Doa nyiyir Tifatul Sembiring di sidang tahunan MPR pada peringatan 72 tahun Indonesia merdeka. |
Siporsuk
Na Mamora - Serba serbi
riak politik Pilkada serentak 2018 telah mulai hangat diperbincangkan
dikalangan masyarakat. Tak ketinggalan masyarakat Provinsi Sumatera Utara yang
juga merupakan salah satu daerah peserta pilkada serentak tahun 2018 mendatang.
Mari kita mereefress sedikit ingatan
kita tentang suramnya perjalanan kepemimpinan di Provinsi Sumatera Utara pada
dua periode terakhir ini. Tentang Gubernurnya yang sudah dua kali
berturut-turut menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari antara dua orang Gubernur
korup yang di produksi oleh Provinsi Sumatera Utara ini, ada salah satunya yang
korupsinya sangat parah. Kalau di analogikan dengan penyakit, mungkin sudah
masuk pada kategori penyakit komplikasi. Kenapa? Karena kasus korupsi yang
menjeratnya tidak hanya satu kasus, melainkan sudah lebih dari tiga kasus
sekaligus, yang sampai hari ini belum juga terselesaikan dengan baik, alias
masih dalam tahap persidangan. Ditambah lagi dengan keikut sertaan istri
mudanya dalam kesetiaannya membantu suami untuk melakukan korupsi. Dua-duanya
ditetapkan tersangka dan ditahan KPK sampai hari ini.
Siapa dia? Dia inilah yang namanya
Gatot Pujo Nugroho, Gubernur non-aktif Provinsi Sumatera Utara yang sekarang
telah mendekam dirumah tahanan KPK. Seorang kader tulen Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) yang katanya partai dakwah namun korupsi sapi juga. Partai yang
juga sedari dulu diduga banyak dihuni oleh orang-orang HTI yang anti-pancasila
dan intoleran. Juga salah satu partai yang sangat tidak menyukai keberadaan
KPK.
Teringat dibenak saya, pola pilkada
dibeberapa daerah yang memiliki calon kader-kader PKS. Acap kali isu SARA
dimainkan untuk mendulang suara demi memenangkan calon yang mereka usung,
hingga sampai pada terbentuknya opini minoritas dan mayoritas.
Inilah pola-pola yang sering
digunakan oleh PKS dalam menghadapi pertarungan di Pilkada-pilkada demi
mendapatkan sebuah kemenangan, tanpa berfikir apa efek buruk yang akan muncul
setelahnya. Jarang sekali pola yang mereka bangun berorientasi pada kualitas,
integritas dan kinerja. Yang penting pake peci, berpenampilan “seperti” orang
beriman, lalu pake-pake ayat suci. Itu saja sudah cukup bagi calon Kepala
Daerah dari PKS.
Anda juga bisa dengan mudah
membedakan mana daerah yang dipimpin oleh kader PKS dan mana daerah yang
dipimpin oleh kader partai nasionalis. Sudah pasti daerah yang dipimpin oleh
kader PKS penuh dengan nuansa ke-Arab-Arab-an dan rawan dicekoki dengan
aturan-aturan sepihak yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok-kelompok
tertentu.
Kawan, jangan silau dengan simbol
simbol agama tertentu, saat ini banyak kelompok atau partai yang memakai
simbol-simbol identitas agama namun pada kenyataannya sama saja isinya penuh
dengan koruptor. Ada yang korupsi daging sapi dan ada yang korupsi kitab suci.
Sebentar lagi kita akan kembali
merayakan pesta demokrasi ditingkatan daerah. Biasanya pada momen-momen seperti
ini, mereka yang suami-istripun bisa pisah ranjang untuk sementara sampai
pilkada selesai karena perbedaan pilihan masing-masing. Ini masih dalam kategori
wajar, lah... Bagaimana dengan yang terjadi di Jakarta beberapa bulan yang
lalu? Jenazahpun harus ikut jadi korban pilkada.
Persoalan politik di Pilkada DKI
Jakarta beberapa bulan yang lalu adalah persoalan yang paling parah. Ada banyak
catatan yang bisa kita ambil sebagai bahan pelajaran kedepannya pada
Pilkada-pilkada selanjutnya, terlebih perihal tentang (1) Massive-nya
penggunaan isu-isu SARA/ujaran kebencian terhadap calon tertentu atau politik
identitas, (2) Penyalah gunaan rumah ibadah menjadi tempat kampanye-kampanya
terselubung, (3) Terpecahny keharmonisan masyarakat dan (5) Terkesampingkannya
cara pandang masyarakat yang seharusnya memilih berorientasikan pada rekam
jejak dan kemampuan dalam memimpin.
Kita menginginkan Sumatera Utara
tetap dengan identitas provinsi ter-toleran sampai kapanpun, jangan sampai
dengan pelaksanaan Pilkada 2018 serta dengan kehadiran calon-calon dari partai
yang “nasionalismenya” diragukan membuat situasi sosial yang harmonis di
Sumatera Utara jadi kacau balau akibat di acak-acak oleh tokoh-tokoh partai
yang kerap bermain di zona-zona sensitif seperti isu-isu SARA.
Menurut analisis saya, partai PKS
memiliki agenda khusus untuk Sumatera Utara. Taktik copy-paste strategi
memenangkan Pilkada DKI Jakarta kemungkinan akan diterapkan di Sumatera Utara
dengan mengambil Tifatul Sembiring yang notabanenya terlahir bersuku Batak yang
berasal dari Sumatera Utara. Potensi ini yang mereka lihat dan akan mereka
tonjolkan kedepan demi meraup suara sebanyak mungkin.
Akan tetapi, sebagai masyarakat
yang sadar dan waras. Kita harus mengingat dan mengenal Tifatul Sembiring lebih
dalam lagi.
Apakah dia masih memiliki jiwa
ke-Batak-an? Dan apakah beliau selama ini aktif dalam kehidupan sosial budaya
sebagai orang Batak?
Jawabannya TIDAK. Gaya hidupnya
dalam kaca mata pengamatan saya tidak lagi berbudaya sebagai orang Batak,
melainkan sudah ke-Arab-Arab-an. Tidak hanya itu, kontribusinya dalam memajukan
tanah kelahirannyapun nyaris tidak ada.
Hal ini penting kita ketahui,
supaya kita jangan mudah dipengaruhi hanya karena punya marga Batak. Orang bisa
saja terlahir secara biologis sebagai orang Batak, namun secara ideologis
tidak. Ideologis yang mencakup cara hidup, cara pandang dan cara bereaksi di
lingkungannya.
Jadi kawan-kawan, apakah anda mau
pertarungan Pilkada di Sumatera Utara rasa Pilkada DKI Jakarta yang sarat
dengan isu-isu SARA?
Kalau aku tak maulah...! Kau
kekmana?
EmoticonEmoticon