Facebook : Eas Saputro |
Siporsuk
Na Mamora : Sebuah fenomena dimasa lampau yang terjadi di tanah
Batak, lahan pertanian yang begitu luas namun tidak di kelola maksimal oleh
orang Batak itu sendiri, sehingga banyak lahan yang terlantar seperti tak
bertuan.
Judul dalam tulisan ini sengaja saya ambil
dari nasehat Ompu Raja Sisingamangaraja XII yang pada masa pemerintahannya
tanah-tanah di wilayah kekuasaannya sangat diincar oleh penjajah Belanda.
Menurut sang Raja, salah satu strategi untuk melawan Belanda yang sedang
melakukan ekspansi ke tanah Batak adalah mengelola tanah masing-masing untuk pertanda
bahwa tanah tersebut ada pemiliknya dan sekaligus memberi pesan agar “jangan
dicoba direbut”, tentu jika direbut akan ada perlawanan dari pihak yang
mengelola/pemilik tanah.
Tanah juga memiliki arti yang sangat penting
bagi masyarakat Batak, tanah itu adalah identitas, sumber kemakmuran,
kehormatan dan sebagai warisan budaya yang harus dipertahankan untuk menjaga
eksistensi marga sebagai kehormatan.
Belakangan gencar kasus perebutan lahan di
tanah Batak, baik oleh perusahaan ataupun oleh perorangan yang kalu boleh
disebut “borjuis” yang ingin menguasai tanah-tanah untuk dikuras kekayaannya.
“Penjajah baru” ditanah Batak, boleh
dikatakan demikian setelah masa penjajahan Belanda.
Bebarapa fakta dilapangan saya temukan bahwa
para “borjuis” itu telah banyak memperdaya masyarakat di kampung-kampung dengan
iming-iming uang. Terjadi penjualan tanah ulayat/adat yang menimbulkan
perpecahan dalam masyarakat pewaris tanah itu (di kampung tanah diwariskan
bukan milik satu orang melainkan sekelompok orang dengan ketentuan adat) atau dongan
sahuta (teman sekampung) maupun dongan sabutuha (saudara) menyusul adanya
pengembangan destinasi pariwisata Danau Toba yang menyebabkan peminat semakin
tinggi dari seluruh penjuru nusantara maupun dunia.
Tindakan yang paling bijaksana adalah : Pertama agar semampu daya upaya kita mengusahakan
atau mengelola tanah-tanah kita semaksimal mungkin, selain untuk mendapatkan
hasil, kita juga dalam upaya mempertahankan salah satu indikator penting kita
sebagai bangsa Batak. Kedua agar
masyarakat jangan menjual tanah setinggi apapun harganya, mari dikelola secara
bersama-sama, membentuk kelompok yang sesuai aturan UU. Ketiga adalah mendorong pemda untuk mengeluarkan Perda turunan
keputusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat agar masing-masing kelompok
masyarakat dalam hal ini masyarakat Batak bisa melakukan pendataan dan
mendaftarkan tanah adatnya masing-masing ke pihak pemerintah. Kempat memberikan pengelolaannya kepada
pihak ke dua dalam kata lain menyewakan tanahnya kalaupun belum bisa
mengusahakannya, gunanya agar hak milik tetap ditangan kita orang Batak, agar
kelak setelah habis masa sewa, kita bisa mengusahakannya dan yang terpenting
tetap menjadi hak milik kita.
Yang paling penting dari semuanya adalah
bahwa kita harus menjadi “tuan ditanah sendiri!” Sudah banyak bangsa-bangsa
yang nyata-nyatanya terusir dari tanah nenekmoyangnya, hingga identitas mereka
diragukan, kita semua tidak ingin itu terjadi bangsa Batak, bagaimanapun
hebatnya kita ditanah orang, tetapi kalau kita telah kehilangan bona pasogit,
itu sama saja bahwa kita kehilangan identitas kita sebagai bangsa Batak.
*Siporsuk Na Mamora
EmoticonEmoticon