Mesjid Al-Jihad Sunggal, Medan |
Minus
3 (tiga) hari menjelang hari pencoblosan Pilkada Serentak 2018, yakni tepatnya
akan dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2018, hari ini (24/6/2018), tepat pada
sore hari, secara kebetulan saya berkeliling Kota Medan, tepatnya di daerah
Sunggal. Saya menyaksikan bebrapa orang, sambil menenteng spanduk di atas kreta
(motor) di beberapa Mesjid tengah memasang spanduk bertuliskan berupa ajakan
sholat shubuh berjemaan pada tanggal 27 Juni 2018, tepat di subuh hari-H
pencoblosan Pilkada Serentak 2018, dan sambil lewat kea rah yang lain, saya
menyaksikan beberapa Mesjid sudah ramai dengan spanduk yang sama.
Dibeberapa
Mesjid yang berhasil saya publikasikan, sudah terpasang spanduk bertuliskan,
“Mari Sholat Subuh Berjemaah di Mesjid Serentak 27 Juni 2018” dan disertai
dengan tulisan dibawahnya “Dari Mesjid ke TPS Insya Allah Berkah” disertai
dengan pesan “Golput Haram” di sisi paling kiri spanduk. Pada sisi bawah kiri
spanduk, turut dicantumkan 3 logo organisasi yang -kemungkinan besar- adalah
merupakan kelompok yang menginisiasi kegiatan ini.
Spanduk-spanduk
yang sejenis seperti di atas, masing-masing terpasang antara lain di Mesjid
As-Siddiq Sunggal (Belakang PDAM Tirtanadi Sunggal), Mesjid Al-Ikhwan, Sunggal
(Jl. Sunggal, No. 222 Medan), Mesjid Nurul Huda (Jl. Sei Serayu No. 38 Medan)
dan Mesjid Al-Jihad (Jl. Sunggal No. 129 Medan).
Selain
itu, dibeberapa Mesjid juga turut disertai dengan spanduk bertuliskan “Larangan
Memilih/Mengangkat Kafir Sebagai Pemimpin” seperti halnya yang terpampang jelas
di Medjid Al-Jihad yang beralamat di Jalan Sunggal, Nomor 129 Medan.
Saya
teringat beberapa hari terakhir ini, Sumatera Utara sedang ramai
memperbincangkan tentang spanduk maraknya politisasi agama dan rumah ibadah,
juga mengenai e-banner “Tamasya Al Maidah 51 Sumatera Utara” yang viral di
media sosial, dan yang terakhir adalah baliho berisi larangan memilih kafir
sebagai pemimpin. Lamunanku tertuju pada pilkada DKI Jakarta tahun lalu, hal yang
sangat dengan pola-pola pilkada di DKI Jakarta ternyata dilakukan di Sumatera
Utara, Provinsi ku tercinta yang adalah miniature Indonesia dan tolak ukur
keberagaman Indonseia ada di sini, provinsi yang akrab disebut “Negeri
Berbilang Kaum” kini mau dirusak oleh tangan-tangan yang haus kekuasaan, haus
jabatan, sehingga rumah ibadah dan agama pun diperalat. Pola ini dulu
dijalankan dengan memobilisasi messa dari penjuru daerah untuk datang ke DKI
Jakarta, dengan modus “Tamasya Al-Maidah 51” pada subuh hari ke Mesjid, tepat
di hari-H pelaksanaan Pilkada.
Pengalaman
di DKI Jakarta, dan kini terbwa-bawa sebagai taktik merebut suara di Sumut
tentunya membuat hati merasa teriris, dalam hatiku, “kita gagal menjaga
martabat Sumut sejak suksesi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ini, maka,
martabat apa yang ingin kita capai kedepan jika pemimpinnya dihasilkan
pola-pola kampanye yang beginian?”. Kata mantan politikus Gerindra Mohammad
Nuruzzaman, “Gerindra pakai SARA demi kekuasaan” telah kelewatan batasnya.
Partai Gerindra, bersama PKS dituding kerap melakukan politisasi SARA demi
meraih kekuasaan. Tentu saja hal ini akan merusak k-Bhinnekaan kita, dan sangat
berbahaya buat masa depan NKRI.
Tidak
ada pihak yang berhasil dikonfirmasi perihal maksud dan tujuan dari penyebaran
spanduk, serta kegiatan yang akan dilaksanakan pada subuh hari bertepatan
sebelum pencoblosan Pilkada Serentak 2018 ini. Dan tidak ada pulak calon yang
mengaku berada dibaliknya.
Hanya
saja, kita semua berhak berasumsi bahwa calon dari partai yang kerap melakukan
politisasi SARA demi merebut kekuasaanlah yang kemungkinan besar melakukannya. Ditambah
lagi dengan membandingkan kejadian serta tingkah dan pola kampanye calon-calon
yang ada. Maka dari situ, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan. Kalau tidak,
siapa lagi?
Begitulah
rentetannya kalau kita ingin TIDAK SALAH PILIH pemimpin. Artinya, jangan
memilih calon yang melakukan cara-cara yang tidak bermartabat. Bahaya bagi masa
depan daerah dan bangsa kita ini.
Melihat
pengalaman Pilkada DKI Jakarta, masyarakat berharap agar pihak berwajib
menelusuri apa motif dibalik penyebaran spanduk di Mesjid-mesjid tesebut, agar
jauh dari tujuan politis yang tersembunyi didalamnya, sehingga, oleh karenanya
terciptalah pelaksanaan pilkada yang berjalan lancar dan kondusif, serta
menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi yang jujur, adil dan bebas.
Mari
cerdas memilih, berikan suaramu untuk pemimpin yang tepat, demi Sumatera Utara
yang lebih baik, hebat dan maju, serta adil dan makmur 5 (lima) tahun kedepan.
Harapan
itu ada di pasangan calon nomor urut 2 (dua), Djarot Saiful Hidayat – Sihar Sitorus.
Karena sejak awal, mereka telah punya pengalaman, tidak korupsi dan santun
kepada rakyat.
Salam
sada roha dari Anak Medan.
h o r a s !
EmoticonEmoticon