Wednesday, December 21, 2016

Batak Ideal


Siporsuk Na Mamora - Dunia ke-Batak-an bagiku sangat menarik dan sangat penting untuk dipelajari dan di ajarkan, menurut saya, kebudayaan Batak itu tak sekedar hanya cukup dijadikan sebagai tontonan saja seperti dewasa ini, bagiku budaya tidak seperti itu, yang paling salah ketika budayapun di "aransemen" sesuai dengan kebutuhan pasar, maksudku dijadikan komuditi bisnis untuk mencari keuntungan belaka oleh beberapa yang "katanya" sebagai budayawan.

Setidaknya, budaya itu harus hidup dalam diri masing-masing "penikmat"-nya. Unsur yang paling penting adalah manusianya, merekalah yang kelak menjadi saksi bagi peradaban budaya itu sendiri.

Berbicara soal budaya Batak, apa yang saya sebut dengan "dihidupi" adalah terkait tentang tingkah laku dan karakteristik serta tujuan dari budaya itu sendiri yang pelaksananya adalah manusia, itulah yang menjadikan kelompok masyarakat yang berbudaya sendiri memiliki karakter berbeda dari kelompok lain yang menjadikannya terlihat sebagai identitas yang melekat secara utuh dan menjadi jiwa yang hidup dimanapun manusia itu berada.

Suatu hal saya kasih contoh, pernah saya berkunjung ke suatu tempat, di Jambi, ada sekelompok komunal disana, mereka adalah Batak Karo yang sama-sama kita tau asalnya dari Tanah Karo. Mereka hidup ditempat yang jauh dan tentu dengan kondisi sosial dan alam yang berbeda, akan tetapi, ketika anda berhenti disana, anda akan bisa menebak dengan gampang suku apa yang hidup disana dari kebiasaan, karakter dan cara mereka hidup sebagai kelompok yang sama-sama orang Batak Karo. Tidak beda jauh suasananya dengan di Tanah Karo.

Itu tentang sebuah kelompok komunal, kita coba mengenali siapa yang dikatakan orang Batak secara lebih kecil ya...

Begini, yang mau saya sampaikan pertama adalah apa itu Batak, saya tidak ingin berdebat soal siapa yang dikatakan Batak ya, hanya saja sebagai orang Batak ijinkan saya untuk menyampaikan pendapat singkat.

Analoginya begini kawan, hari ini kita dikatakan Indonesia, karena kenapa? Karena kita berharap akan ada jaminan perlindungan dari negara, lebih sejahtera, makmur dan hak-hak kita terlindungi.

Batak jaman dulu juga demikian, ini dalam pengertian komunal ya, jika hari ini Batak disebut ada 6 puak yang berbeda-beda, tapi tetap pada prinsipnya memiliki karakteristik yang sama bukan? Menjadi masalah ketika ada dari beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka bukan Batak, alasannya berbeda-beda, ada yang meninjau dari gen, ada dari tatalaksana budaya, eksistensi dan ada pulak soal agama. Yang paling parah adalah soal agama, mereka tidak mau di “cap” menjadi bagian dari Batak yang dikenal dengan mayoritas menganut agama Kristen, mungkin itu merugikan bagi mereka dalam hal mencari pekerjaan dan kenyamanan hidup.

Selebihnya, seperti ini, manusia hidup berkelompok bukan? Jadi tidak salah ketika anda merantau, maka yang pertama anda cari adalah kelompok yang bisa membuat anda nyaman, hal ini kufikir berlaku untuk semua manusia, kecuali anda autis atau gilak!

Sama halnya dulu seperti bernegara hari ini, ada beberapa kelompok yang menyatu menjadi kelompok besar, tentu dengan demikian satu dan yang lain saling mempengaruhi gaya hidup karena mereka telah menjadi satu. Apa mudaratnya menjadi suatu kesatuan yang besar? Alasannya sederhana, yaitu soal keamanan, akses, pergaulan dan jaringan yang semakin luas. Yang pertama adalah yang terpenting.

Kelompok besar inilah yang menamakan dirinya Batak yang lama-kelamaan dikenal menjadi suku setelah Indonesia merdeka, tidak lain karena kita telah menyatu menjadi kelompok yang lebih besar lagi, yaitu Indonesia.

Alasan akhir-akhir ini kita dengar untuk menyatakan mereka bukan Batak tidak cukup kuat, karena Batak itu tidaklah semata hanya soal kesamaan gen, agama dan yang lain lain, yang lebih besar dari situ adalah alasan politis.

Sekarang kita bahas tentang Batak yang sebenarnya secara personal ya... Jangan bosan dulu membaca ya kawan.

Apa pendapat anda, ketika ada seorang asing yang telah menyatu dengan budaya Batak? Dalam artian, melaksanakan budaya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, katakanlah "maradat", manortor, mengerti dan malaksanakan dalihan na tolu.

Bandingkan dengan orang Batak yang tidak lagi menghidupi budayanya, seperti tidak lagi memakai ulos, tidak lagi mengerti soal dalihan na tolu dan tidak lagi peduli soal "adat-istiadat".

Manakah yang lebih pantas dikatanak orang Batak? Jika setuju dengan saya, maka saya berpendapat yang orang asinglah yang pantas disebut sebagai orang Batak.

Kembali ke konsep komunal, tentang hidup dan berinteraksi dengan manusia lain disekitarnya.

Orang Batak adalah manusia-manusia yang terkenal dengan prinsip atau tatalaksana kehidupan yang kental dengan berembuk/bermusyawarah, kita punya aturan hukum lisan, memutuskan dan melaksanakan sesuatu selalu dengan permusyawarahan bersama. Dalam pelaksanaan musyawarah sedehananya, beberapa unsur harus terpenuhi, seperti harus ada raja huta, raja hula-hula, raja parboru dan dongan tubu, tambahannya adalah dongan sahuta. Begitulah kebiasaan orang Batak.

Intinya adalah, jika ada orang Batak yang tidaklagi melaksanakan budayanya dalam kehidupan sehari-hari, maka dia bukanlah lagi Batak!

Contoh kecil, jika anda Batak tapi tak peduli soal tatanan "dalihan na tolu", tidak lagi "maradat" dan tidak lagi "bermusyawarah" maka itu tidak lagi Batak. Tentu tidak sesederhana itu, ada banyak lagi yang perlu dilengkapi, tapi yang paling prinsip adalah tiga hal itu.

Kebenaran kalau seseorang bukan lagi Batak, anda bisa melihat dari kebiasaannya.

Saya bukanlah anti modernisasi, tetapi menurut saya, budaya Batak adalah budaya yang fleksibel dan bisa diadaptasikan dengan kemajuan peradaban, tetapi yang paling penting adalah soal bagaimana niat kita melaksanakannya ya...

Jadi begini, kita juga sebagai orang muda Batak jangan gampang-gampang kali bilang kolot ketika orang tua/anak gadis pujaan anda meminta "Sinamot", bukan persoalan sinamot mahal atau murah, itu soal budaya yang melekat, dan itu unsur yang harus dipenuhi dalam melanjutkan kehidupan pernikahan. Jangan sedih juga ketika tidak jadi karena "Sinamot", kan masih ada pariban yang lain. HeHeHe

Satu lagi, kalau ada persoalan atau kesalah pahaman jangan langsung lapor-lapor terus ya... Saya juga pernah telak memergoki pencuri dirumah saya, namun karena kami orang Batak, kami undang penatua, dongan sahuta dan raja huta, semua bisa terselesaikan dengan damai, soal mahalnya "biaya", ya itu konsekuensi. Hidup kita memang sudah modern, tapi tidak salah ketika metode budaya yang kita terapkan dalam menyelesaikan persoalan bukan?

Jangan salah paham, kalau adapun yang langsung lapor-lapor polisi, saya tidak sebut anda bukan Batak ya... Kalau ada yang "baper", saya mohon maaf... Itu bukan salah saya, itu salah anda kenapa anda "baper".

Makin salah ketika ada yang merasa bangga akan hal itu, hingga sampai berniat menghimpun orang-orang besar Batak dan merangkul puluhan blogger dan media untuk merame-ramekan yang "bersalah" itu.

Orang Batak biasanya menyelesaikan masalah di atas tikar atau meja, kita bisa ngumpul dengan formasi rampung sambil minum "aek na tio" dan makan "sitonggi-tonggi", asa songon ni dok ni natua-tua "asa tonggi jala tio ma parngoluan tu joloan ni ari". Horasma jala gabe...!

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon