Tuesday, October 25, 2016

ULA TANOM UNANG DIGOMAK BOLANDA

Facebook : Eas Saputro
Siporsuk Na Mamora : Sebuah fenomena dimasa lampau yang terjadi di tanah Batak, lahan pertanian yang begitu luas namun tidak di kelola maksimal oleh orang Batak itu sendiri, sehingga banyak lahan yang terlantar seperti tak bertuan.

Judul dalam tulisan ini sengaja saya ambil dari nasehat Ompu Raja Sisingamangaraja XII yang pada masa pemerintahannya tanah-tanah di wilayah kekuasaannya sangat diincar oleh penjajah Belanda. Menurut sang Raja, salah satu strategi untuk melawan Belanda yang sedang melakukan ekspansi ke tanah Batak adalah mengelola tanah masing-masing untuk pertanda bahwa tanah tersebut ada pemiliknya dan sekaligus memberi pesan agar “jangan dicoba direbut”, tentu jika direbut akan ada perlawanan dari pihak yang mengelola/pemilik tanah.

Tanah juga memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Batak, tanah itu adalah identitas, sumber kemakmuran, kehormatan dan sebagai warisan budaya yang harus dipertahankan untuk menjaga eksistensi marga sebagai kehormatan.

Belakangan gencar kasus perebutan lahan di tanah Batak, baik oleh perusahaan ataupun oleh perorangan yang kalu boleh disebut “borjuis” yang ingin menguasai tanah-tanah untuk dikuras kekayaannya.

“Penjajah baru” ditanah Batak, boleh dikatakan demikian setelah masa penjajahan Belanda.

Bebarapa fakta dilapangan saya temukan bahwa para “borjuis” itu telah banyak memperdaya masyarakat di kampung-kampung dengan iming-iming uang. Terjadi penjualan tanah ulayat/adat yang menimbulkan perpecahan dalam masyarakat pewaris tanah itu (di kampung tanah diwariskan bukan milik satu orang melainkan sekelompok orang dengan ketentuan adat) atau dongan sahuta (teman sekampung) maupun dongan sabutuha (saudara) menyusul adanya pengembangan destinasi pariwisata Danau Toba yang menyebabkan peminat semakin tinggi dari seluruh penjuru nusantara maupun dunia.

Tindakan yang paling bijaksana adalah : Pertama agar semampu daya upaya kita mengusahakan atau mengelola tanah-tanah kita semaksimal mungkin, selain untuk mendapatkan hasil, kita juga dalam upaya mempertahankan salah satu indikator penting kita sebagai bangsa Batak. Kedua agar masyarakat jangan menjual tanah setinggi apapun harganya, mari dikelola secara bersama-sama, membentuk kelompok yang sesuai aturan UU. Ketiga adalah mendorong pemda untuk mengeluarkan Perda turunan keputusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat agar masing-masing kelompok masyarakat dalam hal ini masyarakat Batak bisa melakukan pendataan dan mendaftarkan tanah adatnya masing-masing ke pihak pemerintah. Kempat memberikan pengelolaannya kepada pihak ke dua dalam kata lain menyewakan tanahnya kalaupun belum bisa mengusahakannya, gunanya agar hak milik tetap ditangan kita orang Batak, agar kelak setelah habis masa sewa, kita bisa mengusahakannya dan yang terpenting tetap menjadi hak milik kita.

Yang paling penting dari semuanya adalah bahwa kita harus menjadi “tuan ditanah sendiri!” Sudah banyak bangsa-bangsa yang nyata-nyatanya terusir dari tanah nenekmoyangnya, hingga identitas mereka diragukan, kita semua tidak ingin itu terjadi bangsa Batak, bagaimanapun hebatnya kita ditanah orang, tetapi kalau kita telah kehilangan bona pasogit, itu sama saja bahwa kita kehilangan identitas kita sebagai bangsa Batak.


*Siporsuk Na Mamora

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon