Foto Ilustrasi |
Tentunya
ini bukan soal susu sebelanga, ini soal keresahan hati tentang subuah makna
"Kebangsaan" dan "Nasionalisme".
Dulu
kita adalah bangsa-bangsa dari kerajaan-kerajaan besar dan kecil yang pada
perkembangannya, secara sadar dan penuh keyakinan mendeklarasikan diri untuk mendirikan
sebuah republik yang merdeka dan berdaulat.
Jauh
dari masa sekarang, kita mungkin memiliki nasionalisme masing-masing, di era
modern ini, kita mengatakan nasionalisme kita adalah nasionalisme yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kesadaran akan sebuah perbedaan sudah pasti harus
diberi perhatian khusus untuk anak-anak penerus republik.
Sekelompok
pemuda di Jakarta di tahun 1928 bertemu untuk menciptakan sebuah momentum
persatuan, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Semenjak
itu, kita tidak lagi berbeda, tapi telah menjadi satu untuk cita-cita Indonesia
merdeka.
Jaman
itu telah lama berlalu, jaman dimana kita masih kelaparan, di paksa bekerja
untuk hasil yang tidak akan pernah kita miliki, jaman dimana kita masih dijajah
dan jaman kita masih diperbudak bangsa lain, digilir bergantian. Ibarat seperti
pelacur yang sesuka hati "tante" menyerahkan tubuhnya ke lelaki
manapun selagi memberi untung kepada sang "germo".
Jamannya
si para pahlawan telah lewat, berhasil mengantarkan kita dalam sebuah negara berdaulat.
Kita adalah penerus republik, penerus cita-cita kebangsaan dan penerus spirit
kepahlawanan dulu yang dilatar belakangi rasa persatuan yang kokoh.
Kawanku,
kesejahteraan telah kita miliki, kebebasan dan kemerdekaan telah kita genggam,
apakah kau masih merasa aku saudaramu? Satu tanah airmu, satu bangsamu dan satu
bahasamu? Kau taukah para pendahulu kita dulu dalam berjuang tak pernah
bertanya "Agamamu apa?" tetapi mereka bertanya "Merdeka atau
Mati?".
88
tahun pasca pemuda itu berkumpul, 4 kali UUD 45 di amandemen, tapi kita masih
belum menemukan jati diri kita, kita masih di persimpangan jalan. Agamais atau
Pancasilais.
Fenomena
akhir inilah nilai setitiknya, apakah kita rela mengorbankan semua yang kita
miliki hari ini hanya untuk sebuah "eksistensi" satu kelompok yang
merasa "terzolimi" ? Sementara para pendahulu kita, yang beragama
maupun yang tidak beragamapun ikut serta memperjuangkan kemerdekaan republik
untuk hadiah terbaik bagi para anak-anak ibu pertiwi.
EmoticonEmoticon