Trimedya Panajaitan |
Siporsuk
Na Mamora – Membahas
Sumatera Utara memang tak ada habis-habisnya. Daerah yang masuk dalam kategori
5 besar provinsi terkorup ini punya julukan yang unik. SUMUT – Semua Urusan
Mesti Uang Tunai – sangat kental dengan budaya korup dalam hal urusan-urusan
apapun, terlebih pemerintahannya. Entah kenapa bisa begitu.
Kepala daerah, pejabat dan wakil
rakyatnya hampir rata terkena kasus korupsi.
Hari ini sedang hangat dibicarakan
tentang politik, pemilihan kepala daerah Sumatera Utara. Beberapa teman
bertanya-tanya kepada saya, “Bang... Siapa calon yang cocok abang lihat?,
Bang... Kau buatlah dulu tulisan tentang pilgub kita ini bang...! dan Bang...
Abang kader cipayung yang menolak Sumut jadi Paten ya? Eh... *maaf salah ketik.”
Tidak mudah memang melihat dan
mengenal lebih jauh sosok-sosok yang muncul hari ini kepermukaan, baik yang
sudah secara resmi mendeklarasikan dirinya sebagai calon gubernur maupun yang
masih malu-malu namun baliho dan spanduknya mengotori pemandangan di jalanan
kota sampai pedesaan.
Disini, di Sumut ada istilah paling
akrab terdengar jika sudah dekat-dekat pilkada, namanya KETUA. Ada juga profesi
baru yang muncul, yaitu RO (Raja Olah).
Orang-orang ini (Ketua/RO) ini
punya gerakan yang tak kalah terorganisirnya dan tersistematisnya dengan
kelompok saracen. Tak kalah berbisa juga dengan ular. Mereka menebar proposal dan
bahkan menjual kepala-kepala sumbang kepada calon mana saja. Ada yang meng-klaim
massa di belakangnya ada 2.000 orang, meski dia datang hanya sendirian. Mereka
juga berlomba makan malam bersama para calon-calon kepala daerah yang maju.
Melihat dan mengenali mereka-mereka
ini sangat mudah, lihat saja calon yang berduit, disitulah kumpul semua para
ketua dan raja olah ini.
Para ketua, raja olah inilah
kabarnya turut serta membuat ongkos pilkada jadi lebih mahal di Sumut seperti
yang dikatakan oleh bang Trimedya Panjaitan.
Tak kalah juga dengan
masyarakatnya, yang sedari dulu sudah apatis dengan perbaikan daerah ini.
Pernah saya bertemu dengan beberapa
orang, tua dan muda. Mereka tanya, “adong do hepengna? *adanya uangnya?”
Saya lanjutkan bertanya, “kenapa
tanya uangnya?” Mereka bilang, “siapapun yang terpilih nanti, takkan
berpengaruh pada kami.”
Fix, jika mau di pilih, Anda harus terlebih
dulu kasih uang. Ini strategi menang mencalon apapun di Sumut, termasuk jadi
kepling, kades dan lain-lain yang harus dipilih.
Momen-momen ini sangat ditunggu, sebagai
rejeki nomplok. Hitung-hitungannya sederhana, Anda punya 5 orang di rumah yang
punya hak suara (dikali) jumlah uang yang diterima dari setiap calon (dikali)
jumlah calon.
Misal (perkiraan) : 5 x Rp 100.000 x 4 orang = Rp 2.000.000. Ini hanya
pendapatan pas saat serangan fajar saja.
Logika bang Trimedya memang ada
benarnya. Tak perlu kita melawan atau mengecamnya, apalagi mengait-ngaitkannya
dengan Partai pak Jokowi sang Presiden RI, karena yang beliau katakan adalah
kondisi yang sebenarnya terjadi di Sumut. Inilah kenyataan demokrasi kita,
ongkosnya tinggi.
Yang paling penting kita lihat
adalah dampak dari perilaku masyarakat kita. Pahamilah : Jika Anda harus mengeluarkan
uang Rp 30 M saat pilkada, lantas darimana Anda akan memperolehnya kembali
kalau bukan dari uang korupsi APBD? Atau uang sogok untuk menjadi kadis ataupun
jabatan strategis lainnya? Inilah akibat dari budaya menerima uang dari calon
kepala daerah.
Jika sudah kita pahami akar persoalannya,
lantas masih mau kah kita menerima uang dari calon kepala daerah di Sumut? Kufikir
perbuatan itu sama saja menjual harga diri anda sendiri. Jangan sampai Anda di sematkan
sebutan, “kepalamu hanya seharga 1 kilo daging babi!”
Kita perlu pembuktian untuk melawan
perkataan bang Trimedya ini, bahwa tak selamanya calon yang punya uang banyak itu
yang akan menang! Kita buktikan bahwa pemenang Pilgub Sumut 2018 kedepannya adalah orang
yang benar-benar punya kompetensi, melayani, nasionalis dan tidak korupsi.
Salam sada roha dari Anak Medan. HORAS!
EmoticonEmoticon