Monday, May 7, 2018

Para Pengikut Ormas Radikal dan Terlarang Menyatu di Partai PBB

Tags

HTI Ormas Terlarang di Indonesia
Hari ini, Senin (7/5/2018) adalah hari yang menyenangkan bagi orang-orang yang mendukung pembubaran ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dikarenakan hari ini adalah hari dimana PTUN Jakarta memutuskan menolak semua permohonan HTI untuk menarik/membatalkan SK Menkumham tentang pembubaran ormas HTI. Dengan begitu, posisi SK Menkumham sekarang semakin kuat dimata hukum. Mendukung pembubaran HTI berarti ikut berperan dalam membela dan menjaga keutuhan NKRI yang berideologikan Pancasila dan berdasarkan UUD 1945.
Saya masih ingat betul, betapa pongahnya dan massivenya para anggota HTI dikampus saya kuliah dulu, yaitu Universitas Negeri Medan (Unimed) menyebarkan propaganda dan agitatasi dikalangan mahasiswa, mereka sangat gesit menangkap peluang untuk mencuci otak para mahasiswa baru di tahun akademik baru. Strategi dan metode propaganda dan agitasi yang mereka lakukan sangat beragam, melalui diskusi-diskusi di mushollah/mesjid kampus, di ruang kelas saat jam kuliah kosong dan bahkan melalui penyebaran sapanduk, banner dan stiker yang bahkan lebih mirip dikatakan sebagai alat peraga kampaye anti-Pancasila di lingkungan kampus (tempat khusus pemasangan spanduk, ruang publik tempat berinteraksi para mahasiswa, mading, dll).
Keberadaan mereka lengkap bersama dengan kegiatan-kegiatan mereka sangat mengganggu bagi kami yang memegang tegus ideologi Pancasila, tapi akan sangat riskan bagi kami untuk berbenturan langsung sesama mahasiswa. Kami tau, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena takut menimbulkan gesekan dan akan dituduh rasis serta tidak toleran, terlebih karena saya beragama Nasrani. Mereka selalu mencintrakan diri sebagai orang-orang yang sangat Islami, dan mewakili Islam secara keseluruhan.
Pada waktunya, kita sadar, bahwa kelompok ini adalah orang-orang radikal dan tidak ada kaitan dengan agama Islam. “Islam ya Islam, Islam Indonesia yang Nasionalis dan membela Pancasila, mereka itu ormas radikal yang mengatasnamakan Islam untuk memecah dan merusak NKRI dengan ideologi Pancasila.” Begitu kata temanku, seorang muslim nasionalis. Salah pahamku akhirnya terjawab.
Bentuk aksi dari kegelisahanku itu saya implementasikan kepada adek-adek saya dalam bentuk diskusi-diskusi bertema wawasan kebangsaan di organisasi yang kala itu saya pimpin. Selain itu, saya juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang memperbanyak interaksi (share ide/gagasan) bersama antara teman-teman beragam organisasi kemahasiswaan. Saya juga berusaha memperkecil ruang, sebisa mungkin untuk memperkecil ruang gerak orang-orang yang saya anggap anggota/simpatisan HTI atau yang pro-khilafah dengan sedikit pengaruh yang aku punya di lingkungan kampus. 
Pernah suatu ketika setelah saya lulus menjadi salah satu pemandu diskusi di kegiatan seminar yang dimotori oleh adek-adek ku yang sedang berkiprah di organisasi kemahasiswaan internal tertinggi di kampus, saat itu sesi diskusi menyinggung radikalisme/anti Pancasila yang tidak mentup kemungkinan terjadi melalui pendakwah oleh para oknum-oknum pendakwah yang sudah masuk ke rumah ibadah, mesjid. Seorang narasumber diskusi, Jenderal pensiunan Polri memberi penjelasan antisipasi hal tersebut terjadi dengan kongkrit, yaitu salah satunya dengan opsi mensertifikasi pendakwah. Dari kursi belakang ruangan seseorang –yang tidak lagi mahasiswa, berpakaian koko dan ber-peci putih– langsung menyahut, bernada marah dan lantang menolak opsi yang disampaikan narasumber, dengan alasan hal itu adalah pengkerdilan dan pembungkaman. Setelah debat berakhir, ketua panitia saya tanya, dia itu siapa? Dan tolong dicek nama dan organisasinya di buku tamu segera! Kepada teman disamping saya juga bertanya, apakah mengenal kelompok tersebut? Teman sayapun menjawab tidak tau, tetapi merasa bahwa orang tersebut sering kelihatan di kampus, mereka ada beberapa orang yang selalu hadir memantau disetiap acara diskusi yang mereka anggap membahas tentang pancasila dan radikalisme. Diakhir acara, ketua panitia melapor kepada saya, bahwa nama dan organisasi orang tersebut tidak ada tercatat di buku daftar peserta seminar. Misterius, tapi kami semua tau bahwa mereka orang-orang pro-khilafah.
