangat santer kudengar nama "babi", kadang-kadang dalam menanggapi tulisanku, sering juga tersebut nama itu, mungkin maksudnya aku "babi", takkan tersinggung mendengar itu, aku ambil positivnya saja, mungkin itu singkatan dari "banyak bicara".

Baiklah, jangan kita terpaku pada sebutan "babi", kita coba lihat tentang "babi" ini dalam konteks peradaban dan upaya pengkerdilan fikiran atas dasar penguasaan wilayah dan strategi penjajahan di era penjajahan kolonial.

Ada sebutan jaman dahulu yang mengatakan bahwa "hanya orang kaya yang bisa melaksanakan adat", itu tentu terjadi di Tapanuli, bukan di Jawa. Kenapa demikian? Karena memang, jaman itu banyak orang-ornag "cilik" yang tidak mampu melaksanakan adat karena ketidak mampuan membeli "horbo = kerbau".

Dalam budaya Batak, adat itu dilaksanakan dengan korban hewan "kerbau", silahkan anda lihat kalau anda masih ragu dan kita pelajari bersama. Intinya, dalam setiap pelaksanaan adat istiadat Batak jaman dulu itu mesti menggunakan "horbo", bahkan dalam sejarahnya saya tidak pernah membaca adanya kesepakatan bersama untuk perubahan bahwa adat Batak itu sah dilakukan dengan korban "babi".

Dalam konteks perekonomian yang mayoritas "miskin", maka banyak masyarakat yang saat itu tidak mampu melaksanakan prosesi adat kecil maupun besar, sehingga yang bisa melaksanakan adat istiadat terbatas dan pada umumnya mereka yang “marappuna = kaya/mampu”.

Kenyataan ini menjadikan ketimpangan kedudukan sosial masyarakat semakin kontras antara orang kaya yang mampu melaksanakan "paradaton" dan orang miskin yang tidak mampu melaksanakan “paradaton”.

"Maradat" dalam kehidupan sosial orang Batak mengandung makna "terhormat", dan sebaliknya "Dang Maradat" itu artinya kedudukan yang sanagat "Hina" atau "tidak punya kehormatan" di lingkup kehidupan sosial ber-Batak.

Kemudian, di perjalanan kehidupan selanjutnya, kolonial memandang sebuah celah disini untuk mengambil "hati" rakyat kecil, mereformasi kehidupan sosial, dengan melemparkan istilah "Hamoraon, hagabeon dan hasangapon" dengan tujuan agar memperkeruh suasana terlebih dahulu.

Pesannya yang dilempar memang manis, tapi arti dibaliknya akan menjadi petaka bagi orang Batak itu sendiri.

Kita lihat pesan yang sebenarnya : Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon artinya adalah Kekayaan, Berketurunan, dan Kehormatan.

Tertanamnya pemahaman ini terlabih dahulu di masyarakat Batak sangat penting untuk mempermudah melempar opini kebencian terhadap penguasa tanah Batak Raja Sisingamangaraja XII dikemudian hari berikutnya. Bahkan, tiga istilah ini dalam perkembangannya belakangan dijadikan oleh beberapa orang Batak sebagai Filosofi, saya hanya heran aja, kok filosofi hidup begitu?

Baiklah, selanjutnya apa yang direformasi?

Begini, ketika anda tidak bisa "maradat" itu berarti tidak terhormat, akibatnya adalah kemiskinan atau ketidak mampuan membeli "kerbau" yang sangat mahal, kemudian keturunan andapun takkan dihargai di lingkup sosial orang Batak ketika orang tua "tidak maradat". Intinya, ketika anda miskin, anda takkan bisa melaksanakan adat, dan bagaimana lagi kalau berketurunan apalagi untuk mendapatkan kehormatan.

Bummmm...! Masuklah tipu muslihat penjajah, caranya dengan menyodorkan "babi" yang kepada masyarakat disebut "horbo na gelleng = sama-sama berkaki empat", manfaatnya agar masyarakat kecil yang tidak mampu membeli kerbau, bisa melaksanakan adat dengan menggunakan “babi” dan kemudian memiliki kehormatan serta anak-anaknya akan serta merta memperoleh kehormatan di lingkungan sosial.

Penyematan kebenciannya dimana? Jelas kita sama-sama tahu, bahwa para Raja di tanah Batak waktu itu adalah para penegak aturan adat dan pemahaman bahwa adat yang benar itu harus dilaksanakan dengan pemotongan "kerbau", jika ada hewan yang lain, itu bukanlah adat.

Akibat dari tipu muslihat penjajah yang telah menjadi pemahaman di masyarakat kecil berujung pada kebencian orang-orang berperekonomian "miskin" kepada Raja dan pengikutnya. Tipu muslihat Belanda berhasil menarik simpatik para kaum "miskin" di desa-desa.

Para kaum “miskin” berpendapat setelah mereka melaksanakan “adat” dengan korban “babi” maka mereka akan mendapat kehormatan yang sama dengan para Raja dan orang “kaya” dilingkungan mereka.

Anda jangan mengira bahwa ada kaitan paham agama antara ketidak mauan Raja Sisingamangaraja XII memakan babi beserta para keturunannya dan pengikutnya hingga hari ini, itu tidak berkaitan sama sekali. Persoalannya adalah mempertahankan paham adat leluhur itu sendiri yang dalam melaksanakan adat haruslah dengan korban “napinahan” kerbau, tidak ada istilah "pinahan/hewan pengganti".

Hal ini juga bukti bahwa tidak ada kaitannya ciri "khas" Batak itu pemakan "babi", itu hal yang sangat menghina kufikir. Walaupun pada perkembangannya saya akui bahwa daging Babi itu memang enak, tapi tetap, tidak bisa dijadikan sebagai alternatif korban ternak di "paradaton" yang benar.

Begitulah dulu ceritaku siang ini, jangan bingung dan jangan bimbang kawan dan jangan marah-marah lagi, kita mungkin akan sepakat kalau kita bicara kopi Lintong saja ya, kopi minuman para raja, bukan kopi import, dan paling enak membacanya sambil minum kopi, kalau tidak nanti emosionalmu meledak-ledak!

Paling seru lagi kalau ada bantahan dan argumentasi lain, supaya diskusi kita semakin bermanfaat. 

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon