Sunday, August 27, 2017

Tifatul Sembiring Mau Nyagub di Sumut 2018? Agenda Politik Kotor PKS Akan Mengacak-acak Kerukunan Kita

Tags

Doa nyiyir Tifatul Sembiring di sidang tahunan MPR pada peringatan 72 tahun Indonesia merdeka.
Siporsuk Na Mamora - Serba serbi riak politik Pilkada serentak 2018 telah mulai hangat diperbincangkan dikalangan masyarakat. Tak ketinggalan masyarakat Provinsi Sumatera Utara yang juga merupakan salah satu daerah peserta pilkada serentak tahun 2018 mendatang.
Mari kita mereefress sedikit ingatan kita tentang suramnya perjalanan kepemimpinan di Provinsi Sumatera Utara pada dua periode terakhir ini. Tentang Gubernurnya yang sudah dua kali berturut-turut menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari antara dua orang Gubernur korup yang di produksi oleh Provinsi Sumatera Utara ini, ada salah satunya yang korupsinya sangat parah. Kalau di analogikan dengan penyakit, mungkin sudah masuk pada kategori penyakit komplikasi. Kenapa? Karena kasus korupsi yang menjeratnya tidak hanya satu kasus, melainkan sudah lebih dari tiga kasus sekaligus, yang sampai hari ini belum juga terselesaikan dengan baik, alias masih dalam tahap persidangan. Ditambah lagi dengan keikut sertaan istri mudanya dalam kesetiaannya membantu suami untuk melakukan korupsi. Dua-duanya ditetapkan tersangka dan ditahan KPK sampai hari ini.
Siapa dia? Dia inilah yang namanya Gatot Pujo Nugroho, Gubernur non-aktif Provinsi Sumatera Utara yang sekarang telah mendekam dirumah tahanan KPK. Seorang kader tulen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang katanya partai dakwah namun korupsi sapi juga. Partai yang juga sedari dulu diduga banyak dihuni oleh orang-orang HTI yang anti-pancasila dan intoleran. Juga salah satu partai yang sangat tidak menyukai keberadaan KPK.
Teringat dibenak saya, pola pilkada dibeberapa daerah yang memiliki calon kader-kader PKS. Acap kali isu SARA dimainkan untuk mendulang suara demi memenangkan calon yang mereka usung, hingga sampai pada terbentuknya opini minoritas dan mayoritas.
Inilah pola-pola yang sering digunakan oleh PKS dalam menghadapi pertarungan di Pilkada-pilkada demi mendapatkan sebuah kemenangan, tanpa berfikir apa efek buruk yang akan muncul setelahnya. Jarang sekali pola yang mereka bangun berorientasi pada kualitas, integritas dan kinerja. Yang penting pake peci, berpenampilan “seperti” orang beriman, lalu pake-pake ayat suci. Itu saja sudah cukup bagi calon Kepala Daerah dari PKS.
Anda juga bisa dengan mudah membedakan mana daerah yang dipimpin oleh kader PKS dan mana daerah yang dipimpin oleh kader partai nasionalis. Sudah pasti daerah yang dipimpin oleh kader PKS penuh dengan nuansa ke-Arab-Arab-an dan rawan dicekoki dengan aturan-aturan sepihak yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Kawan, jangan silau dengan simbol simbol agama tertentu, saat ini banyak kelompok atau partai yang memakai simbol-simbol identitas agama namun pada kenyataannya sama saja isinya penuh dengan koruptor. Ada yang korupsi daging sapi dan ada yang korupsi kitab suci.
Sebentar lagi kita akan kembali merayakan pesta demokrasi ditingkatan daerah. Biasanya pada momen-momen seperti ini, mereka yang suami-istripun bisa pisah ranjang untuk sementara sampai pilkada selesai karena perbedaan pilihan masing-masing. Ini masih dalam kategori wajar, lah... Bagaimana dengan yang terjadi di Jakarta beberapa bulan yang lalu? Jenazahpun harus ikut jadi korban pilkada.
Persoalan politik di Pilkada DKI Jakarta beberapa bulan yang lalu adalah persoalan yang paling parah. Ada banyak catatan yang bisa kita ambil sebagai bahan pelajaran kedepannya pada Pilkada-pilkada selanjutnya, terlebih perihal tentang (1) Massive-nya penggunaan isu-isu SARA/ujaran kebencian terhadap calon tertentu atau politik identitas, (2) Penyalah gunaan rumah ibadah menjadi tempat kampanye-kampanya terselubung, (3) Terpecahny keharmonisan masyarakat dan (5) Terkesampingkannya cara pandang masyarakat yang seharusnya memilih berorientasikan pada rekam jejak dan kemampuan dalam memimpin.
Kita menginginkan Sumatera Utara tetap dengan identitas provinsi ter-toleran sampai kapanpun, jangan sampai dengan pelaksanaan Pilkada 2018 serta dengan kehadiran calon-calon dari partai yang “nasionalismenya” diragukan membuat situasi sosial yang harmonis di Sumatera Utara jadi kacau balau akibat di acak-acak oleh tokoh-tokoh partai yang kerap bermain di zona-zona sensitif seperti isu-isu SARA.
Menurut analisis saya, partai PKS memiliki agenda khusus untuk Sumatera Utara. Taktik copy-paste strategi memenangkan Pilkada DKI Jakarta kemungkinan akan diterapkan di Sumatera Utara dengan mengambil Tifatul Sembiring yang notabanenya terlahir bersuku Batak yang berasal dari Sumatera Utara. Potensi ini yang mereka lihat dan akan mereka tonjolkan kedepan demi meraup suara sebanyak mungkin.
Akan tetapi, sebagai masyarakat yang sadar dan waras. Kita harus mengingat dan mengenal Tifatul Sembiring lebih dalam lagi.
Apakah dia masih memiliki jiwa ke-Batak-an? Dan apakah beliau selama ini aktif dalam kehidupan sosial budaya sebagai orang Batak?
Jawabannya TIDAK. Gaya hidupnya dalam kaca mata pengamatan saya tidak lagi berbudaya sebagai orang Batak, melainkan sudah ke-Arab-Arab-an. Tidak hanya itu, kontribusinya dalam memajukan tanah kelahirannyapun nyaris tidak ada.
Hal ini penting kita ketahui, supaya kita jangan mudah dipengaruhi hanya karena punya marga Batak. Orang bisa saja terlahir secara biologis sebagai orang Batak, namun secara ideologis tidak. Ideologis yang mencakup cara hidup, cara pandang dan cara bereaksi di lingkungannya.
Jadi kawan-kawan, apakah anda mau pertarungan Pilkada di Sumatera Utara rasa Pilkada DKI Jakarta yang sarat dengan isu-isu SARA?
Kalau aku tak maulah...! Kau kekmana?
Salam sada roha dari Anak Medan. HORAS!

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon