Thursday, September 21, 2017

Maaf Jenderal, Film G30S/PKI Belum Lulus Sensor

Tags

Meme Film G30S/PKI
Siporsuk Na Mamora - Menarik memperhatikan dinamika perdebatan di media sosial akhir-akhir ini. Perubahan isu-isu yang muncul kepermukaan sangat cepat sekali, seolah-olah ada kekuatan di balik semua isu-isu tersebut untuk memanipulasi opini dan persepsi publik sesuai yang di inginkan.
Dalam pengamatan saya, yang di target mereka tetap saja adalah Jokowi. Hal ini terlihat dari penggorengan semua isu, baik nasional maupun internasional sengaja digiring untuk menyalahkan Jokowi.
Beberapa hari yang lalu, masyarakat kita masih sibuk membahas tentang konflik komunal di wilayah Rakhine State, Myanmar di media sosial. Bukan hanya di media sosial, di jalan-jalan juga ada yang sampe kesurupan dan lepas kendali saat memberi orasi. Tanpa dasar menuduh pemerintahan Jokowi pencitraan karena telah mengirim bantuan kemanusiaan untuk pengungsi etnis Rohingya di Bangladesh.
Belum berakhir sampai disitu, ada juga yang teriak bahwa Jokowi harus segera menghentikan konflik di Rakhine State, Myanmar. Emang Jokowi presiden di Myanmar? Yang kacolah pikiran kakek tua itu.
Ada lagi, yang ini lebih gilak. Demonya bertema soal Rohingya, tapi isinya malah teriak "jangan pilih Ketua PSSI jadi Gubernur Sumatera Utara!". Loh... Hubungannya apa ya? HaHaHaHa... Dasar bani saracen! Maksud mereka sebenarnya mungkin begini, "pilihlah Bekacul Sembriwing si penyebar foto hoax pembantaian etnis Rohingya itu."
Kecenderungan mengait-ngaitkan persoalan atau masalah apapun yang terjadi di bumi ini terhadap Jokowi sudah sangat sering terjadi. Pembantaian etnis Rohingya, yang disalahkan Jokowi. Saat sudah dibantu malah dituduh pencitraan, Jokowi disalahkan lagi. Raisa jatuh ke pelukan Hamish Daud yang adalah warga negara Australia juga yang disalahkan Jokowi. Ini jaman mulai edan! Tapi bisa kita maklumi karena tahun politik nasional 2019 sudah mulai mendekat. Persaingan dan penggorengan isu, bahkan yang sudah basipun akan dilakukan dengan cara apapun untuk menghempang Jokowi di tahun 2019.
Setelah semua isu diatas digoreng habis-habisan untuk menyerang Jokowi, muncullah isu PKI yang katanya akan bangkit kembali. Lalu pemerintahan Jokowi dihujat, dituduh sebagai antek-antek dan juga pelindung PKI.
Sepertinya mereka telah kehabisan isu dan cara untuk menyerang Jokowi, sampai akhirnya muncullah ide soal PKI. Pintarnya mereka, tangan seorang Jenderal dijadikan sebagai pemantik pemicunya. Kebijakan kontraversial “nonton bareng film G30/S lalu dikeluarkan melalui tangan sakti sang Jenderal.
Kita memahami betapa kerja kerasnya TNI melindungi dirinya agar senantiasa dimasa depan tidak dipersalahkan oleh siapapun atas penumpasan anggota-anggota PKI tanpa ada pendekatan hukum yang berlaku saat itu. Para warga yang dituduh PKI seakan-akan halal hidupnya diambil TNI tanpa ada pengadilan pada masa itu.
Dalam catatan wikipedia.org, ada sekitar setengah juta orang yang dituduh anggota PKI dibantai dan kurang lebih satu juta orang dipenjara. Kejadian pembantaian ini terjadi pada masa transisi ke masa Orde Baru. Tidak ada yang pernah mempersoalkannya. Anehnya lagi, kita lebih takut pada PKI ketimbang kejamnya masa Orde Baru.
Kecenderungan narasi sejarah yang terbangun di mata publik dari materi film G30S/PKI hasil produksi Orde Baru tersebut tidak lain adalah menjadikan PKI sebagai orang-orang yang sangat kejam, tidak punya agama, pembunuh, tidak punya rasa kemanusiaan dan pemberontak negara. Di sisi lain, muncul image bahwa TNI bersih dari lumuran darah orang-orang tak berdosa yang di bantai bebas sesuai yang mereka inginkan.
Namun terlepas dari pro-kontra materi film nya, yang sebagian orang menganggapnya lebih cocok diketegorikan sebagai film fiksi ketimbang kategori film sejarah. Kita perlu membuat catatan kritis sebelum nanti film tersebut merusak generasi kita kedepan dan lalu kita menyesalinya dikemudian hari.
Salah satu kesalahan fatal Orde Baru adalah mewajibkan semua warga negara untuk menyaksikan film G30S/PKI setiap tahunnya, tepat di tanggal 30 September, tak peduli umurnya berapa. Dalam arti kata, tidak ada control atau batasan sama sekali buat mereka yang masih dibawah umur.   

Baca juga : Operasi Senyap Anies-Sandi : Mencari Dukungan Orde Baru, Umat Islam Harus Ingat Ini
Film G30S/PKI dengan segala kesadisannya menjadikan film tersebut termasuk dalam kategori film paling berbahaya jika ditonton oleh anak-anak dibawah umur. Jauh lebih berbahaya dari tayangan SMACK-DOWN yang terlarang itu. Kenapa? Karena sadisnya bisa mempengaruhi mental anak-anak, bahkan bisa lebih parah, bermuara pada praktek/meniru adegan sadir tersebut tanpa mereka sadar bahwa itu berbahaya.
Apakah ini yang diinginkan sang Jenderal? Sehingga beliau ngotot memutar film G30S/PKI di ruang-ruang publik, terlebih mengeluarkan perintah nobar bersama masyarakat?
Jika ini yang dilakukan, saya kira masyarakat bukannya memetik isi sejarahnya, namun sebaliknya malah menuai kerugian dari segi mental anak-anak mereka yang rusak akibat menonton kesadisan dalam film tersebut. Mereka (*anak-anak) tidak akan mengerti isi sejarah yang Bapak Jenderal maksud, tetapi lebih pada isi kekerasannya dan kesadisannya.
Oleh karena itu, kita tidak mau pemutaran film ini merusak mental kita lagi setelah sekian banyak generasi yang rusak dimasa Orde Baru akibat pemutaran film G30S/PKI secara berlebihan dan dalam waktu yang sangat lama.
Inilah perlunya merevolusi mental seperti yang dikatakan Jokowi, mental yang membaja untuk terus bekerja demi tanah air. Bukan mental yang selalu dijajah oleh masa lalu.
Mungkin salah-satu kerisauan yang mendorong Jokowi untuk membuat film G30S/PKI baru versi melanial atau kekinian. Manfaatnya akan sangat banyak. Salah satu contoh kecilnya adalah pembatasan adegan sadis atau sensor adegan sadis.
Jadi, gimana nonton barengnya pak Jenderal? Tunggu dulu, setelah lulus sensor dari lembaga sensor perfilman Indonesia. Ini demi anak-anak kita, para penerus bangsa ini. Jangan kita rusak mental mereka dengan adegan-adegan sadis.
Salam sada roha dari Anak Medan. HORAS!

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon