Friday, April 14, 2017

Mengungkap Politisasi Rumah Ibadah Ala Pak Djarot

Sumber Foto : Detik[dot]com
Siporsuk Na Mamora - Mungkin tak banyak orang yang melihat sisi keberanian seorang pak Djarot dibalik keramahan dan mudah senyumnya. Dan sudah seharusnya kita melihat itu sekarang.
Jalan panjang menuju Indonesia yang bebas dari politisasi agama tentu belum berhenti sampai disini saja. Penggunaan isu sara dalam Pilkada DKI Jakarta adalah sebagian kecil dari keseluruhan maraknya penggunaan isu-isu sara yang bercokol di daerah-daerah yang jauh dari sorotan media massa.
Spertinya, sara adalah konsumsi empuk yang sangat mudah ditelan bulat-bulat oleh masyarakat yang cenderung masih jauh dari pendidikan dan pemahaman demokrasi sesungguhnya.
Disamping itu, menjual isu sara dan primordialisme terbilang memiliki cost politik yang lebih sedikit dibandingkan dengan menjual isu-isu lain, seperti gagasan dan program.
Umur kemerdekaan yang tergolong masih sangat muda adalah sebagai salah satu faktor lambatnya laju penyebaran paham demokrasi yang sesungguhnya dikalangan masyarakat Indonesia.
Sara dan primordialisme masih susah dikikis. Hal ini semakin susah karena pada kenyataannya kita adalah bangsa yang sangat beragam, mulai dari suku hingga agama.
Presiden Jokowi, melalui ceramahnya di Kota Barus pada saat peresmian Tugu Titik 0 Islam Nusantara bulan Maret lalu turut menjadi sasaran akibat pernyataannya tentang pemisahan politik dan agama. Tak hanya dari masyarakat awam, beliau juga dikritik banyak politikus, seperti DPR RI dan tokoh-tokoh agama.
Banyaknya politikus yang memiliki ambisi tinggi untuk berkuasa lagi-lagi membawa kita pada kemunduran demokrasi akibat penjualan isu-isu sara dan primordialis. Karena ambisiusnya, mereka tak memikirkan dampak besar yang akan muncul akibat kelakuan mereka. Bagi mereka yang penting bisa menang dan berkuasa.
Pilkada DKI Jakarta telah membuka mata kita melihat kenyataan bahwa kita masih jauh dari kata "dewasa" dalam berpolitik. Isu sara jelas akan merongrong persatuan bangsa dan negara. Keahlian dan profesionalitas seorang pemimpinpun tak lagi laku dikala isu sara dan primordialisme menguasai panggung politik. Gagasan dan programpun ikut tenggelam olehnya, dalam artian tidak laku dijual sama sekali kepada masyarakat yang telah terkontaminasi isu-isu sara dan primordialisme. Yang ada kemudian adalah paham "yang penting satu agama, atau yang penting satu suku". Sungguh bahaya sekali.
Penyebaran isu sara dan primordialismepun dilancarkan melalui mimbar-mimbar suci di rumah ibadah. Sungguh, ini adalah kenyataan yang tidak enak dipandang mata dan didengar telinga. Tak banyak yang berani mengungkapnya secara gamblang dihadapan publik, karena hal itu bisa menjadi berdampak negatif bagi agama dan penganutnya. Untuk itu, lebih baik disembunyikan saja.
Disinilah letak keberanian seorang Djarot yang saya sebut di atas. Disaat isu sara dan primordialitas menguasai, maka situasi dilingkungan rumah ibadahpun tak lagi damai, akan tetapi sebaliknya, yaitu situasi mencekam dan menakutkan.
Tercatat dua kali kejadian pengusiran terjadi terhadap pak Djarot. Apa yang dialami secara langsung oleh pak Djarot ini adalah merupakan konsekuensi dari misi berani untuk mengungkap politisasi yang terjadi di rumah ibadah, untuk kemudian diangkat ke permukaan publik. Alhasil, mediapun ramai-ramai menyorotinya. Kitapun sadar betapa massive-nya politisasi yang terjadi di dalam rumah ibadah.
Pengusiran seorang umat dari rumah ibadahnya sendiri adalah bentuk nyata betapa buruk dan jahatnya dampak yang diakibatkan oleh perilaku politisasi agama dan rumah ibadah.
Pak Djarot mengambil resiko itu. Dilempari botol minuman kemasan, dicaci maki dan diteriaki munafik, kafir dan lain-lain adalah resiko yang harus dihadapi dan diterima dalam memberikan sebuah bukti dan fakta politisasi yang terjadi di rumah ibadah kepada masyarakat luas melalui media-media yang menerbitkan beritanya.
Mungkin masyarakat tak akan percaya jika fakta ini hanya diungkapkan dengan kata-kata semata tanpa pembuktian secara langsung, apalagi itu keluar dari mulut seorang politikus yang saat ini saedang bertarung memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Itu terasa mustahil dan akan dianggap sebagai omong kosong belaka untuk mendapat simpatik masyarakat.
Berita-berita di media massa yang didukung oleh video live dari lokasi kejadian menjadi bukti yang tidak terbantahkan.
Lalu pertanyaannya, siapakah yang melakukan politisasi di dalam rumah ibadah itu? Untuk menjawabnya, silahkan tonton sendiri videonya yang sudah banyak tersebar di internet berikut ini. Dari sana, anda akan menemukan simbol-simbol tersembunyi, dan melalui simbol itupulalah anda akan mengetahui siapa pelaku sebenarnya.
Berikut saya sajikan salah satu video kejadian saat pak Djarot diusir dari Mesjid di daerah Tebet, Jakarta Selatan pada tanggal 14 April 2017 kemarin. Cekidot...
Ini cuplikan kalimat yang keluar dari mulut para pelaku pengusiran terhadap pak Djarot. Saya ambil dari media nasional detik[dot]com.
"Mereka yang memilih pemimpin seorang Nasrani atau Yahudi itu orang munafik. Bila kita memilih orang nonmuslim, sementara ada orang muslim sebagai pilihan, itulah kita dicap jadi seorang munafik" - warga pelaku pengusiran - 
Anda bisa saja mengatakan kalau itu diluar kontrol si calon, akan tetapi, bukankah perilaku pendukung merupakan gambaran dari karakter si calon? Itu adalah hal yang masuk akal. Jika sebelumnya calonnya tegas menolak politisasi rumah ibadah, tak mungkin hal rendah seperti itu terjadi dirumah ibadah yang seharusnya menjadi tempat yang damai untuk semua para penganutnya.
Lalu, bagaimana respon pak Djarot setelah mengalami perlakuan tidak terhormat itu? Apakah membalas dengan emosi? Tentu tidak, tetapi dengan senyum ramah dan penuh kesabaran. Itu adalah sikap yang sangat bijaksan. Berikut saya beri cuplikan komentarnya.
"Saya sejak dari dalam sudah maafkan. Nggak apa-apa. Ini sih ringanlah nggak begitu berat" – Djarot –
Kemudian ditambahkan dengan mengatakan ini.
"Sebab itu, saya berdoa supaya diberikan betul hidayah dalam dirinya, pencerahan dalam dirinya, sehingga pola pikirnya tidak sempit dan tidak picik" – Djarot –
Selanjutnya, beliau mengatakan ini.
"Itulah bentuk yang saya sebutkan politisasi Masjid" – Djarot –
Anda memikirkan sesuatu? Yappp... Kini pak Djarot berhasil mengungkap politisasi rumah ibadah di Jakarta secara gamblang dan meyakinkan sesuai dengan fakta-fakta dilapangan.
Semoga kejadian ini bisa memberi pembelajaran untuk kita semua, agar kedepan tidak lagi main-main dengan mencampurkan agama dan politik.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon