Saturday, September 9, 2017

Uang & Calon Gubernur Sumut

Tags

Trimedya Panajaitan

Siporsuk Na Mamora – Membahas Sumatera Utara memang tak ada habis-habisnya. Daerah yang masuk dalam kategori 5 besar provinsi terkorup ini punya julukan yang unik. SUMUT – Semua Urusan Mesti Uang Tunai – sangat kental dengan budaya korup dalam hal urusan-urusan apapun, terlebih pemerintahannya. Entah kenapa bisa begitu.
Kepala daerah, pejabat dan wakil rakyatnya hampir rata terkena kasus korupsi.
Hari ini sedang hangat dibicarakan tentang politik, pemilihan kepala daerah Sumatera Utara. Beberapa teman bertanya-tanya kepada saya, “Bang... Siapa calon yang cocok abang lihat?, Bang... Kau buatlah dulu tulisan tentang pilgub kita ini bang...! dan Bang... Abang kader cipayung yang menolak Sumut jadi Paten ya? Eh... *maaf salah ketik.”
Tidak mudah memang melihat dan mengenal lebih jauh sosok-sosok yang muncul hari ini kepermukaan, baik yang sudah secara resmi mendeklarasikan dirinya sebagai calon gubernur maupun yang masih malu-malu namun baliho dan spanduknya mengotori pemandangan di jalanan kota sampai pedesaan.
Disini, di Sumut ada istilah paling akrab terdengar jika sudah dekat-dekat pilkada, namanya KETUA. Ada juga profesi baru yang muncul, yaitu RO (Raja Olah).
Orang-orang ini (Ketua/RO) ini punya gerakan yang tak kalah terorganisirnya dan tersistematisnya dengan kelompok saracen. Tak kalah berbisa juga dengan ular. Mereka menebar proposal dan bahkan menjual kepala-kepala sumbang kepada calon mana saja. Ada yang meng-klaim massa di belakangnya ada 2.000 orang, meski dia datang hanya sendirian. Mereka juga berlomba makan malam bersama para calon-calon kepala daerah yang maju.
Melihat dan mengenali mereka-mereka ini sangat mudah, lihat saja calon yang berduit, disitulah kumpul semua para ketua dan raja olah ini.
Para ketua, raja olah inilah kabarnya turut serta membuat ongkos pilkada jadi lebih mahal di Sumut seperti yang dikatakan oleh bang Trimedya Panjaitan.
Tak kalah juga dengan masyarakatnya, yang sedari dulu sudah apatis dengan perbaikan daerah ini.
Pernah saya bertemu dengan beberapa orang, tua dan muda. Mereka tanya, “adong do hepengna? *adanya uangnya?”
Saya lanjutkan bertanya, “kenapa tanya uangnya?” Mereka bilang, “siapapun yang terpilih nanti, takkan berpengaruh pada kami.”
Fix, jika mau di pilih, Anda harus terlebih dulu kasih uang. Ini strategi menang mencalon apapun di Sumut, termasuk jadi kepling, kades dan lain-lain yang harus dipilih.
Momen-momen ini sangat ditunggu, sebagai rejeki nomplok. Hitung-hitungannya sederhana, Anda punya 5 orang di rumah yang punya hak suara (dikali) jumlah uang yang diterima dari setiap calon (dikali) jumlah calon.
Misal (perkiraan) : 5 x Rp 100.000 x 4 orang = Rp 2.000.000. Ini hanya pendapatan pas saat serangan fajar saja.
Logika bang Trimedya memang ada benarnya. Tak perlu kita melawan atau mengecamnya, apalagi mengait-ngaitkannya dengan Partai pak Jokowi sang Presiden RI, karena yang beliau katakan adalah kondisi yang sebenarnya terjadi di Sumut. Inilah kenyataan demokrasi kita, ongkosnya tinggi.
Yang paling penting kita lihat adalah dampak dari perilaku masyarakat kita. Pahamilah : Jika Anda harus mengeluarkan uang Rp 30 M saat pilkada, lantas darimana Anda akan memperolehnya kembali kalau bukan dari uang korupsi APBD? Atau uang sogok untuk menjadi kadis ataupun jabatan strategis lainnya? Inilah akibat dari budaya menerima uang dari calon kepala daerah.
Jika sudah kita pahami akar persoalannya, lantas masih mau kah kita menerima uang dari calon kepala daerah di Sumut? Kufikir perbuatan itu sama saja menjual harga diri anda sendiri. Jangan sampai Anda di sematkan sebutan, “kepalamu hanya seharga 1 kilo daging babi!”
Kita perlu pembuktian untuk melawan perkataan bang Trimedya ini, bahwa tak selamanya calon yang punya uang banyak itu yang akan menang! Kita buktikan bahwa pemenang Pilgub Sumut 2018 kedepannya adalah orang yang benar-benar punya kompetensi, melayani, nasionalis dan tidak korupsi.
Salam sada roha dari Anak Medan. HORAS!

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon