Sunday, June 24, 2018

Sudahilah Politisasi Agama dan Rumah Ibadah, Cara Itu Tidak Bermartabat!

Mesjid Al-Jihad Sunggal, Medan
Minus 3 (tiga) hari menjelang hari pencoblosan Pilkada Serentak 2018, yakni tepatnya akan dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2018, hari ini (24/6/2018), tepat pada sore hari, secara kebetulan saya berkeliling Kota Medan, tepatnya di daerah Sunggal. Saya menyaksikan bebrapa orang, sambil menenteng spanduk di atas kreta (motor) di beberapa Mesjid tengah memasang spanduk bertuliskan berupa ajakan sholat shubuh berjemaan pada tanggal 27 Juni 2018, tepat di subuh hari-H pencoblosan Pilkada Serentak 2018, dan sambil lewat kea rah yang lain, saya menyaksikan beberapa Mesjid sudah ramai dengan spanduk yang sama.
Dibeberapa Mesjid yang berhasil saya publikasikan, sudah terpasang spanduk bertuliskan, “Mari Sholat Subuh Berjemaah di Mesjid Serentak 27 Juni 2018” dan disertai dengan tulisan dibawahnya “Dari Mesjid ke TPS Insya Allah Berkah” disertai dengan pesan “Golput Haram” di sisi paling kiri spanduk. Pada sisi bawah kiri spanduk, turut dicantumkan 3 logo organisasi yang -kemungkinan besar- adalah merupakan kelompok yang menginisiasi kegiatan ini.
Spanduk-spanduk yang sejenis seperti di atas, masing-masing terpasang antara lain di Mesjid As-Siddiq Sunggal (Belakang PDAM Tirtanadi Sunggal), Mesjid Al-Ikhwan, Sunggal (Jl. Sunggal, No. 222 Medan), Mesjid Nurul Huda (Jl. Sei Serayu No. 38 Medan) dan Mesjid Al-Jihad (Jl. Sunggal No. 129 Medan).
Selain itu, dibeberapa Mesjid juga turut disertai dengan spanduk bertuliskan “Larangan Memilih/Mengangkat Kafir Sebagai Pemimpin” seperti halnya yang terpampang jelas di Medjid Al-Jihad yang beralamat di Jalan Sunggal, Nomor 129 Medan.
Saya teringat beberapa hari terakhir ini, Sumatera Utara sedang ramai memperbincangkan tentang spanduk maraknya politisasi agama dan rumah ibadah, juga mengenai e-banner “Tamasya Al Maidah 51 Sumatera Utara” yang viral di media sosial, dan yang terakhir adalah baliho berisi larangan memilih kafir sebagai pemimpin. Lamunanku tertuju pada pilkada DKI Jakarta tahun lalu, hal yang sangat dengan pola-pola pilkada di DKI Jakarta ternyata dilakukan di Sumatera Utara, Provinsi ku tercinta yang adalah miniature Indonesia dan tolak ukur keberagaman Indonseia ada di sini, provinsi yang akrab disebut “Negeri Berbilang Kaum” kini mau dirusak oleh tangan-tangan yang haus kekuasaan, haus jabatan, sehingga rumah ibadah dan agama pun diperalat. Pola ini dulu dijalankan dengan memobilisasi messa dari penjuru daerah untuk datang ke DKI Jakarta, dengan modus “Tamasya Al-Maidah 51” pada subuh hari ke Mesjid, tepat di hari-H pelaksanaan Pilkada.
Pengalaman di DKI Jakarta, dan kini terbwa-bawa sebagai taktik merebut suara di Sumut tentunya membuat hati merasa teriris, dalam hatiku, “kita gagal menjaga martabat Sumut sejak suksesi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ini, maka, martabat apa yang ingin kita capai kedepan jika pemimpinnya dihasilkan pola-pola kampanye yang beginian?”. Kata mantan politikus Gerindra Mohammad Nuruzzaman, “Gerindra pakai SARA demi kekuasaan” telah kelewatan batasnya. Partai Gerindra, bersama PKS dituding kerap melakukan politisasi SARA demi meraih kekuasaan. Tentu saja hal ini akan merusak k-Bhinnekaan kita, dan sangat berbahaya buat masa depan NKRI.
Tidak ada pihak yang berhasil dikonfirmasi perihal maksud dan tujuan dari penyebaran spanduk, serta kegiatan yang akan dilaksanakan pada subuh hari bertepatan sebelum pencoblosan Pilkada Serentak 2018 ini. Dan tidak ada pulak calon yang mengaku berada dibaliknya.
Hanya saja, kita semua berhak berasumsi bahwa calon dari partai yang kerap melakukan politisasi SARA demi merebut kekuasaanlah yang kemungkinan besar melakukannya. Ditambah lagi dengan membandingkan kejadian serta tingkah dan pola kampanye calon-calon yang ada. Maka dari situ, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan. Kalau tidak, siapa lagi?
Begitulah rentetannya kalau kita ingin TIDAK SALAH PILIH pemimpin. Artinya, jangan memilih calon yang melakukan cara-cara yang tidak bermartabat. Bahaya bagi masa depan daerah dan bangsa kita ini.
Melihat pengalaman Pilkada DKI Jakarta, masyarakat berharap agar pihak berwajib menelusuri apa motif dibalik penyebaran spanduk di Mesjid-mesjid tesebut, agar jauh dari tujuan politis yang tersembunyi didalamnya, sehingga, oleh karenanya terciptalah pelaksanaan pilkada yang berjalan lancar dan kondusif, serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi yang jujur, adil dan bebas.  
Mari cerdas memilih, berikan suaramu untuk pemimpin yang tepat, demi Sumatera Utara yang lebih baik, hebat dan maju, serta adil dan makmur 5 (lima) tahun kedepan.
Harapan itu ada di pasangan calon nomor urut 2 (dua), Djarot Saiful Hidayat – Sihar Sitorus. Karena sejak awal, mereka telah punya pengalaman, tidak korupsi dan santun kepada rakyat.
Salam sada roha dari Anak Medan.
h o r a s !

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon