Pak Haji Djarot bersama Sihar Sitorus |
Belum padam keramaian karena Pilkada DKI
Jakarta, sekarang masyarakat justru makin ramai dengan kejutan dari PDI-Perjuangan
yang secara berani mengusung Pak Haji Djarot sebagai jagoannya di Pilkada
Sumatera Utara yang diselenggarakan tahun ini bersama 170 daerah se-Indonesia.
Kehadiran Pak Djarot dalam kontestasi Pilkada
Sumut tak semata-mata hanya akan memecah kebuntuan kepemimpinan di Sumatera
Utara selama 2 periode terakhir ini, tetapi juga mampu memercikkan semangat optimisme
akan perubahan Sumatera Utara kedepannya.
Sebelumnya, wajah-wajah yang muncul
dipermukaan sama rata, sama bentuknya dengan yang lalu-lalu. Ada yang muka
preman, muka perampas hak-hak orang lain (tanah, dll) dan sudah tentu dengan
rekam jejak yang buruk. Tak ada rekam jejaknya yang sebaik Pak Haji Djarot ini.
Saya yang sedari awal memperhatikan
perkembangan pilkada di Sumatera Utara tidak begitu bersemangat sebelum
kehadiran Pak Djarot, – hati kecil saya berkata – pasti mereka lagi-mereka lagi
– para dedengkot koruptor sebelumnya – yang berkuasa. Bukan hanya saya saja,
teman-teman juga banyak yang apatis melihat perkembangan pilkada di Sumut,
hingga akhirnya kamipun tersihir semangatnya dengan kehadiran Pak Djarot dalam
kontestasi Pilkada Sumut.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “prestasi dan
pencapaian” beliau tidak lagi sulit dijawab, yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah : Bagaimana Pak Djarot bisa menang
di Pilkada Sumut? Mengingat Pak Djarot adalah orang yang bukan lahir di
Sumatera Utara, bukan orang batak pulak! Apakah mungkinkan menang?
Ekspos media dan para nitizen pecinta Haji
Djarot menjadi sebuah keuntungan untuk menaikkan elektabilitas, namun disatu
sisi kemungkinan juga akan menimbulkan tantangan baru di era nitizen ini,
karena kampanye negative juga akan semakin mudah dilancarkan seperti halnya di
Pilkada DKI Jakarta yang lalu.
Dalam diskusi-diskusi santai bersama
teman-teman, serta beberapa jejak pendapat di media social, tagline kampanye negative
yang akan dilancarkan untuk menjegal langkah Pak Haji Djarot menuju Gubernur
Sumatera Utara sudah mulai terlihat jelas, salah satunya adalah #Bukan Putra
Daerah, berbeda dengan kampanye negative yang dilancarkan di Pilkada DKI
Jakarta yang kental dengan pengaruh Ahok yang mereka – para kaum micin – sebut adalah
pemimpi #kafir, dan Pak Haji Djarot adalah pendukung pemimpin #kafir.
Kenapa dengan isu #Bukan Putra Daerah?
Di pilkada di Indonesia, sebutan yang penting
#Asal Orang Kita mulai populer sejak Pilkada serentak 2017 lalu, dalam bahasa
Pak Anies disebut #Pribumi Bangkit. Ini adalah sejenis obat bius andalan para
penafsu kekuasaan yang mereka berikan kepada masyarakat setiap kali pilkada,
dalam bahasa politiknya disebut strategi politik identitas. Singkatnya dibilang
begini “biar koruptor/anj*ng, yang penting anj*ng kita”. Nah, sekarang kita mau
dipimpin putra daerah tapi koruptor? Kalau saya sendiri tidak mau donk…
Biar dia – calonya – dari langit ketujuh,
yang penting teruji dan bukan korupsi lagi-korupsi lagi.
Bagaimana menurut kalian?
Atas kerelaan dan kesediaan Pak Djarot
hijjrah untuk melayani masyarakat Sumut, saya angkat topi untuk sampean. Kehadiran
Bapak di Sumatera Utara saya meknai dengan semangat pelayanan Bapak membangun Republik
tanpa mengenal batas. Semangat terus, Sumatera Utara butuh figure seperti
Bapak. Merdeka!
EmoticonEmoticon