Siporsuk Na Mamora - Pak tua Luhut membuat statemen
ambigu ah... Tak to the point, siapa sebenarnya penerima dana 5 M yang
kegirangan itu? Yang jelas dong pak tua, jangan jadi memunculkan
anggapan-anggapan yang lain, bikin penasaran aja.
Inilah
salahnya kita punya otak, instingku langsung mengarah ke dana CSR lagi ini,
payah memang punya otak kecil seperti ini, kalau bisa ganti otak, saya sudah
ganti saja cepat-cepat dari dulu.
Oya,
kemarin-kemarin ada beberapa kelompok masyarakat yang ribut soal pencairan dana
CSR di Tobasa, mereka menuntut agar TPL segera mencairkan dana CSR yang telah
terlambat. Mungkin sekarang sudah cair.
Ada
2 hal yang muncul di fikiranku soal dugaan penerima dana 5 M yang dimaksud pak
panjaitan.
Pertama
adalah orang dikalangan pemerintahan yang baru-baru ini muncul di Media memberi
penghargaan green industri tertinggi untuk TPL, memang pemberian penghargaan
ini penuh dengan teka-teki yang rumit, seperti benang kusut yang tak tau dimana
ujungnya.
Apa
iya pemberian penghargaan itu berkaitan dengan dana 5 M? Mungkin saja itu
terjadi, agar pencitraan semakin mantab terhadap TPL yang berakibat pada
naiknya nilai jual saham di pasar nasional dan internasional, yang paling utama
adalah memperkecil tekanan dari kalangan aktivis lingkungan nasional dan
internasional perihal kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan
tersebut.
Ke
2 adalah tentang penerima CSR perusahaan, memang jika di hitung2 1% dari
keuntungan TPL bisa mencapai 5 M pertahunnya, dana ini akan di sebar ke beberapa
kelompok masyarakat, baik itu Yayasan, kelompok tani, sekolah, pemerintah dan
lain-lain melalui beberapa program, yang paling tersorot adalah penanaman pohon
dan santunan beasiswa.
Kedua
hal ini yang membuat banyak diam, sehingga opini di publik pun bisa teredam
dengan sistematis, bahkan cenderung menjadi keuntungan untuk TPL, soalnya
masyarakat sudah ketergantungan, mereka bilang masyarakat akan rugi apabila TPL
ditutup, yang benar saja.
Semoga
saja kebisuan kita selama ini tidak dalam rangka menggadaikan masa depan anak
cucu kita. Lalu selanjutnya, kitapun tak lagi berselera untuk mengatakan bahwa
tanah itu adalah tanah Batak, karena air takkan ada lagi dan tanahnya menjadi
tandus, kuburan oppung kitapun akan berganti dengan pohon ekaliptus. Kenapa
begitu? Karena mereka tidak memiliki HTI, mereka pikir bahwa tanah itu semua
adalah tanah yang bebas mereka tanami ekaliptus, tanpa pajak, sewa dan tanpa
dana pemeliharaan.
Berlipat-lipat
untung mereka kan? Pohon tak membeli, sewa tanah tak berbayar dan pemeliharaan hutan
dan kayu tak ada, ditambah lagi limbah bebas dibuang kemana saja, gratis tanpa
ada yang komplain.
Pantas
saja untungnya berlipat ganda seperti kata pak Panjaitan.
Jangan-jangan nanti kopi juga tak bisa tumbuh
lagi disana ya... Lalu apa yang harus kita minum lagi, harus impor lagi?
Hajaplah kita.
EmoticonEmoticon