Foto : Google |
Siporsuk Na Mamora - Sepertinya hoax atau kata lain
dari cerita yang "dianggap" bohong akhir-akhir ini mewabah di
seantero republik bahkan dunia ini, tak tanggung-tanggung, cerita tentang hoax ini
juga dikait-kaitkan dengan nama Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump,
berita hoax terkait statment pemimpin Gereja Katolik yang memberi dukungan
kepada Donald J. Trump melalui facebook dikatakan turut memberi sumbangsih
besar dalam kemenangan Donald J. Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Jika
kita memaknai arti kata "hoax" sebagai berita kebohongan, sebenarnya
istilah hoax ini bukan istilah baru lagi, sejak awal sebelum kita mengenal
dunia internet, berita hoax juga telah menjadi perbincangan umat manusia,
bahkan orang yang "dianggap" memberikan berita hoax itu di hukum oleh
Gereja Katolik di Italia pada tahun 1633 hingga meninggal.
Sebabnya
adalah ketika seorang Galileo Galilei yang pada waktu itu membeberkan
pandangannya soal Bumi Bulat dan Matahari sebagai Pusat Tata Surya dianggap
sebagai pemicu kekacauan umat manusia, bahkan oleh Gereja dikatakan sebagai
perusak Iman, sebuah sebuah pandangan yang menentang keyakinan semua orang umat,
pada masa itu umat manusia meyakini bahwa Bumi Datar dan Bumi Sebagai Pusat
Tata Surya mengacu pada pandangan Aristoteles.
Pandangan
Galileo Galilei kemudian di akui umat manusia hingga sekarang, selanjutnya mendapat
perbaikan nama baik dari pihak Gereja Katolik sekaligus mengakui kesalahan
Gereja memberi keputusan atas hukumannya setelah ratusan tahun lamanya, yakni
di tahun 1992 oleh Paus Yohanes Paulus II.
Inilah
sekelumit cerita tentang orang-orang yang pada masanya "dianggap"
memberi berita kebohongan atau yang kita kenal dengan kata "hoax" di
era digital hari ini.
Sekarang
mari kita berasumsi apa sebenarnya kepentingan Gereja pada masa itu? Gereja
yang dianggap sebagai pemberita kebenaran yang mutlak, keyakinan masyarakat
pada masa itu Pemerintah atau seorang Raja adalah utusan Tuhan yang
mengakibatkan Gereja atau Agama sebagai sentral diatas pemerintahan.
Dari
dua variabel ini, kita bisa menebak, tujuan dari Gereja untuk mengorbankan
Galileo Galilei di tahun 1633 adalah tidak lain untuk menjaga kewibawaan Gereja
dan kestabilan kekuasaan pemerintahan.
Media
sosial hari ini memberi ruang dan memutus jarak antara umat manusia yang sedang
dilanda kekhawatiran akan berita hoax, penyebarannya tidak bisa direm bahkan
dengan cara blokir-blokir oleh pemerintahan sebuah negara.
Dibelahan
negara lain, media sosial sangat berperan penting dalam sebuah revolusi, katakanlah
di Mesir atau anak muda Israel dan Palestina yang aktif berinteraksi melalui
media sosial untuk menggagas sebuah perdamaian.
Media
sosial adalah ruang publik yang tidak terbatas, baik sebagai ruang imajinasi
publik, atau untuk berinteraksi dan berbagi informasi yang lebih detail antar
wilayah tertentu.
Kita
bisa melihat, keberadaan media sosial sangat vital untuk menggiring sebuah
opini publik, keberadaan media sosial bisa jadi sebagai antitesa atas
"kenakalan" media mainstreem yang selama ini diaanggap sebagai
pembawa berita yang terkonfirmasi kebenarannya.
Dikatakan
nakal karena media mainstreem acak kali menyungguhi masyarakat dengan
berita-berita "titipan" atau "dibesar-besarkan" sesuai
dengan keinginan pengorder atau kepentingan pemilik. Ada yang bilang itu
sebagai ideologi media, artinya, alasan untuk tidak memuat suatu berita sering
berselimut kepentingan media, atau tidak sesuai dengan ideologi pemberitaan
suatu media.
Sebagian
orang berpendapat, bahwa keberadaan media sosial itu menjadi ruang pengganti
untuk mengekspos suatu berita yang nyata-nyata dilapangan tetapi tidak bisa di
buktikan secara administrasi, katakanlah seperti berita suap di suatu
kelembagaan pemerintah, seorang korban akan memungkinkan membuat cerita
berbentuk narasi di media sosial dengan gaya dan bahasanya sendiri, tanpa
memenuhi kedah jurnalistik, yang dikemudian hari jika dituntut lembaga tersebut
akan menjadi soal kalau tidak bisa memberi bukti administrasinya, dan memang
soal suap tidak akan mungkin ditandatangani di atas kwitansi.
Itu
dalam konteks sederhana, lalu kemudian masuk dalam konteks lebih besar, seperti
di permainan-permainan dunia gelap para pejabat, bagi-bagi kue dan lain lain,
jangan harap seorang pengguna media sosial lolos dari jeratan hukum karena menceritakan
aktivitas itu di media sosial tanpa dilengkapi bukti rekaman dan lain-lain, pun
kalau kalian merekam, anda akan kena pasal penyadapan illegal, karena anda
tidak memiliki ijin resmi.
Perlu
di ingat, bahwa sesuatu yang menjadi viral itu jika nitizen melihat postingan
itu unik dan kadang kala akan cepat peredarannya jika berita yang
disampaikannya itu dirasa benar dan perlu untuk di share kembali oleh para
nitizen.
Apa
yang kita anggap salah hari ini, bisa saja itu ada benarnya di kemudian hari, tetapi
yang menjadi soal hukum akan menanti anda di depan jika pemberitaan yang anda
buat merugikan seseorang tetapi anda tidak bisa membuktikannya secara sah
menurut pandangan hukum kita. Pasalnya bisa beragam, ada soal pencemaran nama
baik/fitnah, ada soal menimbulkan kekacauan dan lain-lain.
Mudah-mudahan,
isu tentang hoax hari ini yang dilemparkan pemerintah tidak dalam rangka untuk
mengendalikan isu sesuai keinginan penguasa untuk mempertahankan sebuah
kekuasaan menuju pemerintahan totaliter dengan cara menakut-nakuti para
nitizen.
Seharusnya,
pemerintah harus hadir untuk membuktikan kebenaran tulisan para nitizen. Bukan
mencecoki pikiran mereka dengan rasa takut atas nama kebenaran menurut standart
pemerintah.
EmoticonEmoticon