Thursday, January 4, 2018

Haji Djarot, Kenapa Kalau Dia Bukan Putra Daerah Sumut?

Tags

Pak Haji Djarot bersama Sihar Sitorus
Belum padam keramaian karena Pilkada DKI Jakarta, sekarang masyarakat justru makin ramai dengan kejutan dari PDI-Perjuangan yang secara berani mengusung Pak Haji Djarot sebagai jagoannya di Pilkada Sumatera Utara yang diselenggarakan tahun ini bersama 170 daerah se-Indonesia.
Kehadiran Pak Djarot dalam kontestasi Pilkada Sumut tak semata-mata hanya akan memecah kebuntuan kepemimpinan di Sumatera Utara selama 2 periode terakhir ini, tetapi juga mampu memercikkan semangat optimisme akan perubahan Sumatera Utara kedepannya.
Sebelumnya, wajah-wajah yang muncul dipermukaan sama rata, sama bentuknya dengan yang lalu-lalu. Ada yang muka preman, muka perampas hak-hak orang lain (tanah, dll) dan sudah tentu dengan rekam jejak yang buruk. Tak ada rekam jejaknya yang sebaik Pak Haji Djarot ini.
Saya yang sedari awal memperhatikan perkembangan pilkada di Sumatera Utara tidak begitu bersemangat sebelum kehadiran Pak Djarot, – hati kecil saya berkata – pasti mereka lagi-mereka lagi – para dedengkot koruptor sebelumnya – yang berkuasa. Bukan hanya saya saja, teman-teman juga banyak yang apatis melihat perkembangan pilkada di Sumut, hingga akhirnya kamipun tersihir semangatnya dengan kehadiran Pak Djarot dalam kontestasi Pilkada Sumut.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “prestasi dan pencapaian” beliau tidak lagi sulit dijawab, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah : Bagaimana Pak Djarot bisa menang di Pilkada Sumut? Mengingat Pak Djarot adalah orang yang bukan lahir di Sumatera Utara, bukan orang batak pulak! Apakah mungkinkan menang?
Ekspos media dan para nitizen pecinta Haji Djarot menjadi sebuah keuntungan untuk menaikkan elektabilitas, namun disatu sisi kemungkinan juga akan menimbulkan tantangan baru di era nitizen ini, karena kampanye negative juga akan semakin mudah dilancarkan seperti halnya di Pilkada DKI Jakarta yang lalu.
Dalam diskusi-diskusi santai bersama teman-teman, serta beberapa jejak pendapat di media social, tagline kampanye negative yang akan dilancarkan untuk menjegal langkah Pak Haji Djarot menuju Gubernur Sumatera Utara sudah mulai terlihat jelas, salah satunya adalah #Bukan Putra Daerah, berbeda dengan kampanye negative yang dilancarkan di Pilkada DKI Jakarta yang kental dengan pengaruh Ahok yang mereka – para kaum micin – sebut adalah pemimpi #kafir, dan Pak Haji Djarot adalah pendukung pemimpin #kafir.
Kenapa dengan isu #Bukan Putra Daerah?
Di pilkada di Indonesia, sebutan yang penting #Asal Orang Kita mulai populer sejak Pilkada serentak 2017 lalu, dalam bahasa Pak Anies disebut #Pribumi Bangkit. Ini adalah sejenis obat bius andalan para penafsu kekuasaan yang mereka berikan kepada masyarakat setiap kali pilkada, dalam bahasa politiknya disebut strategi politik identitas. Singkatnya dibilang begini “biar koruptor/anj*ng, yang penting anj*ng kita”. Nah, sekarang kita mau dipimpin putra daerah tapi koruptor? Kalau saya sendiri tidak mau donk…
Biar dia – calonya – dari langit ketujuh, yang penting teruji dan bukan korupsi lagi-korupsi lagi.
Bagaimana menurut kalian?

Atas kerelaan dan kesediaan Pak Djarot hijjrah untuk melayani masyarakat Sumut, saya angkat topi untuk sampean. Kehadiran Bapak di Sumatera Utara saya meknai dengan semangat pelayanan Bapak membangun Republik tanpa mengenal batas. Semangat terus, Sumatera Utara butuh figure seperti Bapak. Merdeka!

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon