Tuesday, May 22, 2018

Salahkah Mereka Yang Mewaspadai Orang Bercadar dan Bercelana Cingkrang?

Tags

Wanita Simpatisan ISIS
Akhir-akhir ini, ramai pemberitaan tentang sikap anti pati, rasa takut, curiga dan waspada terhadap orang-orang yang berpakaian cadar dan juga bercelana cingkrang, pemicunya disebabkan paska terjadinya rangkaian serangan teroris di Mako Brimob, 3 Gereja di Surabaya, Mapolrestabes Surabaya dan Mapolda Riau.
Dalam laporan berita media nasional terkait pelaku penyerangan Gereja di Surabaya dan di Mapolrestabes Surabaya, pelaku penyerangan bom di identifikasikan oleh beberapa saksi di lokasi dengan penampilan wajah ditutupi dengan ‘cadar’. Kemudian, beberapa pelaku serangan sadis di Mako Brimop setelah ditangkap juga rata-rata berpenampilan dengan celana ‘cingkrang’ diatas mata kaki.
Laporan-laporan media diatas yang kemudian menyebar luas di media sosial, dibaca dan menjadi tolak ukur penilaian publik terhadap pelaku-pelaku serangan bom bunuh diri atau teroris.
Di Amerika Serikat dan belahan dunia Eropa, masyarakatnya banyak yang menjadi fobia terhadap orang-orang yang berpenampilan ala ‘Arabian’ yang kemudian diidentikkan dengan agama Islam pasca serangan 11/9 yang didalangi oleh Osama bin Laden pemimpin gerbong teroris Al-Qaeda. Dalam istilah yang lebih kasar, stigmatisasi ini populer disebut dengan istilan ‘Islamfobia’. Istilah ini sangat dikenal di AS hingga bangsa-bangsa yang ada di daratan Eropa, efeknya yang langsung bisa dirasakan adalah timbulnya sikap intoleransi, intimidasi atau sikap diskriminatif terhadap mereka yang beragama Islam.
Saya sendiri mimim pengalaman berinteraksi dengan orang-orang yang berpakaian cadar dan celana cingkrang, tapi bukan berarti minim pengalaman juga berinteraksi dengan teman-teman beragama Islam. Teman-temanku yang Islam itu berpakaian sepertiku, berbicara dalam bahasa seperti ku, bahkan terkadang kami diskusi berbahasa daerah mana kala kami sama-sama bersuku Batak. Karena itu saya merasa nyaman dan tidak asing bergaul dengan mereka. Beda halnya dengan para kelompok ‘eksklusif’ yang cenderung menutup diri terhadap orang-orang yang berbeda agama, mereka berbahasa dan berpenampilan ala ‘Arabian’ yang sangat kental. Saya tidak yakin kalau ada orang yang sependapat denganku yang mengatakan bahwa sikap ‘eksklusivisme’ itu kedepan akan memperluas jarak antara sesama kita yang berlainan keyakinan dan kemudian sangat riskan dengan munculnya rasa intoleransi yang akhirnya berlanjut pada munculnya pemahaman radikal, lalu berakhir pada tindakan/aksi radikal atau aksi terorisme.
Di Indonesia, kita belum sampai pada stigmatisasi ‘Islamfobia’ sejauh yang terjadi di AS dan Eropa, namun bibit-bibit rasa itu memang sudah ada sebagai akibat dari munculnya rasa mawas diri terhadap aksi-aksi serangan teroris yang semakin lama semakin ganas dan bringas melebihi batas-batas nilai kemanusiaan. Akan tetapi, apa mungkin stigma ‘Islamfobia’ ada di negara yang masyarakatnya adalah mayoritas Muslim? Rasanya sangat tidak mungkin. Beda hal dengan stigma ‘cadarfobia’ atau ‘cingkrangfobia’, itu bisa saja terjadi, karena pakaian ekstrim semacam itu bukanlah bagian dari budaya kita, dan bahkan sebagian umat Islam mengatakan bahwa cadar dan celana cingkrang bukanlah hal yang wajib dalam Islam, melainkan hanya budaya orang Arab saja, tidak lebih daripada itu.
Manusia selayaknya, serta hal yang wajar saja belajar dari apa yang sudah terjadi, termasuk dalam hal mengantisipasi diri agar tidak terlibat dalam paham-paham radikal dan aksi teroris yang ada disekitarnya, termasuk juga dalam hal penyelamatan diri agar tidak menjadi korban keganasan aksi para teroris.
Hal yang lebih sederhana, berkaitan dengan tema besar tulisan ini, yaitu tentang sikap yang mewanti-wanti lalu kemudian menjadi anti pati terhadap mereka yang berpakaian cadar dan celana cingkrang, setelah melihat fakta-fakta atas serangan-serangan teroris di beberapa lokasi, terlebih khusus tentang penampilan dan cara berpakaian para pelaku bom bunuh diri, wajarkah?
Jika kita harus menjawab, maka jawabannya, sebagai manusia, maka hal itu sangat wajar, sepanjang kewaspadaan dan mawas diri itu tidak berlanjut pada tindakan melanggar hukum, persekusi dan menghakimi secara sepihak dan bertindak brutal. Nah, bagaimana dari sisi kemanusiaan dan HAM? Saya rasa, semua manusia yang masih sehat pasti cenderung menghindarkan diri dari bahaya yang berdampak membawa kematian. Jadi, rasa mawas diri yang mereka punya itu adalah bagian dari HAM-nya sendiri.
Jawaban untuk pertanyaan diatas tentu tidak serta merta akan menyelesaikan persoalan dan serta merta akan menghindarkan Anda dari aksi kejam teroris, karena apa? Karena penampilan bukanlah sesuatu hal yang ‘mutlak’ bisa digeneralisir menjadi ciri seorang pelaku teror atau teroris.
Jawaban lain, jika kita harus menjawab apakah sikap sedemikian benar atau salah? Maka jawabannya ‘tidak salah’ numun ‘tidak sepenuhnya bisa dibenarkan’.
Masyarakat kita memang merupakan masyarakat ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan menjunjung tinggi norma-norma agama maupun hukum yang berlaku, tetapi belum sampai pada pemehaman yang paripurna, karenanya masih sering terjadi saling curiga dan penghakiman secara sepihak, persekusi dan tindakan diskriminatif terhadap orang yang berbeda keyakinan atau bahkan berbeda cara berpakaian.
Wanita dengan pakaian minim/lebih terbuka akan sangat mudah diberi penilaan atau dicap sebagai ‘pelacur/murahan’ oleh mereka yang berpakaian tertutup atau yang merasa diri lebih berpakaian agamais dan merasa lebih suci. Kita semua pasti pernah menyaksikan hal semacam itu dilingkungan kita masing-masing. Apakah salah? Kalau jawabannya ‘tidak’, maka, apa bedanya dengan sikap sebagian masyarakat yang mawas diri, anti pati, takut dan mencurigai mereka yang berpakaian cadar dan celana cingkarang atas dasar pertimbangan kesamaan penampilan dengan para pelaku teror yang terjadi akhir-akhir ini?
Kita harus berpikir dan berlaku adil juga kepada semua orang, jangan hanya mau menang sendiri dan jangan pakai penilaian berstandart ganda.
Semoga mereka yang merasa ‘terdiskriminasi’ oleh karena cadar dan celana cingkrang yang mereka pakai bisa lebih dewasa dalam memahami kondisi psikologis masyarakat kita saat ini yang baru saja mengalami guncangan akibat aksi biadab teroris. Bukan malah merasa diri paling benar dan terzolimi yang berpotensi memperluas ruang gerak para pelaku teroris yang nyata-nyatanya selalu berusaha mengidentikkan diri dengan penampilan berpakaian ala ‘Arabian’ agar terlihat lebih agamis dan ber-aksi atas nama agama.
Terakhir saya sampaikan, bahwa Tuhan punya rencana yang baik diatas semua perbedaan yang kita miliki yang meliputi adat/budaya, cara berpakaian, corak wajah, kulit dan lain sebagainya. Terkhusus tentang suku bangsa dan juga budaya, marilah kita bangga atas itu tanpa mengurangi keimanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salam sada roha dari Anak Medan.
h o r a s !

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon