Sumber Foto : Detik[dot]com |
Siporsuk Na Mamora -
Mungkin tak banyak orang yang melihat sisi keberanian seorang pak Djarot
dibalik keramahan dan mudah senyumnya. Dan sudah seharusnya kita melihat itu
sekarang.
Jalan
panjang menuju Indonesia yang bebas dari politisasi agama tentu belum berhenti
sampai disini saja. Penggunaan isu sara dalam Pilkada DKI Jakarta adalah
sebagian kecil dari keseluruhan maraknya penggunaan isu-isu sara yang bercokol
di daerah-daerah yang jauh dari sorotan media massa.
Spertinya,
sara adalah konsumsi empuk yang sangat mudah ditelan bulat-bulat oleh
masyarakat yang cenderung masih jauh dari pendidikan dan pemahaman demokrasi
sesungguhnya.
Disamping
itu, menjual isu sara dan primordialisme terbilang memiliki cost politik yang lebih sedikit
dibandingkan dengan menjual isu-isu lain, seperti gagasan dan program.
Umur
kemerdekaan yang tergolong masih sangat muda adalah sebagai salah satu faktor
lambatnya laju penyebaran paham demokrasi yang sesungguhnya dikalangan
masyarakat Indonesia.
Sara
dan primordialisme masih susah dikikis. Hal ini semakin susah karena pada
kenyataannya kita adalah bangsa yang sangat beragam, mulai dari suku hingga
agama.
Presiden
Jokowi, melalui ceramahnya di Kota Barus pada saat peresmian Tugu Titik 0 Islam
Nusantara bulan Maret lalu turut menjadi sasaran akibat pernyataannya tentang
pemisahan politik dan agama. Tak hanya dari masyarakat awam, beliau juga
dikritik banyak politikus, seperti DPR RI dan tokoh-tokoh agama.
Banyaknya
politikus yang memiliki ambisi tinggi untuk berkuasa lagi-lagi membawa kita
pada kemunduran demokrasi akibat penjualan isu-isu sara dan primordialis.
Karena ambisiusnya, mereka tak memikirkan dampak besar yang akan muncul akibat
kelakuan mereka. Bagi mereka yang penting bisa menang dan berkuasa.
Pilkada
DKI Jakarta telah membuka mata kita melihat kenyataan bahwa kita masih jauh
dari kata "dewasa" dalam berpolitik. Isu sara jelas akan merongrong
persatuan bangsa dan negara. Keahlian dan profesionalitas seorang pemimpinpun
tak lagi laku dikala isu sara dan primordialisme menguasai panggung politik.
Gagasan dan programpun ikut tenggelam olehnya, dalam artian tidak laku dijual sama
sekali kepada masyarakat yang telah terkontaminasi isu-isu sara dan
primordialisme. Yang ada kemudian adalah paham "yang penting satu agama,
atau yang penting satu suku". Sungguh bahaya sekali.
Penyebaran
isu sara dan primordialismepun dilancarkan melalui mimbar-mimbar suci di rumah
ibadah. Sungguh, ini adalah kenyataan yang tidak enak dipandang mata dan
didengar telinga. Tak banyak yang berani mengungkapnya secara gamblang
dihadapan publik, karena hal itu bisa menjadi berdampak negatif bagi agama dan
penganutnya. Untuk itu, lebih baik disembunyikan saja.
Disinilah
letak keberanian seorang Djarot yang saya sebut di atas. Disaat isu sara dan primordialitas
menguasai, maka situasi dilingkungan rumah ibadahpun tak lagi damai, akan
tetapi sebaliknya, yaitu situasi mencekam dan menakutkan.
Tercatat
dua kali kejadian pengusiran terjadi terhadap pak Djarot. Apa yang dialami
secara langsung oleh pak Djarot ini adalah merupakan konsekuensi dari misi
berani untuk mengungkap politisasi yang terjadi di rumah ibadah, untuk kemudian
diangkat ke permukaan publik. Alhasil, mediapun ramai-ramai menyorotinya.
