Sumber : Facebook |
Siporsuk Na Mamora - Teringat di bulan 9-10 tentang
berita kekeringan yang terjadi di Balige - Kabupaten Toba Samosir - Sumatera
Utara yang mengakibatkan gagal panen dan kesulitan air untuk lahan pertanian.
Hal ini membuat para petani kesulitan ekonomi, dan mamang disana profesi
sebagian besar penduduk adalah petani.
Balige
yang merupakan salah satu kota kecil yang bersinggungan langsung dengan air
Danau Toba bisa-bisanya mengalami kekeringan, ini merupakan salah satu
pertanyaan besar bagi saya, di tempat yang bagiku sebuah kemustahilan mengalami
kekeringan ternyata bisa terjadi kekeringan air. Bukan tanpa alasan, beberapa
penelitian mengatakan bahwa Danau Toba adalah danau yang airnya tidak akan
mungkin kering.
Terfikir
juga kalau ternyata kami di tanah Batak ini mengalami keterbelakangan fasilitas
pertanian yang sangat jauh, hingga air yang jaraknya 2 kilometer dari pinggir
danau tidak bisa tarik untuk membasahi lahan pertanian, pemerintahannya juga
terlihat mandul, terlebih dinas pertaniannya yang sama sekali tidak
merefresentasikan kecanggihan pertanian masa kini, terkesan manoton dan
begitu-begitu saja, perannya tidak kelihatan signifikan dalam lingkungan
masyarakat yang sudah dari dulu menjalankan aktivitas bertani.
Oh...
Baru teringat, sewaktu berkunjung ke sebuah lokasi disana untuk menjumpai
seorang wanita di tahun 2014, lokasinya penuh pemukiman warga, ada bau-bau tak
sedap disana, hingga membuat saya pusing sampai sakit kepala. Ternyata itu
berasal dari zat kimia bubur kertas sebuah pabrik kertas yang bernama PT. Toba
Pulp Lestari atau sebutan Indorayon yang populer di lingkungan masyarakat
setempat.
Kenyataan
yang membuat misi ku kesana buyar, aku justru duduk di sebuah kedai kopi yang
tidak jauh dari pabrik kertas itu, aroma kopi Silintong dan suasana markombur (bercerita) dengan salah satu warga
disana membuatku hanyut dalam suasana diskusi serius, kadang-kadang angin
berhembuas membawa aroma busuk itu membuat konsentrasi hilang, kenyataan bahwa
negeri Toba yang dulu sejuk dan udaranya segar telah termentahkan oleh bau
busuk ini.
Dampaknya
tidak hanya sekedar menimbulkan aroma kimia yang busuk di daerah Porsea saja,
tetapi juga membuat hutan-hutan gundul dan tandus, menimbulkan konflik sosial
hingga berjatuhan korban nyawa di beberapa desa termasuk salah satunya desa
Sipitu Huta. Puncak persoalan PT. TPL ini terjadi di tahun 1980 hingga 1990-an.
Pernah juga terbacaku sebuah artikel penelitian yang mengatakan bahwa aroma zat
kimia ini bisa berdampak pada pertumbuhan bayi di lingkungan sekitarnya.
Ditambah lagi kalau perusahaan ini tidak disiplin soal pengelolaan limbahnya,
tidak jarang warga melapor bahwa limbah perusaan ini dibuang ke sungai Asahan,
tentu ini sangat berdampak bagi perusakan lingkungan.
Hutan
di Tapanuli adalah mayoritas hutan adat, kayu yang dulunya heterogen sekarang
telah berubah menjadi homogen, jika dulu warga banyak menanam pohon Haminjon
agar sekaligus membantu ekonomi, sekarang telah menjadi Ekaliptus akibat dari
invasi hutan adat yang dilakukan oleh PT.TPL
dengan tujuan agar kedepannya mereka bisa menebang kayu itu dan dikelola
menjadi kertas, mereka sering melakukan program pelestarian lingkungan dengan
penanaman pohon tetapi isinya adalah menanam pohon ekaliptus juga, memperdaya
warga adalah keahlian mereka, tak jarang juga mereka memperdaya mahasiswa, dan
bodohnya mahasiswa itu juga mau diperdaya, mungkin dasarnya mereka adalah
mahasiswa angka, terlebih angka-angka rupiah. Bukan itu saja, para pemuka
Gereja juga mereka kendalikan untuk kepentingan aset-aset dan keberlanjuatan
perusahaan.
Banyak
yang melawan, tetapi kalah jumlah dengan para penjilat yang ingin meraup
keuntungan dari perusahaan, yang paling populer adalah "menjual gerakan", metode mereka yang paling populer
adalah dengan mengajak makan di hotel berbintang (mengeluarkan rilis dukungan masyarakat di media), mendanai
mahasiswa study banding (mengeluarkan
rilis dukungan mahasiswa di media), melakukan program penghijauan (isinya menanam ekaliptus), hingga
membiayai para calon-calon DPR/DPRD dan calon Kepala Daerah yang berkaitan
langsung ataupun tidak langsung dengan perusahaan, guna untuk membangun citra
baik bagi perusahaan di mata publik dan media yang berujung pada peningkatan
harga saham perusahaan dan kebebasan mengekploitasi hutan adat.
Selain
dampak lingkungan, damapak yang paling membahayakan adalah dampak sosial yang
ditimbulkan, itu menurut pendapat saya, seperti yang saya sebutkan di alinea
ke-6, teman-teman bisa bayangkan apa jadinya generasi bangsa kita jika ini
terus-menerus di pertahankan berada di tanah Batak, bisa jadi generasi kita
yang terkenal terdidik akan mengalami keterbelakangan mental akibat zat kimia
yang menyerang pertumbuhannya. Beda lagi dengan konflik horizontalnya, yang
terkadang membuat persaudaraan terputus akibat keserakahan terhadap angka-angka
rupiah yang ditawarkan perusahaan ini, tak berhenti hanya disitu, bahkan
kelompok warga yang saling membunuh juga sudah terjadi, terlebih akibat aparat
yang terkesan menjadi pelindung bagi perusahaan ini.
Jangan
berharap hutan itu akan hijau kembali atau air yang melimpah, itu tidak akan
terjadi selagi perusahaan penebang kayu itu masih ada dan berdiam disana hingga
waktu yang tidak ditentukan, untuk penguasaan hutan yang tidak terbatas dan
tidak di evaluasi hingga hari ini akibat dari pejabat korup.
Saya
ingin mengingatkan kita semua dengan nasehat Raja Sisingamagaraja XII yang dulu
hidup untuk melindungi segenap teotorial tanah Batak beserta penghuninya,
katanya begini "Ula tanom, asa unang
di gomak Bolanda penjajah - Terjemahan : Usahakan tanahmu, supaya tidak
diambil/dikuasai Belanda penjajah".
Untuk
terakhir saya sampaikan bahwa tanah bagi orang Batak adalah identitas diri
sebagai suatu bangsa, jika tanah sudah tidak ada, maka siapakah yang disebut bangsa
Batak? Tanah mana lagi yang kita sebut dengan Bona Pasogit? Atau katakanlah kau
sukses di Negeri orang, tapi bukan berarti tanahnya itu menjadi identitasmu.
Sekarang
mungkin gunung-gunung, hutan-hutan itu telah menjadi tandus dan tidak bisa
memberi manfaat sebaik dulu lagi, atau udara dan airnya tidak lagi sesegar dan
sebening dulu, tapi bukan berarti tanggung jawab kita untuk merawat, menjaga
dan mempertahankannya hilang begitu saja sekalipun anda telah menemukan tanah
yang lebih subur dan air yang lebih jernih di negeri orang.
Gunung
Pusut Buhit tempat nenek moyang kita dulu bertengger menatap keindahan Danau
Toba, jangan kita biarkan di rebut orang lain, kita rawat dan lestarikanlah
untuk masa depan bangsa Batak yang katanya adalah manusia-manusia unggul ini.
EmoticonEmoticon