Wanita Simpatisan ISIS |
Akhir-akhir
ini, ramai pemberitaan tentang sikap anti pati, rasa takut, curiga dan waspada
terhadap orang-orang yang berpakaian cadar dan juga bercelana cingkrang,
pemicunya disebabkan paska terjadinya rangkaian serangan teroris di Mako
Brimob, 3 Gereja di Surabaya, Mapolrestabes Surabaya dan Mapolda Riau.
Dalam
laporan berita media nasional terkait pelaku penyerangan Gereja di Surabaya dan
di Mapolrestabes Surabaya, pelaku penyerangan bom di identifikasikan oleh
beberapa saksi di lokasi dengan penampilan wajah ditutupi dengan ‘cadar’.
Kemudian, beberapa pelaku serangan sadis di Mako Brimop setelah ditangkap juga rata-rata
berpenampilan dengan celana ‘cingkrang’ diatas mata kaki.
Laporan-laporan
media diatas yang kemudian menyebar luas di media sosial, dibaca dan menjadi
tolak ukur penilaian publik terhadap pelaku-pelaku serangan bom bunuh diri atau
teroris.
Di Amerika
Serikat dan belahan dunia Eropa, masyarakatnya banyak yang menjadi fobia
terhadap orang-orang yang berpenampilan ala ‘Arabian’ yang kemudian
diidentikkan dengan agama Islam pasca serangan 11/9 yang didalangi oleh Osama
bin Laden pemimpin gerbong teroris Al-Qaeda. Dalam istilah yang lebih kasar,
stigmatisasi ini populer disebut dengan istilan ‘Islamfobia’. Istilah ini
sangat dikenal di AS hingga bangsa-bangsa yang ada di daratan Eropa, efeknya
yang langsung bisa dirasakan adalah timbulnya sikap intoleransi, intimidasi
atau sikap diskriminatif terhadap mereka yang beragama Islam.
Saya sendiri
mimim pengalaman berinteraksi dengan orang-orang yang berpakaian cadar dan
celana cingkrang, tapi bukan berarti minim pengalaman juga berinteraksi dengan
teman-teman beragama Islam. Teman-temanku yang Islam itu berpakaian sepertiku,
berbicara dalam bahasa seperti ku, bahkan terkadang kami diskusi berbahasa
daerah mana kala kami sama-sama bersuku Batak. Karena itu saya merasa nyaman
dan tidak asing bergaul dengan mereka. Beda halnya dengan para kelompok
‘eksklusif’ yang cenderung menutup diri terhadap orang-orang yang berbeda agama,
mereka berbahasa dan berpenampilan ala ‘Arabian’ yang sangat kental. Saya tidak
yakin kalau ada orang yang sependapat denganku yang mengatakan bahwa sikap
‘eksklusivisme’ itu kedepan akan memperluas jarak antara sesama kita yang
berlainan keyakinan dan kemudian sangat riskan dengan munculnya rasa
intoleransi yang akhirnya berlanjut pada munculnya pemahaman radikal, lalu
berakhir pada tindakan/aksi radikal atau aksi terorisme.
Di
Indonesia, kita belum sampai pada stigmatisasi ‘Islamfobia’ sejauh yang terjadi
di AS dan Eropa, namun bibit-bibit rasa itu memang sudah ada sebagai akibat
dari munculnya rasa mawas diri terhadap aksi-aksi serangan teroris yang semakin
lama semakin ganas dan bringas melebihi batas-batas nilai kemanusiaan. Akan
tetapi, apa mungkin stigma ‘Islamfobia’ ada di negara yang masyarakatnya adalah
mayoritas Muslim? Rasanya sangat tidak mungkin. Beda hal dengan stigma
‘cadarfobia’ atau ‘cingkrangfobia’, itu bisa saja terjadi, karena pakaian
ekstrim semacam itu bukanlah bagian dari budaya kita, dan bahkan sebagian umat
Islam mengatakan bahwa cadar dan celana cingkrang bukanlah hal yang wajib dalam
Islam, melainkan hanya budaya orang Arab saja, tidak lebih daripada itu.
Manusia
selayaknya, serta hal yang wajar saja belajar dari apa yang sudah terjadi,
termasuk dalam hal mengantisipasi diri agar tidak terlibat dalam paham-paham
radikal dan aksi teroris yang ada disekitarnya, termasuk juga dalam hal
penyelamatan diri agar tidak menjadi korban keganasan aksi para teroris.
Hal yang
lebih sederhana, berkaitan dengan tema besar tulisan ini, yaitu tentang sikap
yang mewanti-wanti lalu kemudian menjadi anti pati terhadap mereka yang berpakaian
cadar dan celana cingkrang, setelah melihat fakta-fakta atas serangan-serangan
teroris di beberapa lokasi, terlebih khusus tentang penampilan dan cara
berpakaian para pelaku bom bunuh diri, wajarkah?
Jika kita
harus menjawab, maka jawabannya, sebagai manusia, maka hal itu sangat wajar, sepanjang
kewaspadaan dan mawas diri itu tidak berlanjut pada tindakan melanggar hukum,
persekusi dan menghakimi secara sepihak dan bertindak brutal. Nah, bagaimana
dari sisi kemanusiaan dan HAM? Saya rasa, semua manusia yang masih sehat pasti
cenderung menghindarkan diri dari bahaya yang berdampak membawa kematian. Jadi,
rasa mawas diri yang mereka punya itu adalah bagian dari HAM-nya sendiri.
Jawaban
untuk pertanyaan diatas tentu tidak serta merta akan menyelesaikan persoalan
dan serta merta akan menghindarkan Anda dari aksi kejam teroris, karena apa?
Karena penampilan bukanlah sesuatu hal yang ‘mutlak’ bisa digeneralisir menjadi
ciri seorang pelaku teror atau teroris.
Jawaban
lain, jika kita harus menjawab apakah sikap sedemikian benar atau salah? Maka
jawabannya ‘tidak salah’ numun ‘tidak sepenuhnya bisa dibenarkan’.
Masyarakat
kita memang merupakan masyarakat ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan menjunjung tinggi
norma-norma agama maupun hukum yang berlaku, tetapi belum sampai pada pemehaman
yang paripurna, karenanya masih sering terjadi saling curiga dan penghakiman
secara sepihak, persekusi dan tindakan diskriminatif terhadap orang yang
berbeda keyakinan atau bahkan berbeda cara berpakaian.
Wanita
dengan pakaian minim/lebih terbuka akan sangat mudah diberi penilaan atau dicap
sebagai ‘pelacur/murahan’ oleh mereka yang berpakaian tertutup atau yang merasa
diri lebih berpakaian agamais dan merasa lebih suci. Kita semua pasti pernah
menyaksikan hal semacam itu dilingkungan kita masing-masing. Apakah salah?
Kalau jawabannya ‘tidak’, maka, apa bedanya dengan sikap sebagian masyarakat
yang mawas diri, anti pati, takut dan mencurigai mereka yang berpakaian cadar
dan celana cingkarang atas dasar pertimbangan kesamaan penampilan dengan para
pelaku teror yang terjadi akhir-akhir ini?
Kita harus
berpikir dan berlaku adil juga kepada semua orang, jangan hanya mau menang
sendiri dan jangan pakai penilaian berstandart ganda.
Semoga
mereka yang merasa ‘terdiskriminasi’ oleh karena cadar dan celana cingkrang
yang mereka pakai bisa lebih dewasa dalam memahami kondisi psikologis
masyarakat kita saat ini yang baru saja mengalami guncangan akibat aksi biadab
teroris. Bukan malah merasa diri paling benar dan terzolimi yang berpotensi
memperluas ruang gerak para pelaku teroris yang nyata-nyatanya selalu berusaha
mengidentikkan diri dengan penampilan berpakaian ala ‘Arabian’ agar terlihat
lebih agamis dan ber-aksi atas nama agama.
Terakhir
saya sampaikan, bahwa Tuhan punya rencana yang baik diatas semua perbedaan yang
kita miliki yang meliputi adat/budaya, cara berpakaian, corak wajah, kulit dan
lain sebagainya. Terkhusus tentang suku bangsa dan juga budaya, marilah kita
bangga atas itu tanpa mengurangi keimanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salam sada
roha dari Anak Medan.
h o r a s !
EmoticonEmoticon