Kitapun sadar betapa massive-nya
politisasi yang terjadi di dalam rumah ibadah.
Pengusiran
seorang umat dari rumah ibadahnya sendiri adalah bentuk nyata betapa buruk dan
jahatnya dampak yang diakibatkan oleh perilaku politisasi agama dan rumah
ibadah.
Pak
Djarot mengambil resiko itu. Dilempari botol minuman kemasan, dicaci maki dan
diteriaki munafik, kafir dan lain-lain adalah resiko yang harus dihadapi dan
diterima dalam memberikan sebuah bukti dan fakta politisasi yang terjadi di
rumah ibadah kepada masyarakat luas melalui media-media yang menerbitkan
beritanya.
Mungkin
masyarakat tak akan percaya jika fakta ini hanya diungkapkan dengan kata-kata semata
tanpa pembuktian secara langsung, apalagi itu keluar dari mulut seorang
politikus yang saat ini saedang bertarung memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Itu
terasa mustahil dan akan dianggap sebagai omong kosong belaka untuk mendapat
simpatik masyarakat.
Berita-berita
di media massa yang didukung oleh video live dari lokasi kejadian menjadi bukti
yang tidak terbantahkan.
Lalu
pertanyaannya, siapakah yang melakukan politisasi di dalam rumah ibadah itu? Untuk
menjawabnya, silahkan tonton sendiri videonya yang sudah banyak tersebar di
internet berikut ini. Dari sana, anda akan menemukan simbol-simbol tersembunyi,
dan melalui simbol itupulalah anda akan mengetahui siapa pelaku sebenarnya.
Berikut
saya sajikan salah satu video kejadian saat pak Djarot diusir dari Mesjid di
daerah Tebet, Jakarta Selatan pada tanggal 14 April 2017 kemarin. Cekidot...
Klik link ini : https://www.facebook.com/benarsinambela/videos/704626866411021/
Ini
cuplikan kalimat yang keluar dari mulut para pelaku pengusiran terhadap pak
Djarot. Saya ambil dari media nasional detik[dot]com.
"Mereka yang memilih pemimpin seorang Nasrani atau Yahudi itu orang munafik. Bila kita memilih orang nonmuslim, sementara ada orang muslim sebagai pilihan, itulah kita dicap jadi seorang munafik" - warga pelaku pengusiran -
Anda
bisa saja mengatakan kalau itu diluar kontrol si calon, akan tetapi, bukankah
perilaku pendukung merupakan gambaran dari karakter si calon? Itu adalah hal
yang masuk akal. Jika sebelumnya calonnya tegas menolak politisasi rumah
ibadah, tak mungkin hal rendah seperti itu terjadi dirumah ibadah yang
seharusnya menjadi tempat yang damai untuk semua para penganutnya.
Lalu,
bagaimana respon pak Djarot setelah mengalami perlakuan tidak terhormat itu?
Apakah membalas dengan emosi? Tentu tidak, tetapi dengan senyum ramah dan penuh
kesabaran. Itu adalah sikap yang sangat bijaksan. Berikut saya beri cuplikan
komentarnya.
"Saya sejak dari dalam sudah maafkan. Nggak apa-apa. Ini sih ringanlah nggak begitu berat" – Djarot –
Kemudian
ditambahkan dengan mengatakan ini.
"Sebab itu, saya berdoa supaya diberikan betul hidayah dalam dirinya, pencerahan dalam dirinya, sehingga pola pikirnya tidak sempit dan tidak picik" – Djarot –
Selanjutnya,
beliau mengatakan ini.
"Itulah bentuk yang saya sebutkan politisasi Masjid" – Djarot –
Anda
memikirkan sesuatu? Yappp... Kini pak Djarot berhasil mengungkap politisasi
rumah ibadah di Jakarta secara gamblang dan meyakinkan sesuai dengan
fakta-fakta dilapangan.
Semoga
kejadian ini bisa memberi pembelajaran untuk kita semua, agar kedepan tidak
lagi main-main dengan mencampurkan agama dan politik.
EmoticonEmoticon