Sumber Foto : Detik.com |
Siporsuk Na Mamora - Teringat diawal pilpres tahun 2014 lalu,
semua orang yang selama ini sangat anti politik kesurupan karena tingginya
dinamika politik saat itu, termasuk karena Jokowi masuk sebagai salah satu
kandidat Capres dengan gagasan Revolusi Mental-nya yang menjadi semangat
perubahan Indonesia dibawah kepemimpinannya kelak.
Gagasan
Revolusi Mental yang dituangkannya dalam tulisan telah sedikit banyak menyihir
masyarakat, tentu dengan segala kebuntuan-kebuntuan persoalan yang selama ini
tak kunjung bisa diatasi oleh para pemimpin Republik, atau katakanlah dengan
sederhana bahwa kita sering di-PHP-in sama sosok-sosok pemimpin yang lahir
setelah reformasi, kelihatan dimuka sangat bersahaja namun ternyata masih
mewarisi budaya politik dan sifat-sifat Orde Baru.
Jokowi
menjelaskan dengan sangat gamblang dan mudah dipahami masyarakat luas tentang
maksud dan tujuan kenapa kita harus me-Revolusi Mental terlebih dahulu, dan
dimana saja yang perlu dirubah? Secara garis besarnya adalah tentang budaya
politik, reformasi memang berhasil tapi hanya sebatas perombakan kelembagaan
Negara, akan tetapi tidak dengan mental kita yang masih mewarisi sifat-sifat
korupsi, intoleransi, kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri,
kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum
dan sifat oportunis.
Sifat-sifat
semacam ini jika terus dibiarkan maka akan menjadi bumerang bagi kemajuan
peradaban bangsa, atau kita hanya akan berjalan ditempat.
Pilkada
DKI Jakarta mengingatkan saya kembali tentang Revolusi Mental Jokowi, bahkan
saya berulangulang membacanya. Saya tidak ingin membahas yang berat-berat
terkait isi tulisan itu, jika salah kaprah bisa-bisa saya nanti dikatakan salah
arah dari maksud sebenarnya dari tulisan itu, kita bahas yang lagi marak dan
hangat hari ini saja, beberapa poin yang saya sebutkan diatas mungkin sangat
ringan.
Kenyataan
tentang tingginya tingkat perilaku korupsi para pejabat daerah dan legislatif
memang semakin terlihat dengan banyaknya yang sudah diproses oleh KPK, ini bisa
dikatakan sebuah Revolusi Mental yang telah diterapkan didalam era pemerintahan
Jokowi, atau dari sisi pandang yang berbeda kita bisa katakan bahwa tingkat
korupsi yang kelihatan sekarang ini meninggi akibat dari kinerja KPK yang
semakin baik, persepsi ini masih sejalan juga, kenapa saya katakan begitu?
Karena memang kalau KPK tidak bekerja maka takkan kelihatanlah kepada publik
bahwa ada banyak kasus korupsi yang dilakukan para pejabat negara (bandingkan
antara masa Orde Baru dengan masa sekarang).
Fokus
untuk hal yang paling menyakiti kita adalah soal intoleransi yang semakin
meninggi akhir-akhir ini, kita sekan terpecah-belah dan luluh lantah karena
masih akutnya sifat intoleransi. Ini jelas merobek-robek kebhinnekaan kita.
Seorang
Ahok yang adalah orang Indonesia, tidak korup dan seorang yang peduli terhadap
pemeluk Agama manapun berusaha dijegal dalam Pilkada DKI Jakarta karena tidak
berkeyakinan sama dengan orang kebanyakan direpublik ini dengan cara memberi tekanan politik atas nama
doktrin Agama, jika persoalan ini berlanjut dan benar-benar berhasil, maka
jangan kaget ketika didaerah-daerah lain akan ada lagi orang yang berpotensi
di-Ahok-an, ini jelas sebuah kemunduran bagi demokrasi yang telah kita bangun
bersusah payah hingga sampai hari ini. Sebuah intoleransi yang jelas-jelas
kelihatan didepan mata, tentu tanpa mengesampingkan kasus-kasus yang lain
seperti pembakaran rumah ibadah, penutupan dan hingga sampai pada perlakukan
tidak terpuji seperti teror dan kekerasan dari kelompok-kelompok tertentu
terhadap kelompok penganut Agama yang lain.
Kekerasan
sebenarnya adalah cara yang lama, telah banyak contoh kasus yang bisa kita
lihat bersama, saya bahkan menjadi salah satu orang yang pernah mengunjungi
tempat kejadian seperti itu di Aceh Singkil, terkait dengan masalah pembakaran
Gereja yang merembes pada perpecahan dan pertikaian masyarakat. Ini jelas cara
yang tidak tepat dan harus dirobah jika mengacu pada Revolusi Mental Jokowi,
tapi kenyataannya kita masih mengalaminya hingga sekarang, artinya mental kita
masih belum berubah walaupun sudah 19 tahun pasca reformasi.
Dalam
situasi politik seperti saat ini, lalu apa yang seharusnya kita lakukan?
Berdiam diri dan duduk santai melihat kelakuan orang-orang seperti ini saya
fikir bukan pilihan tepat, jika diam, berarti kita adalah salah satu orang yang
belum berevolusi secara mental seperti yang disebutkan Jokowi.
Paradigma
Revolusi Mental adalah revolusi tanpa pertumpahan darah, jelas ini adalah cara
yang sangat soft yang keberhasilan dan ketepatan pelaksanaannya tergantung pada
kita masing-masing.
Pertanyaannya
adalah, maukah kita melakukannya dalam konteks pilkada tahun 2017 ini?
Jika kita
mau, maka mari kita hajar mereka-mereka para politisi yang rakus dan korup,
mereka yang intoleran, mereka yang mau menang sendiri dan memaksakan kehendak
dengan segala cara termasuk dengan kekerasan, terutama para politikus yang
bersifat oportunis tanpa ada prestasi kerja tapi suka bercuap-cuap dengan segala
kebohongan dan ilusinya.
Masa ini
adalah masa terpenting akan sebuah perdaban demokrasi yang lebih baik dimasa
mendatang, jika mereka yang masih mewarisi sifat-sifat Orde Baru menang, maka
tidak menutup kemungkinan bangsa kita akan hancur lebur.
Dalam konteks
menghajar yang saya maksud bukan dengan kekerasan, tetapi dengan cara kita
menyikapi pilkada tahun ini. Jangan beri kekuasaan kepada mereka yang masih
dalam suasana romantisme Orde Baru dengan segala sifat-sifatnya. Tentu hal ini
bisa diketahui dengan kejelian kita membaca informasi dan melihat siapa
kelompok pendukungnya.
EmoticonEmoticon