Foto : Ilustrasi |
Siporsuk Na Mamora - Ada yang aneh dan sangat-sangat
melukai hati, itu akibat dari wacana salah seorang pejabat Provinsi Sumatera
Utara mengenai zonasi halal dengan alasan agar para wisatawan penikmat makanan
"halal" dalam katergori Agama tertentu kedepannya mendapat jaminan
kepastian makanan dan minuman yang dimakan tidak mengakibatkan mereka ber-dosa.
Kok
makanan bisa memberi dosa ya? Aneh sekali, apakah manusia-manusia seperti itu
tidak punya mata dan pikiran? Sehingga perlu dibuat zona yang notabanenya akan
memperbesar ruang perbedaan antara aku dan kamu. Artinya kita semuakan bisa
melihat dan memilih lalu memutuskan mana makanan yang bisa dan tidak bisa kita
makan, itu urusan pribadi masing-masing sajalah, semua bisa mikir kok, gak usah
di zona-zonain.
Pembuatan
zonasi ini tidak sesuai dengan semangat pembangunan pariwisata Danau Toba, itu
melenceng kawan, kita ingin menjual keindahan, kenyamanan dan kegembiraan serta
kepastian kebahagiaan untuk para pengunjung kedepannya, bukan untuk menjual
"sorga" atau memastikan orang yang berkunjung kesana tidak menambah “dosa”-nya
dengan makan-makanan jualan rakyat.
Ini
semacam pemaksaan yang terstruktural, ya kalau mau mengembangkan wisata,
silahkan saja eksplor keindahannya, kearifan budayanya dan kulinernya, itu yang
mau kita jual. Bukan mau menciptakan ruang pemisah antara masyarakat yang
selama ini hidup disana berdampingan dan harmonis menjadi terbelah dengan
pemahaman konyol seperti itu.
Kok
pejabat Sumatera Utara seperti ini serasa mengajari anak bayi makan aja ya?
Dikasih pisang, dikuliti lalu di masukkan kemulutnya, itupun anak bayi masih
tau mana makanan yang enak atau tidak, kalu gak enak paling-paling dibuang.
Aneh sekali, kepada wisatawan kok perlakuan seperti itu? Emang mereka tak tau
mana yang baik untuk dikonsumsi agar tidak menambah dosa? Aneh kau ini pejabat,
kok fanatismemu kau bawa-bawa ke Danau Toba? Mengganggu bangat itu, hilang rasa
optimis ke-Bangsa-an ku melihat kinerja seperti itu.
Aku
tidak persoalkan apa yang pejabat ini yakini, tapi jangan paksakan itu untuk
diterapkan di tanah yang mayoritas dimiliki, diusahai dan ditempati para kaum
yang tidak se-keyakinan dengan label “halal” itu, tak lakupun tak apa-apalah.
Lihat dong dengan lebih dekat, kita beradat saja masih membaur kok, makanpun di
pesta adat masih sering bersamaan, kok malah strategi pembangunan wisata
nasional seperti itu dimanfaatkan untuk memberi jarak antara masyarakat dengan
kekuatan jabatan yang mereka punya?
Halal
itu yang bersih, sehat, bergizi dan enak. Tak ada makanan yang sejak kelahirannya
diharamkan oleh Tuhan. Manusia yang membuatnya jadi haram, menerka-nerka
indikator yang tepat untuk jalan mulus ke sorga.
Berfikirlah
untuk menata, bukan membunuh mata pencaharian rakyat kecil dengan melempar isu
sektarian seperti itu. Mau dikemanakan para peternak babi kelak? Trus, para
pedagang makanan yang non-muslim yang berjualan selama ini mau dikasih lebel
agar tidak boleh jualannya di beli dengan alasan “haram” atau diusir dari zona “halal”
itu? Bah... Hebat sekali konsep pejabat ini ya?
Lama-lama,
kopi Lintong yang dimasak namboruku juga nanti kau bilang Haram karena dia
beragama lain dari yang kau anut, supaya mpok mu yang satu keyakinan dengan mu
bisa berjualan kopi impor dan dapat untung gede dari sana, akhirnya penduduk
lokal hanya sebagai penonton. Politik ekonomi bisa-bisa aja, tapi jangan bawa-bawa
Agama ya.
Sadarlah
kalau tanah itu milik rakyat setempat, orang-orang yang kau cap nantinya
menjual makanan "haram" hanya karena tidak se-keyakinan dengan anda. Selama
ini juga pedagang disana hidup berdampingan, saling berbagi pengalaman. Mau
yang jualan saksang, ayam ataupun daging kuda rendang sampai daging kerbau rendang
sama-sama akur, tentram dan damai.
Kopi itu akan tetap berwarna hitam dan terasa
pahit dimanapun, jadi jangan buat kehidupan rakyat lokal yang sudah hitam dan
pahit selama ini semakin hitam dan pahit setelah adanya proyek destinasi wisata
nasional ini.
EmoticonEmoticon