Siporsuk Na Mamora - Dunia ke-Batak-an bagiku sangat
menarik dan sangat penting untuk dipelajari dan di ajarkan, menurut saya,
kebudayaan Batak itu tak sekedar hanya cukup dijadikan sebagai tontonan saja
seperti dewasa ini, bagiku budaya tidak seperti itu, yang paling salah ketika budayapun
di "aransemen" sesuai dengan kebutuhan pasar, maksudku dijadikan
komuditi bisnis untuk mencari keuntungan belaka oleh beberapa yang
"katanya" sebagai budayawan.
Setidaknya,
budaya itu harus hidup dalam diri masing-masing "penikmat"-nya. Unsur
yang paling penting adalah manusianya, merekalah yang kelak menjadi saksi bagi
peradaban budaya itu sendiri.
Berbicara
soal budaya Batak, apa yang saya sebut dengan "dihidupi" adalah
terkait tentang tingkah laku dan karakteristik serta tujuan dari budaya itu
sendiri yang pelaksananya adalah manusia, itulah yang menjadikan kelompok
masyarakat yang berbudaya sendiri memiliki karakter berbeda dari kelompok lain
yang menjadikannya terlihat sebagai identitas yang melekat secara utuh dan
menjadi jiwa yang hidup dimanapun manusia itu berada.
Suatu
hal saya kasih contoh, pernah saya berkunjung ke suatu tempat, di Jambi, ada
sekelompok komunal disana, mereka adalah Batak Karo yang sama-sama kita tau
asalnya dari Tanah Karo. Mereka hidup ditempat yang jauh dan tentu dengan
kondisi sosial dan alam yang berbeda, akan tetapi, ketika anda berhenti disana,
anda akan bisa menebak dengan gampang suku apa yang hidup disana dari
kebiasaan, karakter dan cara mereka hidup sebagai kelompok yang sama-sama orang
Batak Karo. Tidak beda jauh suasananya dengan di Tanah Karo.
Itu
tentang sebuah kelompok komunal, kita coba mengenali siapa yang dikatakan orang
Batak secara lebih kecil ya...
Begini,
yang mau saya sampaikan pertama adalah apa itu Batak, saya tidak ingin berdebat
soal siapa yang dikatakan Batak ya, hanya saja sebagai orang Batak ijinkan saya
untuk menyampaikan pendapat singkat.
Analoginya
begini kawan, hari ini kita dikatakan Indonesia, karena kenapa? Karena kita
berharap akan ada jaminan perlindungan dari negara, lebih sejahtera, makmur dan
hak-hak kita terlindungi.
Batak
jaman dulu juga demikian, ini dalam pengertian komunal ya, jika hari ini Batak
disebut ada 6 puak yang berbeda-beda, tapi tetap pada prinsipnya memiliki
karakteristik yang sama bukan? Menjadi masalah ketika ada dari beberapa orang
yang mengatakan bahwa mereka bukan Batak, alasannya berbeda-beda, ada yang
meninjau dari gen, ada dari tatalaksana budaya, eksistensi dan ada pulak soal
agama. Yang paling parah adalah soal agama, mereka tidak mau di “cap” menjadi bagian
dari Batak yang dikenal dengan mayoritas menganut agama Kristen, mungkin itu
merugikan bagi mereka dalam hal mencari pekerjaan dan kenyamanan hidup.
Selebihnya,
seperti ini, manusia hidup berkelompok bukan? Jadi tidak salah ketika anda
merantau, maka yang pertama anda cari adalah kelompok yang bisa membuat anda
nyaman, hal ini kufikir berlaku untuk semua manusia, kecuali anda autis atau
gilak!
Sama
halnya dulu seperti bernegara hari ini, ada beberapa kelompok yang menyatu
menjadi kelompok besar, tentu dengan demikian satu dan yang lain saling
mempengaruhi gaya hidup karena mereka telah menjadi satu. Apa mudaratnya
menjadi suatu kesatuan yang besar? Alasannya sederhana, yaitu soal keamanan,
akses, pergaulan dan jaringan yang semakin luas. Yang pertama adalah yang
terpenting.
Kelompok
besar inilah yang menamakan dirinya Batak yang lama-kelamaan dikenal menjadi
suku setelah Indonesia merdeka, tidak lain karena kita telah menyatu menjadi
kelompok yang lebih besar lagi, yaitu Indonesia.
Alasan
akhir-akhir ini kita dengar untuk menyatakan mereka bukan Batak tidak cukup
kuat, karena Batak itu tidaklah semata hanya soal kesamaan gen, agama dan yang
lain lain, yang lebih besar dari situ adalah alasan politis.
Sekarang
kita bahas tentang Batak yang sebenarnya secara personal ya... Jangan bosan
dulu membaca ya kawan.
Apa
pendapat anda, ketika ada seorang asing yang telah menyatu dengan budaya Batak?
Dalam artian, melaksanakan budaya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari, katakanlah "maradat", manortor, mengerti dan
malaksanakan dalihan na tolu.
Bandingkan
dengan orang Batak yang tidak lagi menghidupi budayanya, seperti tidak lagi
memakai ulos, tidak lagi mengerti soal dalihan na tolu dan tidak lagi peduli
soal "adat-istiadat".
Manakah
yang lebih pantas dikatanak orang Batak? Jika setuju dengan saya, maka saya
berpendapat yang orang asinglah yang pantas disebut sebagai orang Batak.
Kembali
ke konsep komunal, tentang hidup dan berinteraksi dengan manusia lain
disekitarnya.
Orang
Batak adalah manusia-manusia yang terkenal dengan prinsip atau tatalaksana
kehidupan yang kental dengan berembuk/bermusyawarah, kita punya aturan hukum
lisan, memutuskan dan melaksanakan sesuatu selalu dengan permusyawarahan
bersama. Dalam pelaksanaan musyawarah sedehananya, beberapa unsur harus
terpenuhi, seperti harus ada raja huta, raja hula-hula, raja parboru dan dongan
tubu, tambahannya adalah dongan sahuta. Begitulah kebiasaan orang Batak.
Intinya
adalah, jika ada orang Batak yang tidaklagi melaksanakan budayanya dalam
kehidupan sehari-hari, maka dia bukanlah lagi Batak!
Contoh
kecil, jika anda Batak tapi tak peduli soal tatanan "dalihan na
tolu", tidak lagi "maradat" dan tidak lagi
"bermusyawarah" maka itu tidak lagi Batak. Tentu tidak sesederhana
itu, ada banyak lagi yang perlu dilengkapi, tapi yang paling prinsip adalah
tiga hal itu.
Kebenaran
kalau seseorang bukan lagi Batak, anda bisa melihat dari kebiasaannya.
Saya
bukanlah anti modernisasi, tetapi menurut saya, budaya Batak adalah budaya yang
fleksibel dan bisa diadaptasikan dengan kemajuan peradaban, tetapi yang paling
penting adalah soal bagaimana niat kita melaksanakannya ya...
Jadi
begini, kita juga sebagai orang muda Batak jangan gampang-gampang kali bilang
kolot ketika orang tua/anak gadis pujaan anda meminta "Sinamot",
bukan persoalan sinamot mahal atau murah, itu soal budaya yang melekat, dan itu
unsur yang harus dipenuhi dalam melanjutkan kehidupan pernikahan. Jangan sedih
juga ketika tidak jadi karena "Sinamot", kan masih ada pariban yang
lain. HeHeHe
Satu
lagi, kalau ada persoalan atau kesalah pahaman jangan langsung lapor-lapor
terus ya... Saya juga pernah telak memergoki pencuri dirumah saya, namun karena
kami orang Batak, kami undang penatua, dongan sahuta dan raja huta, semua bisa
terselesaikan dengan damai, soal mahalnya "biaya", ya itu konsekuensi.
Hidup kita memang sudah modern, tapi tidak salah ketika metode budaya yang kita
terapkan dalam menyelesaikan persoalan bukan?
Jangan
salah paham, kalau adapun yang langsung lapor-lapor polisi, saya tidak sebut
anda bukan Batak ya... Kalau ada yang "baper", saya mohon maaf... Itu
bukan salah saya, itu salah anda kenapa anda "baper".
Makin salah ketika ada yang merasa bangga akan hal itu, hingga sampai berniat menghimpun orang-orang besar Batak dan merangkul puluhan blogger dan media untuk merame-ramekan yang "bersalah" itu.
Orang
Batak biasanya menyelesaikan masalah di atas tikar atau meja, kita bisa ngumpul dengan formasi rampung sambil minum "aek na tio" dan makan "sitonggi-tonggi", asa songon ni dok ni natua-tua "asa tonggi jala tio ma parngoluan tu joloan ni ari". Horasma
jala gabe...!
EmoticonEmoticon