Thursday, October 31, 2019

Memutus Rantai Budaya Korupsi

Sekolah Milenial Anti Korupsi. (Foto: GMKI Tarakan)
Dalam obrolan bersama senior belakangan ini tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedikit memeras energi. Bagaimana tidak? Suara 'Bubarkan KPK' itu tidak bisa diterima akal sehat.
Saya tanya, alasannya senior?
Beliau bilang, "KPK itu lembaga tidak jelas dikelompokkan ke mana. Maksudnya dalam pembagian kekuasaan trias politika yang kita kenal. Apakah KPK itu masuk kelompok yudikatif? Tidak juga," katanya. "KPK itu lembaga adhock, pembubarannya bisa kapan saja," katanya melanjutkan.
Tentu saja saya terdiam dan berpikir memutar otak. Saya memang orang yang masih bersepakat mempertahankan keberadaan KPK.
Saya berpikir, bahwa Indonesia, terutama para pejabatnya, masih sangat akut dengan perilaku koruptif.
Perilaku ini membawa kita pada situasi buruk, khususnya soal kata 'kemakmuran' dan 'kesejahteraan' rakyat. Apalagi soal 'keadilan'? Bayangkan jika kebijakan dikorupsi oleh para politikus. Keadaannya akan semakin buruk. Masyarakat dimiskinkan secara sistematis dan masif, atau sistem yang memiskinkan masyarakat.
Lalu saya kembali bertanya, solusi untuk memberantas koruptor setelah KPK dibubarkan? Jawabnya, "Kejaksaan dan kepolisian harus diperkuat".
Dalam pikiran, para koruptor harus diberantas, diberi efek jera. Itu hanya bisa dilakukan oleh KPK selama ini. Sementara kejaksaan dan kepolisian, sampai hari ini sejak 1998, belum juga mampu mengembalikan kepercayaan rakyat.
Kita sudah terlanjur membenci lembaga-lembaga yudikatif ini sejak Orde Baru dan setelah Reformasi 98.
Persoalan yang mengakar sebenarnya ada pada budaya koruptif yang kita warisi dan mendarah daging hingga hari ini. Bayangkan budaya itu sejak zaman VoC, bangkrut karena korupsi, selama 350 tahun dan zaman Orde Baru 30 tahun. Menghilangkan budaya itu sepertinya tidak cukup waktu 380 tahun ke depan.
Saya sependapat jika KPK dievaluasi secara berkala. Tapi tidak sepakat dengan aspirasi KPK dibubarkan sampai waktunya budaya koruptif benar-benar hilang.
Kami yakin, di tubuh KPK sendiri masih bersih dari sistem korup
KPK ke depan harus diperkuat dalam upaya pencegahan. Budaya integritas harus dibangun dari sejak muda anak-anak pewaris bangsa ini. Penyadaran dan penumbuhan semangat antikorupsi harus diutamakan. Jangan ada lagi pikiran hasil korupsi adalah rezeki.
Dalam istilah Alkitabiah, ada nilai spiritualitas keugaharian, yang artinya rasa berkecukupan dan sifat tidak tamak. Jika kita meyakini bahwa bekerja adalah ibadah, maka sebanyak apa yang kita kerjakan, sejumlah itulah rezeki yang patut kita terima.
Lagi-lagi, ini adalah tindakan yang sulit di tengah akutnya budaya korupsi. Sistem yang terbangun sudah benar-benar korup. Sistem itu mencengkram setiap orang yang terlanjur masuk ke dalamnya.
Bahkan ada selorohan di kalangan birokrat, orang yang benar-benar bersih sekalipun, jika sudah masuk ke dalam, secara tidak sadar akan melakukan hal yang sama. Atau pilihannya dinonjobkan dan atau dikucilkan di kalangan sekerjanya, bahkan dipecat.
Itulah sistem yang ada di Indonesia. Satu hal yang sangat penting, kita tidak bisa menyerah. Memang akan selalu sulit, tapi bukan berarti tidak bisa bukan?
Kembali soal memutus rantai budaya koruptif. Yah, sekiranya mencabut nyawa tidak merupakan pelanggaran HAM, maka memutus tujuh generasi yang korup bisa jadi pilihan logis. Manfaatnya apa? Supaya generasi muda kita tidak terkontaminasi. Kita perlu memproteksi generasi muda agar tidak terjangkit bahaya laten budaya korupsi.
Kecil besar adalah sama-sama perbuatan, kontribusi dalam mengambil bagian pemberantasan korupsi. Mari kita lakukan, apapun itu, dan sekecil apapun itu. Sembari kita tetap mawas diri untuk tetap berintegritas atau tetap sehat jika suatu saat diberi tanggung jawab dalam kubangan sistem yang korup itu.
Terima kasih untuk KPK yang masih setia dan komitmen menjaga kepercayaan publik sampai akhirnya Indonesia benar-benar menjadi negara yang zero korupsi. Kami yakin, di tubuh KPK sendiri masih bersih dari sistem korup sekecil apapun, termasuk kebijakan-kebijakan dan orang-orang yang ada di dalamnya.
Para pemuda, pewaris bangsa, mari menjadi pewaris yang merawat dan memperbaiki bangsa ini. Karena kepada anak cucu kita akan kita wariskan kembali bangsa ini. Menjaganya tetap warisan yang layak diwariskan hingga maranatha adalah tugas dan tanggung jawab kita semua.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk kerja keras dan komitmen saudara/i civitas GMKI Cabang Tarakan, Christianto Triwibowo (Ketua BPC GMKI Tarakan M.B 2018-2020) dkk dalam upaya memberikan penddikan dan pelatihan antikorupsi untuk mahasiswa/i di Kota Tarakan, Kalimantan Utara.

Note: Artikel ini sudah tayang di media resmi Tagar.id pada tanggal 16 November 2019.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon