Jokowi |
Lalu kenapa ada lembaga atau kelompok yang menayangkannya sekarang secara besar-besaran dan terang-terangan?
Seharusnya negara bisa menertibkan itu atas dasar penegaakan aturan yang sudah disepakati bersama pasca lengsernya Soeharto.
Ada oknum pewaris Orde Baru di tubuh TNI yang sengaja ingin mempermalukan dan menginjak-injak harga diri bangsa ini demi keuntungan pribadi. Oleh karena penayangan film ini secara massal kembali, itu sama saja negara ini tidak bisa menjaga komitmennya sendiri. Akibatnya, secara politik Jokowi yang akan di cap gagal menjaga harga diri bangsa. Akhirnya Jokowi juga yang tercoreng wajahnya di masyarakat dan juga dunia Internasional.
Efek lain dari penayangan kembali film ini juga akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Para investor yang selama ini sudah mulai yakin akan berinvestasi di Indonesia karena berkali-kali diyakinkan Jokowi akan merasa ragu kembali untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya proyek infrastruktur dan pembangunan nasional akan terhambat dan tersendat.
Lagi-lagi ini akan digiring menjadi kegagalan Jokowi dan menjadi isu berharga untuk jualan di pilpres tahun 2019 mendatang.
Presidenku Jokowi, bersabarlah dan tetap teguh! Karna sejatinya masyarakat kita sudah bijak dan sadar akan berbangsa dan bernegara.
Kita sadar bahwa takkan mungkin kita kembali ke masa lalu di belakang yang setiap harinya di bodoh-bodohi rezim Orde Baru selama puluhan tahun lamanya. Saya bisa merasakan, masyarakat kita takkan ada yang mau kembali ke zaman itu.
Baca juga : Etnis Tionghoa dan Warisan Kebencian dari Penjajah Belanda
Jika hari ini TNI bersekukuh untuk menayangkan film itu kembali, dan terlebih tujuannya agar oknum di dalam sana mendapatkan simpatik dari masyarakat yang masih hidup atau seolah-olah sedang hidup dalam bayang-bayang zaman Orde Baru demi menjatuhkan citra Jokowi dimata masyarakat dan dunia, yakinlah bahwa yang terjadi malah akan sebaliknya. Masyarakat akan semakin sadar bahwa film itu dulu yang dimanfaatkan untuk menindas, mengintimidasi dan menghisap darah rakyat oleh penguasa dan juga untuk mempertahankan kekuasaan otoriter Orde Baru.
Fobia dan kebencian terhadap ideologi komunis yang muncul akibat penayangan film G30/S secara berlebihan dan penuh sarat politik di lingkukan masyarakat dulu mungkin akan tumbuh semakin subur. Namun sekarang akan benar-benar berbeda, bahkan yang terjadi justru akan sebaliknya. Masyarakat akan semakin tau bahwa banyak kebohongan yang dimuat di film itu, TNI yang di citrakan sebagai lembaga heroik bangsa yang bersih dan tidak berdosa akan terasa tidak masuk akal lagi karena sejatinya antara PKI dan TNI, yang puya pistol hanyalah TNI. Jadi siapakah kira-kira yang lebih banyak makan korban?
Namun semua fakta itu tersimpan rapat oleh klan Orde Baru yang saat itu sangat mesra dengan TNI. Istilahnya, "biar tak ketahuan cekkian". Cekkiannya apa? Kekuasaan!
Setelah it semua, terjuallah Papua ke pihak asing dan masih banyak lagi kekayaan alam bangsa ini yang jatuh ke tangan asing. Kemudian, hutang membengkak dan anak cucu kita mau tak mau harus menanggungnya sejak terlahir sampai meninggal kemudian.
Semakin film ini di ingatkan, semakin benci pulalah masyarakat kepada para begundal-begundal peninggalan Orde Baru itu. Masyarakatpun semakin sadar bahwa : "Hidupnya sudah lebih baik di era Jokowi" ini dibanding dengan era Orde Baru si produser film G30/S itu.
Mereka juga harus menyadari, bahwa alam raya nusantara telah memilih Jokowi sebagai pemimpinnya. Tidakkah mereka merasakan bahwa semua fenomena yang terjadi seolah datang begitu natural? Semuanya menjadikan Jokowi semakin perkasa. Sebaliknya menjadikan para pembencinya hidup tak lebih sebagai pecundang.
Salah satu dari mereka adalah Amien Rais. Sekarang, partai PAN yang dulu di bangunnya pasca reformasi 1998 ikut-ikutan menayangkan film G30/S tersebut. Itu artinya beliau ingkar pada dirinya sendiri. Harusnya dia malu menamakan diri sebagai tokoh reformasi 98. Kenapa? Karena dia sekarang melalui partai binaannya ingin menggiring kita kembali kedalam kehidupan di masa Orde Baru.
Baca juga : Pak Tua Amien Rais, Bertemu Pimpinan KPK Itu Dilarang, Tetapi Bertemu Penyidik KPK Itu Pasti!
Lagi-lagi karena sikap ingkarnya tersebut, masyarakat akan sadar bahwa beliau tak layak disebut sebagai tokoh bangsa, melainkan makelar isu demi memburu kekuasaan. Bahkan demi kekuasaan, dia rela menjilat ludah sendiri.
Kitapun semakin sadar, "bagaimana mungkin sebuah partai akan memiliki ideologi kuat kalau pendirinya sendiri ideologinya hanya sejauh orientasi kekuasaan semata?".
Sumber : detik.com |
EmoticonEmoticon