Gambar : Raja Sisingamangaraja XII |
Dalam
diskusi dengan adek-adek terdekat saya sering katakan bahwa grafik kehidupan
itu naik turun, ada kalanya kita di atas dan ada kalanya kita dibawah hingga
titik terendah, dan kalau diantara kalian telah mengalaminya, maka
berbahagialah, karena saya pribadi sampai hari ini belum mengalaminya.
Ketika
kita di atas, jangan "leas = hina" melihat yang dibawah, ketika kita
dibawah juga jangan kita "mendewakan" yang diatas.
Hal
yang paling bahaya ketika kita berada di atas hingga sampai pada mengadili/menghakimi
orang-orang yang berada dibawah, tak jarang kasus seperti itu saya temukan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau
boleh mengutip analogi saat Yesus didatangi seorang "pelacur" pada
saat jamuan makan di suatu tempat, orang-orang mengatakan bahwa wanita
"hina" itu tidak pantas memberi minyak di kaki Yesus atau bahkan
meyentuh kaki Yesus, karena dia penuh dengan lumuran dosa.
Kemudian
Yesus berkata, "barang siapa yang merasa tidak berdosa, silahkan lempari
dia", lalu semuanya tak ada yang bereaksi untuk melempar perempuan
"hina" itu.
Melempar
dalam hal ini tidak semata hanya sebagai tindakan yang spontan, tetapi
melainkan maksudnya menurutku adalah pada posisi mengadili si perempuan
"hina" itu. Yesus mengajar mereka dengan kata kasar, bukan dengan
kelembutan dan pujian, perkataan Yesus menyadarkan semua orang bahwa semua kita
berdosa dan tidak pantas memegahkan diri apalagi sampai mengadili/menghakimi
orang yang “dianggap” penuh dosa.
Saya
melihat suatu yang unik disana, sebelumnya, seorangpun dari murid Yesus tak
pernah memberi minyak dikaki Yesus, minyak itu adalah minyak yang paling mahal
pada masa itu, pekerjaan perempuan "hina" pada masa itu adalah sebagai
pelacur, menjual diri untuk bertahan hidup, sudah pasti dia penuh penderitaan
dan kekurangan, tetapi dia memberi minyak yang terbaik untuk Yesus yang bahkan
si Simon sang pemungut pajak yang kaya itupun tidak pernah terpikir untuk
memberikannya kepada Yesus.
Bedakan
saat anda penuh dengan kecukupan, lalu memberi banyak kepada Yesus, tetapi ingat,
sebanyak apa yang anda berikan tidak terpengaruh pada harta yang anda miliki,
bahkan cenderung sebagai sisa dari pendapatan anda.
Kembali
ke kasus perempuan "hina", bahwa dari semua yang terbaik yang ia
miliki, dia berikan kepada Yesus. Mungkin, dia sendiripun tidak pernah memakai
minyak semahal itu. Dia belikan khusus untuk meminyaki kaki Yesus yang telah
menempuh perjalanan jauh dalam menyebarkan ajaran-Nya.
Apa
artinya? Bahwa banyak sedikitnya yang anda berikan tidaklah berarti bahwa anda
lebih dermawan dibandingkan dengan seorang "hina" yang memberi lebih
sedikit dari pada yang anda berikan. Anda memberi banyak tapi hanya sepersekian
nol koma persen dari kepunyaan anda, tetapi si "hina" memberikan Rp.
1.000,- adalah melebihi dari semua kepunyaannya.
Ini
soal nilai, nilai yang tidak bisa diukur hanya dengan cetakan angka-angka
belaka.
Kembali
ke persoalan kemampuan, apa hubungannya?
Dalam
cerita sering saya dengar tentang seorang kesatria yang tangguh, dalam cerita
itu dikisahkan pengalaman hidupnya yang pernah melawan takdir kematian yang
sudah di depan mata.
Tidak
ada penderitaan yang melebihi ajal menurutku, jadi hubungannya tentang grafik
kehidupan, kesulitan pada saat di hadapan kematian itu adalah grafik paling
terendah, selebihnya masih bisa diatasi dan belum pada posisi terendah.
Dikisah
kemudian, sang kesatria akan menjadi raja yang terhormat dan bijaksana dalam
puncak kejayaannya atau puncak tertinggi grafik kehidupannya, kisahnya dan
karakternyapun semakin lengkap, dia tidak lagi "hina" melihat yang
berada di bawah atau wong cilik, karena dia paham posisi mereka yang dibawah
dan dia tau rasanya berada "dibawah", hal itu membuatnya semakin
menghargai orang lain yang berada dalam kondisi apapun, baik yang dibawah,
tengah dan yang berada di atas sekalipun, termasuk Tuhannya.
