Friday, February 17, 2017

Indonesia Meng(h)ajar

Sumber Foto : Detik.com
Siporsuk Na Mamora - Teringat diawal pilpres tahun 2014 lalu, semua orang yang selama ini sangat anti politik kesurupan karena tingginya dinamika politik saat itu, termasuk karena Jokowi masuk sebagai salah satu kandidat Capres dengan gagasan Revolusi Mental-nya yang menjadi semangat perubahan Indonesia dibawah kepemimpinannya kelak.

Gagasan Revolusi Mental yang dituangkannya dalam tulisan telah sedikit banyak menyihir masyarakat, tentu dengan segala kebuntuan-kebuntuan persoalan yang selama ini tak kunjung bisa diatasi oleh para pemimpin Republik, atau katakanlah dengan sederhana bahwa kita sering di-PHP-in sama sosok-sosok pemimpin yang lahir setelah reformasi, kelihatan dimuka sangat bersahaja namun ternyata masih mewarisi budaya politik dan sifat-sifat Orde Baru.

Jokowi menjelaskan dengan sangat gamblang dan mudah dipahami masyarakat luas tentang maksud dan tujuan kenapa kita harus me-Revolusi Mental terlebih dahulu, dan dimana saja yang perlu dirubah? Secara garis besarnya adalah tentang budaya politik, reformasi memang berhasil tapi hanya sebatas perombakan kelembagaan Negara, akan tetapi tidak dengan mental kita yang masih mewarisi sifat-sifat korupsi, intoleransi, kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum dan sifat oportunis.

Sifat-sifat semacam ini jika terus dibiarkan maka akan menjadi bumerang bagi kemajuan peradaban bangsa, atau kita hanya akan berjalan ditempat.

Pilkada DKI Jakarta mengingatkan saya kembali tentang Revolusi Mental Jokowi, bahkan saya berulangulang membacanya. Saya tidak ingin membahas yang berat-berat terkait isi tulisan itu, jika salah kaprah bisa-bisa saya nanti dikatakan salah arah dari maksud sebenarnya dari tulisan itu, kita bahas yang lagi marak dan hangat hari ini saja, beberapa poin yang saya sebutkan diatas mungkin sangat ringan.

Kenyataan tentang tingginya tingkat perilaku korupsi para pejabat daerah dan legislatif memang semakin terlihat dengan banyaknya yang sudah diproses oleh KPK, ini bisa dikatakan sebuah Revolusi Mental yang telah diterapkan didalam era pemerintahan Jokowi, atau dari sisi pandang yang berbeda kita bisa katakan bahwa tingkat korupsi yang kelihatan sekarang ini meninggi akibat dari kinerja KPK yang semakin baik, persepsi ini masih sejalan juga, kenapa saya katakan begitu? Karena memang kalau KPK tidak bekerja maka takkan kelihatanlah kepada publik bahwa ada banyak kasus korupsi yang dilakukan para pejabat negara (bandingkan antara masa Orde Baru dengan masa sekarang).

Fokus untuk hal yang paling menyakiti kita adalah soal intoleransi yang semakin meninggi akhir-akhir ini, kita sekan terpecah-belah dan luluh lantah karena masih akutnya sifat intoleransi. Ini jelas merobek-robek kebhinnekaan kita.

Seorang Ahok yang adalah orang Indonesia, tidak korup dan seorang yang peduli terhadap pemeluk Agama manapun berusaha dijegal dalam Pilkada DKI Jakarta karena tidak berkeyakinan sama dengan orang kebanyakan direpublik ini  dengan cara memberi tekanan politik atas nama doktrin Agama, jika persoalan ini berlanjut dan benar-benar berhasil, maka jangan kaget ketika didaerah-daerah lain akan ada lagi orang yang berpotensi di-Ahok-an, ini jelas sebuah kemunduran bagi demokrasi yang telah kita bangun bersusah payah hingga sampai hari ini. Sebuah intoleransi yang jelas-jelas kelihatan didepan mata, tentu tanpa mengesampingkan kasus-kasus yang lain seperti pembakaran rumah ibadah, penutupan dan hingga sampai pada perlakukan tidak terpuji seperti teror dan kekerasan dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kelompok penganut Agama yang lain.

Kekerasan sebenarnya adalah cara yang lama, telah banyak contoh kasus yang bisa kita lihat bersama, saya bahkan menjadi salah satu orang yang pernah mengunjungi tempat kejadian seperti itu di Aceh Singkil, terkait dengan masalah pembakaran Gereja yang merembes pada perpecahan dan pertikaian masyarakat. Ini jelas cara yang tidak tepat dan harus dirobah jika mengacu pada Revolusi Mental Jokowi, tapi kenyataannya kita masih mengalaminya hingga sekarang, artinya mental kita masih belum berubah walaupun sudah 19 tahun pasca reformasi.

Dalam situasi politik seperti saat ini, lalu apa yang seharusnya kita lakukan? Berdiam diri dan duduk santai melihat kelakuan orang-orang seperti ini saya fikir bukan pilihan tepat, jika diam, berarti kita adalah salah satu orang yang belum berevolusi secara mental seperti yang disebutkan Jokowi.

Paradigma Revolusi Mental adalah revolusi tanpa pertumpahan darah, jelas ini adalah cara yang sangat soft yang keberhasilan dan ketepatan pelaksanaannya tergantung pada kita masing-masing.

Pertanyaannya adalah, maukah kita melakukannya dalam konteks pilkada tahun 2017 ini?

Jika kita mau, maka mari kita hajar mereka-mereka para politisi yang rakus dan korup, mereka yang intoleran, mereka yang mau menang sendiri dan memaksakan kehendak dengan segala cara termasuk dengan kekerasan, terutama para politikus yang bersifat oportunis tanpa ada prestasi kerja tapi suka bercuap-cuap dengan segala kebohongan dan ilusinya.

Masa ini adalah masa terpenting akan sebuah perdaban demokrasi yang lebih baik dimasa mendatang, jika mereka yang masih mewarisi sifat-sifat Orde Baru menang, maka tidak menutup kemungkinan bangsa kita akan hancur lebur.

Dalam konteks menghajar yang saya maksud bukan dengan kekerasan, tetapi dengan cara kita menyikapi pilkada tahun ini. Jangan beri kekuasaan kepada mereka yang masih dalam suasana romantisme Orde Baru dengan segala sifat-sifatnya. Tentu hal ini bisa diketahui dengan kejelian kita membaca informasi dan melihat siapa kelompok pendukungnya.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon