Jokowi saat wawancara Katadata.com |
Suatu hal yang lumrah terjadi pada
politikus-politikus kita, menunda-nunda keputusan atas pertimbangan keuntungan politik,
takut tidak di dukung lagi, takut ini dan takut itu. Akhirnya tak ada kebijakan
yang jadi.
Ada juga politikus yang bahkan
melakukan pelanggaran hukum demi memenuhi kepentingan kelompok/konstituen
pendukungnya, agar apa? Agar dukungan politik tidak beralih ke lain hati dan
berharap akan dikatakan sebagai orang yang "tepati" janji politik.
Contohnya siapa? Salah satunya adalah Gabener di DKI Jakarta yang memfasilitasi
PKL berdagang di badan jalan. Penakut, naïf dan penuh pencitraan, banyak lagi
contoh politikus yang bermental beginian, silahkan infentarisir aja...
Itulah gambaran mental politikus
kita, semua masih bertumpu pada kepentingan dan keuntungan pribadi,
individualistis dan susah mengambil keputusan yang bermanfaat untuk umum walau
secara hitung-hitungan politik akan merugikan pribadinya. Tidak pernah mau
berkorban demi kepentingan umum.
Apa-apa, hitung-hitungannya selalu
politik, pencitraan. Tunggu ini, tunggu itu dan apa keuntungannya untukku?
Sementara berfikir begitu, kita sudah ketinggalan. Pada akhirnya masyarakat
yang dikorbankan.
Lebih parah lagi, politikus di
Indonesia takkan pernah mengakui kehebatan lawan politiknya. Kalau bisa, apapun
dicari untuk menyerang, mata, hati dan pikirannya tak bisa lagi jernih untuk
memandang sesuatu yang baik yang dilakukan pihak lawan politiknya. Mirip
seperti kelakuan seseorang yang sudah jadi mantan. Ibu Sri Mulyani menyebut
politikus jenis begini sebagai orang-orang yang hidupnya seperti katak dalam
tempurung.
Memang benarlah, bahwa kekuasaan itu
silau.
Pandangan dan mental politikus yang
seperti ini harus diperbaharui dan diluruskan, kalau tidak kita takkan pernah
maju, bangas kita akan keburu hilang kesempatan. Itu kata Presiden Jokowi.
Jokowi telah memulainya, menjadi
presiden yang tetap pada pendirian dan kebijakannya meski banyak rintangan dari
lawan politik. Dihina, dihujat dan difitnah telah menjadi makanannya sejak dilantik
menjadi presiden RI. Sudah terbiasa, kebijakannya dikritik dengan bumbu “fitnah”
yang mendominasi dan cenderung tanpa data.
Katakanlah seperti kebjijakan
bagi-bagi sertifikasi tanah ke masyarakat, Amien Rais mengatakannya sebagai
kebijakan “pengibulan” masyarakat. Ada lagi, seperti Prabowo yang mengatakan “Indonesia
bubar tahun 2030” dengan data fiksi, cenderung, apatis dan untuk menakut-nakuti
masyarakat. Lain lagi Fadli Zon dan Fahri Hamzah dengan mulut ember dan penuh
kebenciannya selalu menyerang Jokowi, bahkan dengan menghalalkan cara fitnah
dan menyebar berita hoaks di media sosial, baik tentang hutang, pembangunan
infrasutruktur dan isu-isu yang paling hangat adalah tentang tenaga kerja asing
(TKA). Yang paling parah adalah isu yang menuduh Jokowi antek asing, aseng dan
berlatar belakang keluarga komunis.
Seorang Prabowo baru-baru ini
berjanji meningkatkan kesejahteraan buruh dan menolak TKA, padahal di
perusahaannya sendiri pun buruhnya terlantar, tidak digaji dan sampai hari ini
masih menuntut pembayaran gaji. Kemudian, ternyata di perusahaan yang Prabowo
miliki banyak memperkerjakan TKA. Lalu apa artinya janji politik kepada ribuan
buruh sementara pekerja di perusahaannya sendiri tidak bisa disejahterakan, dan
perusahaannya masih memakai tenaga TKA. Ini murni hanya untuk kepentingan politik
untuk Pilpres 2019 saja, seperti rumah DP 0 dan OKE-OCEnya Anies-Sandy di
Pilgub DKI Jakarta yang sampai kini entah dimana kelanjutan dan wujudnya kita tidak
pernah lihat, bahkan nyaris tidak terdengar lagi.
Ketika bangsa ini dipenuhi oleh
politikus-politikus yang seperti di atas, maka akan terasa aneh melihat seorang
politikus seperti Jokowi. Sejak awal terjun di dunia politik, beliau terlihat
sangat cuek dengan isu-isu yang menerpa dirinya, jikapun harus ditanggapi
dengan kata-kata, palingan dengan cara bercanda saja. Selebihnya dia tanggapi
dengan lebih giat lagi bekerja, sampai lawan politiknya jengkel dan merasa
dikacangin.
Jokowi, model politikus yang
benar-benar tidak peduli dengan isu-isu politik yang menyudutkan dirinya, dan tak
pernah terpengaruh sedikitpun dengan niatnya yang tulus bekerja untuk rakyat.
Beliau selalu yakin dengan kebijakan dan keputusannya. Mungkin karena niatannya
memang benar-benar tulus.
Cara berpolitik Jokowi adalah antitesa
dari cara-cara lama dan sudah usang. Hasilnya benar-benar lebih baik dan lebih
berdaya guna untuk kemajuan demokrasi, bangsa dan negara kita.
Simpelnya, “kerjakanlah sesuatu
dengan baik dan benar, maka yakinlah kesuksesan akan menghapirimu” kataku
gegitu. Berpolitiklah dengan santun, jujur dan optimis. Jangan balut citramu
dengan penuh kebohongan dan kemunafikan hanya demi ambisi politik semata.
Salam sada roha dari Anak Medan.
h o r a s !
EmoticonEmoticon