Foto : Horbo (Kerbau) Sebelum Disembelih |
Siporsuk Na Mamora - Akhir-akhir ini sangat santer
kudengar nama "babi", kadang-kadang dalam menanggapi tulisanku,
sering juga tersebut nama itu, mungkin maksudnya aku "babi", takkan
tersinggung mendengar itu, aku ambil positivnya saja, mungkin itu singkatan
dari "banyak bicara".
Baiklah,
jangan kita terpaku pada sebutan "babi", kita coba lihat tentang
"babi" ini dalam konteks peradaban dan upaya pengkerdilan fikiran
atas dasar penguasaan wilayah dan strategi penjajahan di era penjajahan
kolonial.
Ada
sebutan jaman dahulu yang mengatakan bahwa "hanya orang kaya yang bisa
melaksanakan adat", itu tentu terjadi di Tapanuli, bukan di Jawa. Kenapa
demikian? Karena memang, jaman itu banyak orang-ornag "cilik" yang
tidak mampu melaksanakan adat karena ketidak mampuan membeli "horbo =
kerbau".
Dalam
budaya Batak, adat itu dilaksanakan dengan korban hewan "kerbau",
silahkan anda lihat kalau anda masih ragu dan kita pelajari bersama. Intinya,
dalam setiap pelaksanaan adat istiadat Batak jaman dulu itu mesti menggunakan
"horbo", bahkan dalam sejarahnya saya tidak pernah membaca adanya
kesepakatan bersama untuk perubahan bahwa adat Batak itu sah dilakukan dengan
korban "babi".
Dalam
konteks perekonomian yang mayoritas "miskin", maka banyak masyarakat
yang saat itu tidak mampu melaksanakan prosesi adat kecil maupun besar,
sehingga yang bisa melaksanakan adat istiadat terbatas dan pada umumnya mereka
yang “marappuna = kaya/mampu”.
Kenyataan
ini menjadikan ketimpangan kedudukan sosial masyarakat semakin kontras antara
orang kaya yang mampu melaksanakan "paradaton" dan orang miskin yang
tidak mampu melaksanakan “paradaton”.
"Maradat"
dalam kehidupan sosial orang Batak mengandung makna "terhormat", dan
sebaliknya "Dang Maradat" itu artinya kedudukan yang sanagat
"Hina" atau "tidak punya kehormatan" di lingkup kehidupan
sosial ber-Batak.
Kemudian,
di perjalanan kehidupan selanjutnya, kolonial memandang sebuah celah disini
untuk mengambil "hati" rakyat kecil, mereformasi kehidupan sosial,
dengan melemparkan istilah "Hamoraon, hagabeon dan hasangapon" dengan
tujuan agar memperkeruh suasana terlebih dahulu.
Pesannya
yang dilempar memang manis, tapi arti dibaliknya akan menjadi petaka bagi orang
Batak itu sendiri.
Kita
lihat pesan yang sebenarnya : Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon artinya adalah
Kekayaan, Berketurunan, dan Kehormatan.
Tertanamnya
pemahaman ini terlabih dahulu di masyarakat Batak sangat penting untuk
mempermudah melempar opini kebencian terhadap penguasa tanah Batak Raja
Sisingamangaraja XII dikemudian hari berikutnya. Bahkan, tiga istilah ini dalam
perkembangannya belakangan dijadikan oleh beberapa orang Batak sebagai
Filosofi, saya hanya heran aja, kok filosofi hidup begitu?
Baiklah,
selanjutnya apa yang direformasi?
Begini,
ketika anda tidak bisa "maradat" itu berarti tidak terhormat,
akibatnya adalah kemiskinan atau ketidak mampuan membeli "kerbau"
yang sangat mahal, kemudian keturunan andapun takkan dihargai di lingkup sosial
orang Batak ketika orang tua "tidak maradat". Intinya, ketika anda
miskin, anda takkan bisa melaksanakan adat, dan bagaimana lagi kalau
berketurunan apalagi untuk mendapatkan kehormatan.
Bummmm...!
Masuklah tipu muslihat penjajah, caranya dengan menyodorkan "babi"
yang kepada masyarakat disebut "horbo na gelleng = sama-sama berkaki empat",
manfaatnya agar masyarakat kecil yang tidak mampu membeli kerbau, bisa
melaksanakan adat dengan menggunakan “babi” dan kemudian memiliki kehormatan
serta anak-anaknya akan serta merta memperoleh kehormatan di lingkungan sosial.
Penyematan
kebenciannya dimana? Jelas kita sama-sama tahu, bahwa para Raja di tanah Batak
waktu itu adalah para penegak aturan adat dan pemahaman bahwa adat yang benar itu
harus dilaksanakan dengan pemotongan "kerbau", jika ada hewan yang
lain, itu bukanlah adat.
Akibat
dari tipu muslihat penjajah yang telah menjadi pemahaman di masyarakat kecil
berujung pada kebencian orang-orang berperekonomian "miskin" kepada
Raja dan pengikutnya. Tipu muslihat Belanda berhasil menarik simpatik para kaum
"miskin" di desa-desa.
Para
kaum “miskin” berpendapat setelah mereka melaksanakan “adat” dengan korban “babi”
maka mereka akan mendapat kehormatan yang sama dengan para Raja dan orang “kaya”
dilingkungan mereka.
Anda
jangan mengira bahwa ada kaitan paham agama antara ketidak mauan Raja
Sisingamangaraja XII memakan babi beserta para keturunannya dan pengikutnya hingga
hari ini, itu tidak berkaitan sama sekali. Persoalannya adalah mempertahankan
paham adat leluhur itu sendiri yang dalam melaksanakan adat haruslah dengan
korban “napinahan” kerbau, tidak ada istilah "pinahan/hewan
pengganti".
Hal
ini juga bukti bahwa tidak ada kaitannya ciri "khas" Batak itu
pemakan "babi", itu hal yang sangat menghina kufikir. Walaupun pada
perkembangannya saya akui bahwa daging Babi itu memang enak, tapi tetap, tidak
bisa dijadikan sebagai alternatif korban ternak di "paradaton" yang
benar.
Begitulah
dulu ceritaku siang ini, jangan bingung dan jangan bimbang kawan dan jangan
marah-marah lagi, kita mungkin akan sepakat kalau kita bicara kopi Lintong saja
ya, kopi minuman para raja, bukan kopi import, dan paling enak membacanya
sambil minum kopi, kalau tidak nanti emosionalmu meledak-ledak!
Paling seru lagi kalau ada bantahan dan
argumentasi lain, supaya diskusi kita semakin bermanfaat.
EmoticonEmoticon