Demikianlah
pulak menurutku apabila kita sudah bisa melewati masa-masa tersulit dan pernah
mengalaminya, maka kita akan tau menghargai kehidupan dan manusia, tidak serta
merta memandang hina mereka yang berada di "bawah".
Kawan-kawanku
sekalian, mungkin anda akan bingung membaca tulisanku ini, tetapi saya harus
sampaikan kalau fikirankupun bingung, tapi aku ini hanya berada dalam proses,
proses untuk mendobrak kepongahan mereka para "orang" tua yang merasa
dermawan dan merasa congkak.
Berjalan
sendiri sudah pasti, kegetiran akibat dari konsekuensi tulisan ku yang berjudul
"Dilupakan Dikampung Sendiri" di dalam penjara kelak memang sudah
pasti ditambah lagi kekuatan-kekuatan "invisibel hand" yang mereka
sedang kumpulkan hari ini dan besok dan seterusnya untuk “menghajarku”,
termasuk didalamnya salah satu media terbesar di Sumut ini.
Unsur
tambahan adalah Hukum kita yang selalu tumpul keatas tajam kebawah akibat dari
permainan penegak hukum yang sering jualan "pasal", tak peduli itu
Polisi, Hakim dan Pengacara. Kasusnya telah banyak kita lihat. Itu mungkin akibat
dari mental penjajah yang masih kita warisi hingga hari ini.
Selanjutnya,
aku hanya berharap agar iman pengharapanku semakin diteguhkan, sembari berdoa
agar tidak ada lagi kepongahan dan penindasan, terlebih penghinaan dan
pelecehan terhadap pahlawan kemerdekaan republik ini.
Mungkin
anda hanya merasa kalau tulisan saya hanya persoalan penamaan jalan, anda tidak
akan paham esensi dari penamaan jalan itu terhadap penghargaan kepada jasa para
pahlawan kemerdekaan. Sama halnya seperti mata uang yang baru terbit bulan ini,
mereka bilang "kafir" dengan lantangnya, padahal mereka tidak tau siapa
yang peduli soal kerudung, peci dan agama saat berada dalam perang perjuangan
kemerdekaan. Mereka malah menghina para pahlawan, tak tau mereka mensyukuri
kenikmatan kemerdekaan yang kita miliki hari ini.
Aku
benci dan sangat emosi mendengar itu, tapi kuusahakan agar aku tak menulis soal
itu. Kalau saya bilang bahwa negara ini turut dimerdekakan mereka yang tidak
mengenal dan memeluk 6 agama yang negara akui hari ini. Mungkin banyak yang
akan menyumpahiku lalu melaporkanku kembali ke Polisi, aku harap kalian tidak
bagian dari "mereka".
Apalah
arti hukuman 6 tahun dibandingkan perasaan Oppung Raja Sisingamangaraja XII
saat berada di ujung bedil penjajah Belanda yang bersamaan saat memeluk putri
Lopian yang tertembak mati lebih dulu oleh Belanda. Bahkan sayapun tidak bisa
membayangkan perasaan Oppung itu pada saat itu, sedih bercampur takut, marah,
dan kesal itulah yang dia rasakan yang akhirnya Raja kita pun gugur di tembak
para serdadu Belanda beserta beberapa orang Batak yang telah terperdaya oleh
penjajah melalui doktrin Agama yang di Import dari Eropa dan Arab.
Hari
ini, penghargaan yang bisa kita beri hanyalah mengenang jasa mereka lewat
penamaan jalan, gedung, monumen serta pemberian gambar di mata uang Rupiah
dengan harapan para orang muda akan mengenal dan mengenang jasa-jasa mereka
sampai akhir negara ini masih ada, tetapi itupun mau kita renggut?
Lalu
bagaimanalah mereka, para orang tua pongah memberi ajaran untuk menghormati
pahlawan nasional?
Sementara
kita mengkritik mereka hanya kulit-kulitnya saja sudah dibilang "anak tak
beradat, tak tau menghormati orang tua, pemfitnah dan lain-lain".
Jika
boleh jujur, mereka pantas dihukum mati saja, tidak pantas dihargai dan
dikenang sedikitpun jika dibandingkan dengan jasa Rajaku yang sekarang mereka
lecehkan di hadapan publik dengan berkata "Benardo Sinambela itu tak tau
sopan santun, tukang fitnah dan tak bermoral, tak berpendidikan, dia akan dijerat
2 pasal UU ITE, dia telah melakukan perbuatan melawan hukum".
Jika kalian megerti maksud saya dan kita dalam
posisi sepaham, silahkan anda berpendapat, bebas dan tak perlu mempersoalkan
moral, soal moral kita urus masing-masing saja. Jangan lupa sambil minum kopi
Lintong ya, supaya loadingnya full, karena memang tulisanku hari ini agak
panjang, butuh waktu untuk membaca dan memahaminya.
EmoticonEmoticon