Monday, February 13, 2017

Satu Lagi, Proyek Mangkrak Era SBY di Tanah Toraja

Proyek Pembangunan Bandara Buntu Kuni, Tanah Toraja
Siporsuk Na Mamora - Sekarang lagi buming-bumingnya proyek mangkrak yang ditinggalkan oleh pak SBY sewaktu masih menjadi penguasa RI, tak tanggung-tanggung memang, kalau kita lihat dan perhatikan, alangkah besarnya uang rakyat yang habis akibat dari permainan orang-orang korup yang selama ini tertutupi. Ini diakibatkan masih banyak pelaku-pelakunya didalam pemerintahan yang pasang badan.

Pengerjaan Bandara BBK dimulai tahun 2011 sampai 2015, tapi faktanya sampai hari ini (Februari, 2017) belum juga kelihatan tanda-tanda akan selesai, lucu dan bin ajaiblah ya... Hampir 6 tahun tidak selesai, dan paling parahnya mangkrak alias berhenti. Lalu, apa lagi masalah yang mengakibatkan pengerjaan tidak selesai kalau bukan permainan kotor dan korupsi?

Saya tidak pesimis sebenarnya kalau persoalan-persoalan ini pelan-pelan akan terbuka ke publik, tentu karena pemerintahan sekarang serius dalam penanganan-penanganan kasus-kasus proyek mangkrak di era penguasa yang lama, ditambah lagi memang karena Presidennya Bapak Jokowi, yang bekerja keras disaat para kaum baper sibuk mengupdate status di twitter dan facebook.

Kali ini saya mengangkat isu tentang mangkraknya Proyek Bandara Buntu Kuni (BBK), berada di Pitu Buntu Pitu Lombok/Palawa, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan yang bernilai sebesar Rp. 1,7 Triliun.

Kasus pembangunan ini dari awal sebenarnya telah sarat akan permainan-permainan kotor, dimulai dari tahun 2010.

Pertama tentang survey lokasi pembangunan oleh Komisi V DPR-RI, setelah melakukan kunjungan kerja dalam rangka penentuan lokasi yang layak dibangun Bandara yang menghasilkan merekomendasi lokasi yang layak yaitu berada di Kambuno, Kecamatan Nanggala, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Tetapi dalam proses selanjutnya Bandara BBK dibangun di Pitu Buntu Pitu Lombok/Palawa, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tanah Toraja, Sulawesi Selatan yang notabanenya memiliki medan yang tidak cocok atau tidak sesuai, seperti adanya gunung dan aliran sungai tepat membelah runway.

Kedua soal pembengkakan anggran dari rencana awal Rp. 310 Milliar menjadi Rp. 1,7 Triliun. Luar biasa pembengkakan anggarannya bukan? Hampir 8 kali lipat dari anggaran yang direncanakan di awal. Mungkin kita bisa berbaik sangka, kenapa? Karena pengerjaannya akan sedikit lebih rumit.

Dari dua fakta di atas, ada pertanyaan yang muncul kemudian, yaitu :

Mengapa lokasi yang direkomendasikan DPR-RI diabaikan? Sementara dari segi kelayakan memenuhi. Hal ini diperkuat dengan rekomendasi dari DPR-RI.

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa anggaran dana pembangunan membengkak hingga 8 kali lipat? Saya berfikir makin tidak tepat ketika lokasi dijadikan alasan untuk menambah biaya pembangunan.

Logikanya sederhana saja, dengan prinsip efektif, efisien dan ekonomis. Misalkan begini, soal lokasi, mana yang paling tepat harusnya disitulah dibangun Bandara BBK tersebut, tidak memaksakan dibangun di lokasi yang notabanenya lebih sulit dalam hal pengerjaan, termasuk meratakan gunung dan menimbun sungai seperti yang saya sebutkan di atas, apalagi aksesnya sangat sulit.

Jadi, permainan pemindahan lokasi yang tidak mengikuti rekomendasi Komisi V DPR-RI menurutku hanyalah dijadikan sebagai alasan untuk menguras uang negara lebih banyak, dengan begitu, lebih banyak pulaklah yang bisa masuk ke kantong-kantong pribadi alias korupsi.

Uang sebesar Rp. 310 Miliar bukan uang yang sedikit bro... Apalagi Rp. 1,7 Triliun, wah... Kalau ngitungnya pake jari, mungkin sampai lebaran kudapun takkan selesai.

Ada kemungkinan proyek ini akan dilanjut, katanya begitu menurut penuturan salah satu teman aktivis yang berada di Toraja. Ada kelompok yang mendorong agar tetap dilanjut, mungkin butuh biaya lagi dengan alasan agar proyek bisa selesai, tapi kalau Rp. 1,7 Triliun saja tidak cukup untuk mengerjakan pekerjaan hingga 50%, kita bisa pikir ya, berapa lagi uang negara yang harus dikorbankan untuk itu? Mungkin 500 Miliar tidak akan cukup jika tetap dipaksakan di lokasi yang sama dan oleh pelaku-pelaku yang sama.

Lebih tepat sebenarnya lokasinya dipindah saja ke Lokasi semula mengacu pada rekomendasi Komisi V DPR-RI, yaitu di Kambuno, Kecamatan Nanggala, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan dengan dasar pemikiran prinsip efektif, efisien dan ekonomis. Labih mengirit uang negara bukan? Ini masih soal anggaran, jika dikaitkan dengan pelaksana, maka mungkin kita adalah orang yang paling bodoh jika mempertahankan pembangunannya tetap di Pitu Buntu Pitu Lombok/Palawa, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Alasannya simpel, karena dengan demikian kita hanya akan memberikan kesempatan kembali kepada para pemain lama untuk menghabiskan uang negara, hasilnya tentu akan mangkarak lagi.

Bisa saja masyarakat terprovokasi karena isu lokasi, yang satu bilang biarlah tetap di tempat kita, agar daerah kita lebih maju, lalu yang satu lagi juga sama. Akibatnya akan terjadi tarik menarik yang kuat di kalangan masyarakat, bahkan bisa saja menimbulkan korban, dalam bentuk luas.

Mari berfikir jernih, jangan mau masuk pada kepentingan-kepentingan kelompok pemain-pemain lama, hasilnya akan mangkrak lagi, mau berapapun uang Republik ini diberikan kepada mereka juga tidak akan cukup kok. Hasilnya akan mangkrak lagi.

Lebih parahnya jika masyarakat sudah saling curiga. Jangan sampai ada korban karena kita tidak berfikir jernih, atau masuk kedalam ruang-ruang kotor yang sengaja diciptakan oleh para pemain lama itu. Akibatkan sesama masyarakat saling menghujat dan saling memfitnah. Mengatakan yang sana penghianat, sementara yang sini larut dalam pola permainan pemain-pemain lama menjadikan proyek pembangunan Bandara Buntu Kuni mangkarak hingga hari ini!

Satu tagline saya bagikan kepada saudara-saudara yang lagi tegang-tengang urat disana, #JokowiLihatlahBandaraBBK! 

Artikel Terkait

1 komentar so far


EmoticonEmoticon