Tuesday, January 24, 2017

Hoax dan Kedaulatan Nitizen di Media Sosial

Foto : Google
Siporsuk Na Mamora - Sepertinya hoax atau kata lain dari cerita yang "dianggap" bohong akhir-akhir ini mewabah di seantero republik bahkan dunia ini, tak tanggung-tanggung, cerita tentang hoax ini juga dikait-kaitkan dengan nama Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump, berita hoax terkait statment pemimpin Gereja Katolik yang memberi dukungan kepada Donald J. Trump melalui facebook dikatakan turut memberi sumbangsih besar dalam kemenangan Donald J. Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Jika kita memaknai arti kata "hoax" sebagai berita kebohongan, sebenarnya istilah hoax ini bukan istilah baru lagi, sejak awal sebelum kita mengenal dunia internet, berita hoax juga telah menjadi perbincangan umat manusia, bahkan orang yang "dianggap" memberikan berita hoax itu di hukum oleh Gereja Katolik di Italia pada tahun 1633 hingga meninggal.

Sebabnya adalah ketika seorang Galileo Galilei yang pada waktu itu membeberkan pandangannya soal Bumi Bulat dan Matahari sebagai Pusat Tata Surya dianggap sebagai pemicu kekacauan umat manusia, bahkan oleh Gereja dikatakan sebagai perusak Iman, sebuah sebuah pandangan yang menentang keyakinan semua orang umat, pada masa itu umat manusia meyakini bahwa Bumi Datar dan Bumi Sebagai Pusat Tata Surya mengacu pada pandangan Aristoteles.

Pandangan Galileo Galilei kemudian di akui umat manusia hingga sekarang, selanjutnya mendapat perbaikan nama baik dari pihak Gereja Katolik sekaligus mengakui kesalahan Gereja memberi keputusan atas hukumannya setelah ratusan tahun lamanya, yakni di tahun 1992 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Inilah sekelumit cerita tentang orang-orang yang pada masanya "dianggap" memberi berita kebohongan atau yang kita kenal dengan kata "hoax" di era digital hari ini.

Sekarang mari kita berasumsi apa sebenarnya kepentingan Gereja pada masa itu? Gereja yang dianggap sebagai pemberita kebenaran yang mutlak, keyakinan masyarakat pada masa itu Pemerintah atau seorang Raja adalah utusan Tuhan yang mengakibatkan Gereja atau Agama sebagai sentral diatas pemerintahan.

Dari dua variabel ini, kita bisa menebak, tujuan dari Gereja untuk mengorbankan Galileo Galilei di tahun 1633 adalah tidak lain untuk menjaga kewibawaan Gereja dan kestabilan kekuasaan pemerintahan.

Media sosial hari ini memberi ruang dan memutus jarak antara umat manusia yang sedang dilanda kekhawatiran akan berita hoax, penyebarannya tidak bisa direm bahkan dengan cara blokir-blokir oleh pemerintahan sebuah negara.

Dibelahan negara lain, media sosial sangat berperan penting dalam sebuah revolusi, katakanlah di Mesir atau anak muda Israel dan Palestina yang aktif berinteraksi melalui media sosial untuk menggagas sebuah perdamaian.

Media sosial adalah ruang publik yang tidak terbatas, baik sebagai ruang imajinasi publik, atau untuk berinteraksi dan berbagi informasi yang lebih detail antar wilayah tertentu.

Kita bisa melihat, keberadaan media sosial sangat vital untuk menggiring sebuah opini publik, keberadaan media sosial bisa jadi sebagai antitesa atas "kenakalan" media mainstreem yang selama ini diaanggap sebagai pembawa berita yang terkonfirmasi kebenarannya.

Dikatakan nakal karena media mainstreem acak kali menyungguhi masyarakat dengan berita-berita "titipan" atau "dibesar-besarkan" sesuai dengan keinginan pengorder atau kepentingan pemilik. Ada yang bilang itu sebagai ideologi media, artinya, alasan untuk tidak memuat suatu berita sering berselimut kepentingan media, atau tidak sesuai dengan ideologi pemberitaan suatu media.

Sebagian orang berpendapat, bahwa keberadaan media sosial itu menjadi ruang pengganti untuk mengekspos suatu berita yang nyata-nyata dilapangan tetapi tidak bisa di buktikan secara administrasi, katakanlah seperti berita suap di suatu kelembagaan pemerintah, seorang korban akan memungkinkan membuat cerita berbentuk narasi di media sosial dengan gaya dan bahasanya sendiri, tanpa memenuhi kedah jurnalistik, yang dikemudian hari jika dituntut lembaga tersebut akan menjadi soal kalau tidak bisa memberi bukti administrasinya, dan memang soal suap tidak akan mungkin ditandatangani di atas kwitansi.

Itu dalam konteks sederhana, lalu kemudian masuk dalam konteks lebih besar, seperti di permainan-permainan dunia gelap para pejabat, bagi-bagi kue dan lain lain, jangan harap seorang pengguna media sosial lolos dari jeratan hukum karena menceritakan aktivitas itu di media sosial tanpa dilengkapi bukti rekaman dan lain-lain, pun kalau kalian merekam, anda akan kena pasal penyadapan illegal, karena anda tidak memiliki ijin resmi.

Perlu di ingat, bahwa sesuatu yang menjadi viral itu jika nitizen melihat postingan itu unik dan kadang kala akan cepat peredarannya jika berita yang disampaikannya itu dirasa benar dan perlu untuk di share kembali oleh para nitizen.

Apa yang kita anggap salah hari ini, bisa saja itu ada benarnya di kemudian hari, tetapi yang menjadi soal hukum akan menanti anda di depan jika pemberitaan yang anda buat merugikan seseorang tetapi anda tidak bisa membuktikannya secara sah menurut pandangan hukum kita. Pasalnya bisa beragam, ada soal pencemaran nama baik/fitnah, ada soal menimbulkan kekacauan dan lain-lain.

Mudah-mudahan, isu tentang hoax hari ini yang dilemparkan pemerintah tidak dalam rangka untuk mengendalikan isu sesuai keinginan penguasa untuk mempertahankan sebuah kekuasaan menuju pemerintahan totaliter dengan cara menakut-nakuti para nitizen.

Seharusnya, pemerintah harus hadir untuk membuktikan kebenaran tulisan para nitizen. Bukan mencecoki pikiran mereka dengan rasa takut atas nama kebenaran menurut standart pemerintah.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon