Saturday, November 26, 2016

DI PERSIMPANGAN JALAN (?)

Foto Ilustrasi
Siporsuk Na Mamora : "Gara-gara tinta sedikit, rusak susu sebelanga", begitu kira-kira bunyi pepatah dulu.

Tentunya ini bukan soal susu sebelanga, ini soal keresahan hati tentang subuah makna "Kebangsaan" dan "Nasionalisme".

Dulu kita adalah bangsa-bangsa dari kerajaan-kerajaan besar dan kecil yang pada perkembangannya, secara sadar dan penuh keyakinan mendeklarasikan diri untuk mendirikan sebuah republik yang merdeka dan berdaulat.

Jauh dari masa sekarang, kita mungkin memiliki nasionalisme masing-masing, di era modern ini, kita mengatakan nasionalisme kita adalah nasionalisme yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kesadaran akan sebuah perbedaan sudah pasti harus diberi perhatian khusus untuk anak-anak penerus republik.

Sekelompok pemuda di Jakarta di tahun 1928 bertemu untuk menciptakan sebuah momentum persatuan, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.

Semenjak itu, kita tidak lagi berbeda, tapi telah menjadi satu untuk cita-cita Indonesia merdeka.

Jaman itu telah lama berlalu, jaman dimana kita masih kelaparan, di paksa bekerja untuk hasil yang tidak akan pernah kita miliki, jaman dimana kita masih dijajah dan jaman kita masih diperbudak bangsa lain, digilir bergantian. Ibarat seperti pelacur yang sesuka hati "tante" menyerahkan tubuhnya ke lelaki manapun selagi memberi untung kepada sang "germo".

Jamannya si para pahlawan telah lewat, berhasil mengantarkan kita dalam sebuah negara berdaulat. Kita adalah penerus republik, penerus cita-cita kebangsaan dan penerus spirit kepahlawanan dulu yang dilatar belakangi rasa persatuan yang kokoh.

Kawanku, kesejahteraan telah kita miliki, kebebasan dan kemerdekaan telah kita genggam, apakah kau masih merasa aku saudaramu? Satu tanah airmu, satu bangsamu dan satu bahasamu? Kau taukah para pendahulu kita dulu dalam berjuang tak pernah bertanya "Agamamu apa?" tetapi mereka bertanya "Merdeka atau Mati?".

88 tahun pasca pemuda itu berkumpul, 4 kali UUD 45 di amandemen, tapi kita masih belum menemukan jati diri kita, kita masih di persimpangan jalan. Agamais atau Pancasilais.


Fenomena akhir inilah nilai setitiknya, apakah kita rela mengorbankan semua yang kita miliki hari ini hanya untuk sebuah "eksistensi" satu kelompok yang merasa "terzolimi" ? Sementara para pendahulu kita, yang beragama maupun yang tidak beragamapun ikut serta memperjuangkan kemerdekaan republik untuk hadiah terbaik bagi para anak-anak ibu pertiwi.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon