Wednesday, December 28, 2016

Menggugat Kepongahan Para Orang Tua

Gambar : Raja Sisingamangaraja XII
Siporsuk Na Mamora - Saya ingin tes kemampuan dan kesanggupan hingga titik terendah dalam kisah perjalanan kehidupan, apa memang saya sanggup atau tidak.

Dalam diskusi dengan adek-adek terdekat saya sering katakan bahwa grafik kehidupan itu naik turun, ada kalanya kita di atas dan ada kalanya kita dibawah hingga titik terendah, dan kalau diantara kalian telah mengalaminya, maka berbahagialah, karena saya pribadi sampai hari ini belum mengalaminya.

Ketika kita di atas, jangan "leas = hina" melihat yang dibawah, ketika kita dibawah juga jangan kita "mendewakan" yang diatas.

Hal yang paling bahaya ketika kita berada di atas hingga sampai pada mengadili/menghakimi orang-orang yang berada dibawah, tak jarang kasus seperti itu saya temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau boleh mengutip analogi saat Yesus didatangi seorang "pelacur" pada saat jamuan makan di suatu tempat, orang-orang mengatakan bahwa wanita "hina" itu tidak pantas memberi minyak di kaki Yesus atau bahkan meyentuh kaki Yesus, karena dia penuh dengan lumuran dosa.

Kemudian Yesus berkata, "barang siapa yang merasa tidak berdosa, silahkan lempari dia", lalu semuanya tak ada yang bereaksi untuk melempar perempuan "hina" itu.

Melempar dalam hal ini tidak semata hanya sebagai tindakan yang spontan, tetapi melainkan maksudnya menurutku adalah pada posisi mengadili si perempuan "hina" itu. Yesus mengajar mereka dengan kata kasar, bukan dengan kelembutan dan pujian, perkataan Yesus menyadarkan semua orang bahwa semua kita berdosa dan tidak pantas memegahkan diri apalagi sampai mengadili/menghakimi orang yang “dianggap” penuh dosa.

Saya melihat suatu yang unik disana, sebelumnya, seorangpun dari murid Yesus tak pernah memberi minyak dikaki Yesus, minyak itu adalah minyak yang paling mahal pada masa itu, pekerjaan perempuan "hina" pada masa itu adalah sebagai pelacur, menjual diri untuk bertahan hidup, sudah pasti dia penuh penderitaan dan kekurangan, tetapi dia memberi minyak yang terbaik untuk Yesus yang bahkan si Simon sang pemungut pajak yang kaya itupun tidak pernah terpikir untuk memberikannya kepada Yesus.

Bedakan saat anda penuh dengan kecukupan, lalu memberi banyak kepada Yesus, tetapi ingat, sebanyak apa yang anda berikan tidak terpengaruh pada harta yang anda miliki, bahkan cenderung sebagai sisa dari pendapatan anda.

Kembali ke kasus perempuan "hina", bahwa dari semua yang terbaik yang ia miliki, dia berikan kepada Yesus. Mungkin, dia sendiripun tidak pernah memakai minyak semahal itu. Dia belikan khusus untuk meminyaki kaki Yesus yang telah menempuh perjalanan jauh dalam menyebarkan ajaran-Nya.

Apa artinya? Bahwa banyak sedikitnya yang anda berikan tidaklah berarti bahwa anda lebih dermawan dibandingkan dengan seorang "hina" yang memberi lebih sedikit dari pada yang anda berikan. Anda memberi banyak tapi hanya sepersekian nol koma persen dari kepunyaan anda, tetapi si "hina" memberikan Rp. 1.000,- adalah melebihi dari semua kepunyaannya.

Ini soal nilai, nilai yang tidak bisa diukur hanya dengan cetakan angka-angka belaka.

Kembali ke persoalan kemampuan, apa hubungannya?

Dalam cerita sering saya dengar tentang seorang kesatria yang tangguh, dalam cerita itu dikisahkan pengalaman hidupnya yang pernah melawan takdir kematian yang sudah di depan mata.

Tidak ada penderitaan yang melebihi ajal menurutku, jadi hubungannya tentang grafik kehidupan, kesulitan pada saat di hadapan kematian itu adalah grafik paling terendah, selebihnya masih bisa diatasi dan belum pada posisi terendah.

Dikisah kemudian, sang kesatria akan menjadi raja yang terhormat dan bijaksana dalam puncak kejayaannya atau puncak tertinggi grafik kehidupannya, kisahnya dan karakternyapun semakin lengkap, dia tidak lagi "hina" melihat yang berada di bawah atau wong cilik, karena dia paham posisi mereka yang dibawah dan dia tau rasanya berada "dibawah", hal itu membuatnya semakin menghargai orang lain yang berada dalam kondisi apapun, baik yang dibawah, tengah dan yang berada di atas sekalipun, termasuk Tuhannya.

Demikianlah pulak menurutku apabila kita sudah bisa melewati masa-masa tersulit dan pernah mengalaminya, maka kita akan tau menghargai kehidupan dan manusia, tidak serta merta memandang hina mereka yang berada di "bawah".

Kawan-kawanku sekalian, mungkin anda akan bingung membaca tulisanku ini, tetapi saya harus sampaikan kalau fikirankupun bingung, tapi aku ini hanya berada dalam proses, proses untuk mendobrak kepongahan mereka para "orang" tua yang merasa dermawan dan merasa congkak.

Berjalan sendiri sudah pasti, kegetiran akibat dari konsekuensi tulisan ku yang berjudul "Dilupakan Dikampung Sendiri" di dalam penjara kelak memang sudah pasti ditambah lagi kekuatan-kekuatan "invisibel hand" yang mereka sedang kumpulkan hari ini dan besok dan seterusnya untuk “menghajarku”, termasuk didalamnya salah satu media terbesar di Sumut ini.

Unsur tambahan adalah Hukum kita yang selalu tumpul keatas tajam kebawah akibat dari permainan penegak hukum yang sering jualan "pasal", tak peduli itu Polisi, Hakim dan Pengacara. Kasusnya telah banyak kita lihat. Itu mungkin akibat dari mental penjajah yang masih kita warisi hingga hari ini.

Selanjutnya, aku hanya berharap agar iman pengharapanku semakin diteguhkan, sembari berdoa agar tidak ada lagi kepongahan dan penindasan, terlebih penghinaan dan pelecehan terhadap pahlawan kemerdekaan republik ini.

Mungkin anda hanya merasa kalau tulisan saya hanya persoalan penamaan jalan, anda tidak akan paham esensi dari penamaan jalan itu terhadap penghargaan kepada jasa para pahlawan kemerdekaan. Sama halnya seperti mata uang yang baru terbit bulan ini, mereka bilang "kafir" dengan lantangnya, padahal mereka tidak tau siapa yang peduli soal kerudung, peci dan agama saat berada dalam perang perjuangan kemerdekaan. Mereka malah menghina para pahlawan, tak tau mereka mensyukuri kenikmatan kemerdekaan yang kita miliki hari ini.

Aku benci dan sangat emosi mendengar itu, tapi kuusahakan agar aku tak menulis soal itu. Kalau saya bilang bahwa negara ini turut dimerdekakan mereka yang tidak mengenal dan memeluk 6 agama yang negara akui hari ini. Mungkin banyak yang akan menyumpahiku lalu melaporkanku kembali ke Polisi, aku harap kalian tidak bagian dari "mereka".

Apalah arti hukuman 6 tahun dibandingkan perasaan Oppung Raja Sisingamangaraja XII saat berada di ujung bedil penjajah Belanda yang bersamaan saat memeluk putri Lopian yang tertembak mati lebih dulu oleh Belanda. Bahkan sayapun tidak bisa membayangkan perasaan Oppung itu pada saat itu, sedih bercampur takut, marah, dan kesal itulah yang dia rasakan yang akhirnya Raja kita pun gugur di tembak para serdadu Belanda beserta beberapa orang Batak yang telah terperdaya oleh penjajah melalui doktrin Agama yang di Import dari Eropa dan Arab.

Hari ini, penghargaan yang bisa kita beri hanyalah mengenang jasa mereka lewat penamaan jalan, gedung, monumen serta pemberian gambar di mata uang Rupiah dengan harapan para orang muda akan mengenal dan mengenang jasa-jasa mereka sampai akhir negara ini masih ada, tetapi itupun mau kita renggut?

Lalu bagaimanalah mereka, para orang tua pongah memberi ajaran untuk menghormati pahlawan nasional?

Sementara kita mengkritik mereka hanya kulit-kulitnya saja sudah dibilang "anak tak beradat, tak tau menghormati orang tua, pemfitnah dan lain-lain".

Jika boleh jujur, mereka pantas dihukum mati saja, tidak pantas dihargai dan dikenang sedikitpun jika dibandingkan dengan jasa Rajaku yang sekarang mereka lecehkan di hadapan publik dengan berkata "Benardo Sinambela itu tak tau sopan santun, tukang fitnah dan tak bermoral, tak berpendidikan, dia akan dijerat 2 pasal UU ITE, dia telah melakukan perbuatan melawan hukum".

Jika kalian megerti maksud saya dan kita dalam posisi sepaham, silahkan anda berpendapat, bebas dan tak perlu mempersoalkan moral, soal moral kita urus masing-masing saja. Jangan lupa sambil minum kopi Lintong ya, supaya loadingnya full, karena memang tulisanku hari ini agak panjang, butuh waktu untuk membaca dan memahaminya. 

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon