Gua Pertahanan Raja Sisingamangaraja XII di Huta Ambasang, Pakkat, Humbanghasundutan, Sumatera Utara |
Siporsuk Na Mamora - Hal yang paling menggelitik
akhir-akhir ini bagiku dengan kemunculan kehebohan atas seseorang yang katanya
beragama mempertanyakan dimana "penutup kepala" pahlawan wanita, dan
mereka bilang dengan gampangnya "kafirun" tidak pantas di beri
penghargaan dengan mengabadikan fotonya di uang rupiah.
Goblok
bin gagal paham, dalam hati aku berfikir kalau-kalau orang itu sudah bodoh
akibat terlalu banyak bermimpi dan menghayal tentang "surga", sibuk
memikirkan apa-apa tentang kehidupan di surga dan akhirnya lupa sadar akan
hidupnya yang masih berada di bumi.
Paling
salahnya ketika dia mempertanyakan agama sang Pahlawan yang berada di mata uang
rupiah tersebut, semakin jelaslah kebodohan dan kebutaan mereka akan sejarah
bangsa Indonesia.
Gimana
gak lupa, mereka sudah terlalu banyak mendengar dongeng-dongeng abstrak yang
berasal dari negara antah berantah di sana, yang tahun-tahunnya dihabiskan
untuk perang, perang dan perang!
Begini
kawan, saya ingin sampaikan kalau kita hidup dalam perperangan, takkan sempat
waktumu bertanya soal agama apa?
Kodenya
hanya satu, "Merdeka atau Mati?", dua-duanya sama-sama beresiko, tapi
itulah ungkapan yang menambah semangat bagi para pejuang kemerdekaan.
Kehidupan
pejuang kemerdekaan itu tak seperti kita sekarang ini, yang banyak waktu untuk
online, bermain lendir dan mendengar dongeng soal surga yang dibawa dari negara
luar.
Kitalah
orang yang paling bodoh apabila kita mengabaikan kebudayaan kita hanya untuk
mengejar surga yang katanya bisa diperoleh dengan mengikut budaya orang asing
itu. Kenapa, karena pada saat itulah kita benar-benar terjajah!
Disibukkan
untuk memikirkan surga adalah cara untuk mempermudah menguasai dan memperbanyak
waktu mereka untuk memperdaya kita, termasuk menguras sumber daya alam kita,
apa boleh buat, anda hanya sibuk mengejar surga saja, disisi lain mereka
memetakan tanah-tanah kita.
Jika
saja bisa menjawab pernyataan orang-orang goblok itu, maka saya akan jawab
"Republik ini juga diperjuangkan oleh orang-orang yang tak mengenal
agamamu itu kawan!, jangan pulak kau ingin kuasai kami dengan ilusi surga mu
itu, sementara kau sendiri tak faham soal hidup di bumi".
Ini
tanah adalah tanah nenenk moyang kita semua, bukan wakaf dari agamamu itu, jadi
jangan bilang kalau "golongan"-mu paling berhak atas kemerdekaan ini.
Kita semua berhak menikmati dan hidup di atasnya.
Apalah
gunanya saya ribut-ribu soal mereka ya? Sementara di kampung ini saja, asal
seorang putra terbaik Humbanghasundutan, yaitu seorang Pahlawan Nasional Raja
Sisingamangaraja XII diabaikan, dianggap remeh dan mereka bahkan tidak ingin
mengenangnya lagi, mereka ingin menggantikannya dengan patung-patung dan gedung-gedung
megah "Tuhan"-nya. Seolah saya sedang berfikir kalau-kalau Tuhannya
itu terlalu rendah diajak sebagai idola baru di hati masyarakat.
Pemerintah
Daerahnyapun sudah ikutan goblok dan lebih panjang berilusi tentang surga,
sehingga lupa melestarikan situs-situs bersejarah di tanah pemerintahannya
sendiri, jalan-jalanpun sudah usang dan terlalu banyak sudah memakan korban
kecelakaan lalulintas.
Proyek
di manipulasi, belum sampai masa uji tiga bulan sudah rusak kembali, terlalu
banyak penggelapan anggaran. Mungkin disisakan untuk ongkos ke
"surga"? Atau mungkin supaya lebih banyak memberi kolekte dikala
beribadah dan acara keagamaan.
Aneh
sekali, seharusnya mereka mendesain daerah ini sebagai wisata budaya Batak
kelas satu di Republik ini untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
warganya, bukan sibuk buat anggaran untuk acara keagamaan, atau sibuk menjual
mimpi surga hingga ke pelosok dengan musik-musik kencang dan menggemparkan
perkampungan.
Mungkin
mereka berfikir kalau budaya itu menghambat jalan mereka menuju surga.
Celakalah Republik kalau begitu cara pikir pemerintahnya.
EmoticonEmoticon