Sunday, January 8, 2017

Bukan Agama Apa? Tetapi Merdeka atau Mati?

Gua Pertahanan Raja Sisingamangaraja XII di Huta Ambasang, Pakkat, Humbanghasundutan, Sumatera Utara
Siporsuk Na Mamora - Hal yang paling menggelitik akhir-akhir ini bagiku dengan kemunculan kehebohan atas seseorang yang katanya beragama mempertanyakan dimana "penutup kepala" pahlawan wanita, dan mereka bilang dengan gampangnya "kafirun" tidak pantas di beri penghargaan dengan mengabadikan fotonya di uang rupiah.

Goblok bin gagal paham, dalam hati aku berfikir kalau-kalau orang itu sudah bodoh akibat terlalu banyak bermimpi dan menghayal tentang "surga", sibuk memikirkan apa-apa tentang kehidupan di surga dan akhirnya lupa sadar akan hidupnya yang masih berada di bumi.

Paling salahnya ketika dia mempertanyakan agama sang Pahlawan yang berada di mata uang rupiah tersebut, semakin jelaslah kebodohan dan kebutaan mereka akan sejarah bangsa Indonesia.

Gimana gak lupa, mereka sudah terlalu banyak mendengar dongeng-dongeng abstrak yang berasal dari negara antah berantah di sana, yang tahun-tahunnya dihabiskan untuk perang, perang dan perang!

Begini kawan, saya ingin sampaikan kalau kita hidup dalam perperangan, takkan sempat waktumu bertanya soal agama apa?

Kodenya hanya satu, "Merdeka atau Mati?", dua-duanya sama-sama beresiko, tapi itulah ungkapan yang menambah semangat bagi para pejuang kemerdekaan.

Kehidupan pejuang kemerdekaan itu tak seperti kita sekarang ini, yang banyak waktu untuk online, bermain lendir dan mendengar dongeng soal surga yang dibawa dari negara luar.

Kitalah orang yang paling bodoh apabila kita mengabaikan kebudayaan kita hanya untuk mengejar surga yang katanya bisa diperoleh dengan mengikut budaya orang asing itu. Kenapa, karena pada saat itulah kita benar-benar terjajah!

Disibukkan untuk memikirkan surga adalah cara untuk mempermudah menguasai dan memperbanyak waktu mereka untuk memperdaya kita, termasuk menguras sumber daya alam kita, apa boleh buat, anda hanya sibuk mengejar surga saja, disisi lain mereka memetakan tanah-tanah kita.

Jika saja bisa menjawab pernyataan orang-orang goblok itu, maka saya akan jawab "Republik ini juga diperjuangkan oleh orang-orang yang tak mengenal agamamu itu kawan!, jangan pulak kau ingin kuasai kami dengan ilusi surga mu itu, sementara kau sendiri tak faham soal hidup di bumi".

Ini tanah adalah tanah nenenk moyang kita semua, bukan wakaf dari agamamu itu, jadi jangan bilang kalau "golongan"-mu paling berhak atas kemerdekaan ini. Kita semua berhak menikmati dan hidup di atasnya.

Apalah gunanya saya ribut-ribu soal mereka ya? Sementara di kampung ini saja, asal seorang putra terbaik Humbanghasundutan, yaitu seorang Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII diabaikan, dianggap remeh dan mereka bahkan tidak ingin mengenangnya lagi, mereka ingin menggantikannya dengan patung-patung dan gedung-gedung megah "Tuhan"-nya. Seolah saya sedang berfikir kalau-kalau Tuhannya itu terlalu rendah diajak sebagai idola baru di hati masyarakat.

Pemerintah Daerahnyapun sudah ikutan goblok dan lebih panjang berilusi tentang surga, sehingga lupa melestarikan situs-situs bersejarah di tanah pemerintahannya sendiri, jalan-jalanpun sudah usang dan terlalu banyak sudah memakan korban kecelakaan lalulintas.

Proyek di manipulasi, belum sampai masa uji tiga bulan sudah rusak kembali, terlalu banyak penggelapan anggaran. Mungkin disisakan untuk ongkos ke "surga"? Atau mungkin supaya lebih banyak memberi kolekte dikala beribadah dan acara keagamaan.

Aneh sekali, seharusnya mereka mendesain daerah ini sebagai wisata budaya Batak kelas satu di Republik ini untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan warganya, bukan sibuk buat anggaran untuk acara keagamaan, atau sibuk menjual mimpi surga hingga ke pelosok dengan musik-musik kencang dan menggemparkan perkampungan.

Mungkin mereka berfikir kalau budaya itu menghambat jalan mereka menuju surga. Celakalah Republik kalau begitu cara pikir pemerintahnya.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon