Proyek Pembangunan Bandara Buntu Kuni, Tanah Toraja |
Siporsuk Na Mamora - Sekarang lagi buming-bumingnya
proyek mangkrak yang ditinggalkan oleh pak SBY sewaktu masih menjadi penguasa
RI, tak tanggung-tanggung memang, kalau kita lihat dan perhatikan, alangkah
besarnya uang rakyat yang habis akibat dari permainan orang-orang korup yang
selama ini tertutupi. Ini diakibatkan masih banyak pelaku-pelakunya didalam
pemerintahan yang pasang badan.
Pengerjaan
Bandara BBK dimulai tahun 2011 sampai 2015, tapi faktanya sampai hari ini
(Februari, 2017) belum juga kelihatan tanda-tanda akan selesai, lucu dan bin
ajaiblah ya... Hampir 6 tahun tidak selesai, dan paling parahnya mangkrak alias
berhenti. Lalu, apa lagi masalah yang mengakibatkan pengerjaan tidak selesai
kalau bukan permainan kotor dan korupsi?
Saya
tidak pesimis sebenarnya kalau persoalan-persoalan ini pelan-pelan akan terbuka
ke publik, tentu karena pemerintahan sekarang serius dalam
penanganan-penanganan kasus-kasus proyek mangkrak di era penguasa yang lama,
ditambah lagi memang karena Presidennya Bapak Jokowi, yang bekerja keras disaat
para kaum baper sibuk mengupdate status di twitter dan facebook.
Kali
ini saya mengangkat isu tentang mangkraknya Proyek Bandara Buntu Kuni (BBK),
berada di Pitu Buntu Pitu Lombok/Palawa, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana
Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan yang bernilai sebesar Rp. 1,7 Triliun.
Kasus
pembangunan ini dari awal sebenarnya telah sarat akan permainan-permainan
kotor, dimulai dari tahun 2010.
Pertama
tentang survey lokasi pembangunan oleh Komisi V DPR-RI, setelah melakukan
kunjungan kerja dalam rangka penentuan lokasi yang layak dibangun Bandara yang menghasilkan
merekomendasi lokasi yang layak yaitu berada di Kambuno, Kecamatan Nanggala,
Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Tetapi dalam proses
selanjutnya Bandara BBK dibangun di Pitu Buntu Pitu Lombok/Palawa, Kecamatan
Mengkendek, Kabupaten Tanah Toraja, Sulawesi Selatan yang notabanenya memiliki
medan yang tidak cocok atau tidak sesuai, seperti adanya gunung dan aliran
sungai tepat membelah runway.
Kedua
soal pembengkakan anggran dari rencana awal Rp. 310 Milliar menjadi Rp. 1,7 Triliun.
Luar biasa pembengkakan anggarannya bukan? Hampir 8 kali lipat dari anggaran
yang direncanakan di awal. Mungkin kita bisa berbaik sangka, kenapa? Karena
pengerjaannya akan sedikit lebih rumit.
Dari
dua fakta di atas, ada pertanyaan yang muncul kemudian, yaitu :
Mengapa
lokasi yang direkomendasikan DPR-RI diabaikan? Sementara dari segi kelayakan
memenuhi. Hal ini diperkuat dengan rekomendasi dari DPR-RI.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, mengapa anggaran dana pembangunan membengkak hingga 8 kali
lipat? Saya berfikir makin tidak tepat ketika lokasi dijadikan alasan untuk
menambah biaya pembangunan.
Logikanya
sederhana saja, dengan prinsip efektif, efisien dan ekonomis. Misalkan begini,
soal lokasi, mana yang paling tepat harusnya disitulah dibangun Bandara BBK
tersebut, tidak memaksakan dibangun di lokasi yang notabanenya lebih sulit
dalam hal pengerjaan, termasuk meratakan gunung dan menimbun sungai seperti
yang saya sebutkan di atas, apalagi aksesnya sangat sulit.
Jadi,
permainan pemindahan lokasi yang tidak mengikuti rekomendasi Komisi V DPR-RI menurutku
hanyalah dijadikan sebagai alasan untuk menguras uang negara lebih banyak,
dengan begitu, lebih banyak pulaklah yang bisa masuk ke kantong-kantong pribadi
alias korupsi.
Uang
sebesar Rp. 310 Miliar bukan uang yang sedikit bro... Apalagi Rp. 1,7 Triliun,
wah... Kalau ngitungnya pake jari, mungkin sampai lebaran kudapun takkan
selesai.
Ada
kemungkinan proyek ini akan dilanjut, katanya begitu menurut penuturan salah
satu teman aktivis yang berada di Toraja. Ada kelompok yang mendorong agar
tetap dilanjut, mungkin butuh biaya lagi dengan alasan agar proyek bisa
selesai, tapi kalau Rp. 1,7 Triliun saja tidak cukup untuk mengerjakan
pekerjaan hingga 50%, kita bisa pikir ya, berapa lagi uang negara yang harus
dikorbankan untuk itu? Mungkin 500 Miliar tidak akan cukup jika tetap dipaksakan
di lokasi yang sama dan oleh pelaku-pelaku yang sama.
Lebih
tepat sebenarnya lokasinya dipindah saja ke Lokasi semula mengacu pada
rekomendasi Komisi V DPR-RI, yaitu di Kambuno, Kecamatan Nanggala, Kabupaten
Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan dengan dasar pemikiran prinsip efektif,
efisien dan ekonomis. Labih mengirit uang negara bukan? Ini masih soal
anggaran, jika dikaitkan dengan pelaksana, maka mungkin kita adalah orang yang
paling bodoh jika mempertahankan pembangunannya tetap di Pitu Buntu Pitu
Lombok/Palawa, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tanah Toraja, Sulawesi Selatan.
Alasannya simpel, karena dengan demikian kita hanya akan memberikan kesempatan
kembali kepada para pemain lama untuk menghabiskan uang negara, hasilnya tentu
akan mangkarak lagi.
Bisa
saja masyarakat terprovokasi karena isu lokasi, yang satu bilang biarlah tetap
di tempat kita, agar daerah kita lebih maju, lalu yang satu lagi juga sama.
Akibatnya akan terjadi tarik menarik yang kuat di kalangan masyarakat, bahkan
bisa saja menimbulkan korban, dalam bentuk luas.
Mari
berfikir jernih, jangan mau masuk pada kepentingan-kepentingan kelompok pemain-pemain
lama, hasilnya akan mangkrak lagi, mau berapapun uang Republik ini diberikan kepada
mereka juga tidak akan cukup kok. Hasilnya akan mangkrak lagi.
Lebih
parahnya jika masyarakat sudah saling curiga. Jangan sampai ada korban karena
kita tidak berfikir jernih, atau masuk kedalam ruang-ruang kotor yang sengaja
diciptakan oleh para pemain lama itu. Akibatkan sesama masyarakat saling menghujat
dan saling memfitnah. Mengatakan yang sana penghianat, sementara yang sini
larut dalam pola permainan pemain-pemain lama menjadikan proyek pembangunan
Bandara Buntu Kuni mangkarak hingga hari ini!
Satu tagline saya bagikan kepada saudara-saudara
yang lagi tegang-tengang urat disana, #JokowiLihatlahBandaraBBK!
1 komentar so far
=)D
EmoticonEmoticon