Foto : Ilustrasi Perjuangan Pahlawan Republik |
Siporsuk Na Mamora - Sebuah kisah senantiasa selalu
mengontrol kehidupan umat manusia dimasa mendatang, bagaimanapun itu perbedaan
situasinya, tetapi manusia akan selalu mencari kesesuaian selalu dengan kisah
lama, mungkin saya salah satu yang terjebak di dalamnya, tapi tak apalah, itu
bukan sebuah dosa besar, namun kita ingin melihat hikmah dari semua kejadian
dimasa lalu mengambilnya agar peradaban kita semakin maju kedepan dengan meninggalkan
hal-hal buruk dari masa lalu.
Ini
soal kepantasan dan penerimaan seorang umat manusia hanya dengan jubah Agama
yang dianutnya dalam sebuah ruang lingkup manusia di lingkungan penganut
mayoritas, akibatnya kadang-kadang kita lupa untuk menerima manusia lain yang
tidak seagama dengan kita, bahkan cenderung kata-kata yang tidak pantas kita
alamatkan kepada mereka, sehingga mengakibatkan kebecian yang mendalam dan
terkesan sangat buruk, salah satu contoh "manusia pendosa atau manusia
kafir" atau kalau dikampung kami disebut "sipele begu (penyembah
iblis/berhala)", mungkin bagi sebagian ajaran agama mereka pantas untuk
dibunuh, tatapi atas nama kemanusiaan, tindakan itu sangat tidak dibenarkan.
Takkan
jauh saya ke timur tengah atau ke eropa untuk mencari kisah ini, bagi saya itu
sudah terlalu usang untuk disebutkan.
Mari
arahkan perhatian kita pada persoalan semangat kebangsaan kita hari ini, belum
sempat matahari terbit, saya membaca sebuah statemen dari seseorang yang
diragukan kepribumiannya, orang yang dari jaman dahulu selalu menjadi target
amukan pribumi dikala situasi ekonomi semakin sulit, juga termasuk orang yang
pada kaumnya selalu dialamatkan simbol "palu arit".
Ya,
itu nyata, tetapi kemudian mengatakan kalau nyawa Indonesia ada pada kelompok
agama tertentu, dan agamanya itu dikatakan diatas segalanya, mungkin termasuk
diatas republik ini termasuk diatas pemerintahan. Sedikit disampaikan soal
sejarah peran penting orang-orang penganut agama itu dalam hubungannya dengan
pergerakan perjuangan kemerdekaan.
Seharusnya,
jika dilihat dari semangat gerakan sektarian yang beberapa bulan ini mencuat,
termasuk semangat untuk menjegal Ahok di Pilgub DKI Jakarta, dan secara genetik
sebenarnya dia sama dengan Ahok, maka dia juga merupakan bagian dari target
bukan? Akantetapi itu tidak terjadi, apakah karena dia sekarang adalah bagian
dari penganut agama itu, yang memjadikan dia sering di sanjung-sanjung karena
jarang-jarang orang bergenetik seperti dia menganut agama mereka di Indonesia,
apalagi sampai pada tahap "pengajar" dalam kategori agama mereka.
Ini
suatu hal yang tidak konsisten, seharusnya dia juga harus mereka usir dong?
Jika mengikut dari semangat gerakan sektarian itu. Tetapi nyata-nyatanya mereka
tidak melakukan itu. Aneh kan?
Apa
mungkin karena mereka sama-sama punya jenggot? Ahhh... Jenggot itupun terlalu
dipaksakan, karena sangat jarang dagu manusia sejenisnya ditumbuhi jenggot.
Okelah,
seruput kopi dulu ya... Biar santai, masih panjang soalnya tulisan ini, jika
diputus disini, nanti emosi anda kepalang tanggung, tidak klimaks maksudnya.
Selanjutnya
kita melihat seorang Tuanku Imam Bonjol, salah satu manusia yang diberi
penghargaan gelar Pahlawan oleh republik ini, seorang berjenggot juga.
Apa
hal yang istimewa dari si Bonjol ini?
Bagiku
dia tak lebih seorang radikal, provokatif, dan pembantai sesama manusia dan
pembunuh bangsa sendiri, kalau dia berperang melawan penjajah itu sah-sah saja
diberikan penghargaan gelar pahlawan. Ijinkan saya mengatakan kalau dia seorang
penghianat! Otak dari perang padri di Tanah Batak, melawan Raja
Sisingamangaraja yang nyata-nyata berperang melawan penjajahan pada masa itu.
Lalu
pertanyaan yang muncul dibenak ku atau mungkin juga dibenak kawan-kawan, apakah
yang membuat dia menjadi pantas sebagai pahlawan?
Mari
perbandingkan kedua kisah ini, apa yang membuat mereka menjadi pantas? Lalu
benarkah nyawa republik hanya ada pada agama mereka? Salah satu contoh
katakanlah seperti Imam Bonjol, pantaskah dia menjadi nyawa republik?
Jangan
sampai kita lupa akan nyawa jutaan manusia yang terlahir dengan kebudayaannya,
dengan ketidak tahuannya soal "surga" dan "neraka" dan
kemudian mati akibat dari penyiksaan dan nyawanya putus diujung berdil para
penjajah untuk sebuah harga diri republik dan masa depan anak cucunya yang
merdeka. Nyawa mereka juga ada dan hidup di republik yang sekarang tempat kita
berpijak.
Konsistenlah
pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan karena kesamaan agama, tetapi karena
kepedulian dan atas nama harkat martabat manusia itu sendiri.
Jika kita memaknai kemerdekaan itu adalah
anugrah dari Tuhan, maka berfikirlah bahwa republik ini dianugrahkan untuk
dirawat dan dijaga semua umat manusia yang ada didalamnya, jangan sampai ada
yang merasa lebih berperan apalagi lebih pantas memimpin atau untuk memiliki
segala yang ada didalam republik yang secara tidak langsung mencabut hak orang
lain untuk menikmati kemerdekaan ini.
EmoticonEmoticon