Ziarah di Istana Raja Sisingamangaraja, Bakara |
Siporsuk Na Mamora - Perjalanan yang cukup panjang,
mulai tanggal 3-5 Januari 2016 mengeliligi Danau Toba dan berkunjung ke rumah
kawan-kawan anak muda, kadang bertemu di tempat-tempat wisata dan bercerita sambil
minum kopi bersama di pinggir Danau Toba.
Perjalananku
dimulai dari kampung halaman Sorkam Barat, Tapanuli Tengah - Tarutung - Balige
- Lintong Nihuta - Bakara - Dolok Sanggul - Pakkat - Barus hingga nanti
berakhir di kampung halaman lagi.
Melihat
pemandangan indah sembari lewat itu hanya selingan, sementara yang utamanya
adalah untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang hari
ini ku hadapi, memhadapi gugatan seseorang beserta kelompoknya di Polda
Sumatera Utara terkait tulisanku tentang pergantian jalan Raja Sisingamangaraja
XII di Dolok Sanggul adalah pengalaman pertamaku setelah sebelumnya banyak diam
dan berpura-pura tidak melihat, ceritanya menjadi anak baik-baik saja.
Dalam
selingan cerita kami, muncul suatu ide bahwa seharusnya Humbanghasundutan
haruslah menjadi daerah yang kental dengan seni dan budaya Batak, katakanlah
salah satu contoh seperti ornamen gedung-gedung pemerintahan.
Ini
bukanlah suatu hal yang mustahil dilakukan dan bukan pulak suatu hal yang
terkesan "lebay". Lihatlah daerah-daerah lain di Jawa, Aceh dan Bali,
ketika masuk ke daerah tersebut, anda akan merasa sangat akrab dengan budaya
disana.
Tapi
apa yang terlihat di Humbanghasundutan? Bahkan saya katakan sangat jauh dari
apa yang dibayangkan.
Humbanghasundutan
adalah daerah kelahiran seorang Raja Sisingamangaraja yang berkedudukan di
Bakara sekaligus juga Pahlawan Nasional NKRI, oleh karena itu, sebaiknyalah
diberi sebuah sentuhan yang "khas" seperti di daerah-daerah yang saya
sebutkan di atas. Atau dengan kata lain harus merefresentasikan ha-Batak-on.
Ini
berkaitan dengan ekspresi kebanggaan kita sebagai suatu bangsa yang berbudaya
Batak, jika untuk itu kita sepikiran dan se rasa, mari kita kembangkan dalam
imajinasi masing-masing.
Jangankan
dulu untuk menghargai jasa ke Raja-annya Raja Sisingamangaraja, tetapi coba
kita berfikir hanya sebatas untuk mengungkapkan kebanggaan kita sebagai bagian
dari diri sang Pahlawan Nasional NKRI, apa itu terlalu sulit buatku, buatmu dan
buat kita semua?
Tak
pupus harapan kalaupun tak ada lagi yang menghargai sang Raja di jaman yang
kita katakan maju ini, karena dalam setiap hati orang Batak pasti semangat
juangnya terjaga dengan rapi dan utuh hingga maranatha, mulai dari kelahiran
dulu, sekarang dan yang akan datang.
Rute
perjalanan yang ku tempuh hari ini tak sebatas untuk persiapan alat bukti semata,
boleh dibilang lebih pada persiapan mental dan bathin, mana kala saya tak bisa
lagi berjalan di tepian Danau Toba dan minum kopi dihari-hari berikutnya, dan
puji Tuhan mentalku sudah siap untuk resiko apapun.
Sesekali
aku singgah di lokasi dimana orang-orang lokal mengabadikan kenagan perjuangan
Raja Sisingamangaraja, agar hatiku semakin mengenalnya dan bisa merasakan
kesedihannya melihat tingkah para generasi penerusnya.
Keyakinanku
takkan pudar walaupun sebagian dari kalian akan mengutukiku akibat dari ketidak
pahaman kalian akan persoalan ini, kenapa? Karena anda hanya melihat sebelah
mata, maklum media juga tidak berimbang dan tidak memihak samaku, tetapi satu
hal, aku takkan bisa lagi melupakan “nama-nama mereka” itu hingga kapanpun dan
dimanapun. Berdoalah supaya saya kelak tak bisa keluar dari jeruji besi itu
pada Tuhan mu yang kau kenal dan kau sembah dengan tanpa dibenarkan memakai
ulos hasil tenunan tangan orang Batak.
Seperti
kau dan kawan-kawanmu yang lain membakar ulos dan mengolok-olok peninggalan/warisan
para pendahulu, begitu jugalah bara api semangat dan daya ingatku terhadap
kotornya hatimu.
Berdoalah
juga agar matahari lebih cepat tenggelam di hadapanku kawan, agar kelak kau
semakin “dimuliakan” para pemikir dan peng-Iman yang sejenis denganmu.
EmoticonEmoticon