Tindakan yang paling jauh, yang pernah saya lakukan bersama teman-teman adalah merobek/mencopot apapun (spanduk dan selebaran) yang berhubungan dengan khilafah atau ormas HTI yang ada di dalam lingkungan kampus tanpa sepengetahuan siapa-siapa, saya dan seorang teman sengaja pulang malam jika ada selebaran yang sangat provokatif dan kami anggap melecehkan Pancasila. Selebaran yang paling saya ingat adalah selebaran banner berukuran A2 & A3 yang didalamnya berisi gambar Pancasila berlumuran darah, disertai tulisan provokativ dengan secara gamblang menghina ideologi Pancasila. Dalam banner itu, kurang lebih mereka mengatakan, “Pancasila adalah pembodohan, kezaliman dan sumber kehancuran bangsa, khilafah adalah solusi menyelamatkan umat.” Begitulah isi banner yang buat saya begitu emosi dan memaksa saya keluar dari sikap yang sebelumnya selalu berusaha menahan diri dan sembari menunggu tindakan atau larangan resmi dari pihak rektorat kampus yang tak kunjung pernah terjadi sampai saya lulus.
Kisah di atas adalah sebagian kecil dari keseluruhan yang pernah saya temui dikampus selama menjadi mahasiswa. Saya yakin, propaganda dan agitasi serta anggota-anggota HTI banyak tumbuh dan berkembang di kampus-kampus negeri diseluruh Indonesia.
Tahun 2017 lalu, saat Menkumham menerbitkan SK pembubaran ormas HTI, saya salah satu yang paling mengapresiasi keputusan pemerintahan Jokowi tersebut, puas rasanya, karena keputusan itu sangat mewakili aspirasiku yang lama sudah kutunggu-tunggu. Dengan demikian, mulai saat itu, maka sah organisasi tersebut menjadi organisasi yang tidak diakui oleh Negara alias terlarang! Kampus-kampus diseluruh Indonesia juga kedepannya pasti akan tegas menindak mahasiswa yang terlibat dengan ormas terlarang HTI.
Keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI dicap para pengikutnya sebagai perbuatan zalim, diktator, anti demokrasi dan anti Islam. HTI –setelah keluar SK pembubaran– dengan kata lantang juga berkata bahwa mereka bukan anti-Pancasila dan anti-Demokrasi, seolah menyangkal semua aksi-aksi nyata mereka selama ini yang berniat mengganti ideologi Pancasila dan mengharamkan Demokrasi. Hatikupun berkata, “setelah di musnahkan kok tiba-tiba teriak pro-Pancasila dan pro-Demokrasi? Kepongahan dan wajah garang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dulu tiba-tiba berubah menciut dan merengek meminta dikasihani oleh Negara. Tapi tetap saja, pemerintahan Jokowi tegas pada keputusan yang telah dikeluarkannya melalui Menkumham.
Akan tetapi, apakah dengan semua upaya-upaya yang dilakukan pemerintah akan secara otomatis upaya HTI dalam menjalankan tujuannya –mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah dan mengharankan Demokrasi– akan berhenti? Kelihatannya tidak!
Gerakan HTI adalah gerakan ideologi. Mereka meyakini bahwa menegakkan khilaah di Indonesia yang mereka lakukan adalah aktivitas jihad, oleh karena itu mereka memiliki anggota dan simpatisan yang militan, tahan banting dan jumlahnya cukup banyak, dari pusat hingga pelosok. Terlebih jaringannya yang kuat dan sumber pendanaan yang besar. Mereka senantiasa akan mencari cara bagaimana untuk tetap eksis dengan tujuan yang sama –mengganti Pancasila dengan khilafah– namun bentuk/nama berbeda.
Lihatlah, mereka yang dulu mengharamkan Demokrasi, tetapi sekarang tak malu mau ikut serta dalam pemilu 2019 dengan mendukung dan bergabung ke salah satu partai politik peserta pemilu 2019, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) yang diketuai Yusril Ihza Mahendra. Hal ini diungkapkan oleh Ismail Yusanto juru bicara eks HTI pada hari Senin (7/5/2018) seusai sidang di PTUN Jakarta kepada wartawan yang dirilis di media detik[dot]com. “HTI mendukung PBB,” ucapnya.
Setidaknya, dalam pantauan penulis di berita-berita media mainstream, eks HTI bukanlah salah-satunya ormas radikal yang menyetakan mendukung Partai PBB, ormas lain yang memberi dukungan adalah FPI. Bahkan Habib Rizieq Shihab dan para pengikutnya secara terus menerus mengampayekan agar masyarakat memilih Partai PBB yang mereka sebut sebagai partai umat Islam bersama PKS, Gerindra dan PAN.
Apakah kemudian dengan dukungan eks HTI dan ormas FPI, partai PBB akan berubah menjadi partai radikal dan menjadi jembatan sebagai jalan untuk melanjutkan usaha-usaha dan cita-cita HTI untuk mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah?
Kita tau, bahwa eks HTI tidak akan berhenti sampai disini. Perlu sekali kita semua mewaspadai gerakan-gerakan anti-Pancasila eks HTI dalam bentuk, cara dan metode gaya baru. Salah satunya dengan cara masuk dan berada di dalam parlemen melalui partai peserta pemilu 2019, lalu kemudian dari dalam mereka merongrong Pancasila.
Peran penting pemerintah dalam membina, merangkul dan kembali menanamkan nilai-nilai ideologi Pancasila kepada eks anggota HTI sangat dibutuhkan, agar senantiasa mereka tetap berada dalam koridor-koridor hukum yang berlandaskan ideologi Pancasila dan UUD 45.
Salam sada roha dari Anak Medan.
h o r a s !

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon