Ilustrasi People Power |
Dagelan
yang paling lucu itu, ketika ada beberapa politikus tua -yang merasa jadi super power- menyerukan untuk presiden
Jokowi meninggalkan kursi RI-1. Pertanyaannya, apa dasarnya?
Mungkin
mereka ingin kekuasaan tanpa usaha dan tanpa dipilih oleh rakyat Indonesia.
Perhelatan
Pemilihan Umum yang adalah the real
people power yang konstitusional telah selesai, namun tak kunjung membuat
para pendukung Prabowo berhenti melempar narasi-narasi yang mengancam persatuan
dan mengancam pemerintahan Jokowi yang sah.
Jauh
sebelum Pemilu sebenarnya warna kampanye Prabowo sudah didesain sedemikan rupa.
Semua sarat dengan narasi kebencian dan berita bohong terhadap lawannya di kubu
Capres petahana 01 Jokowi. Untuk melengkapi, Prabowo juga ditempeli jubah dan
simbol-simbol sosok yang agamais. Lengkap dengan pendukungnya yang eks.HTI
kelompok radikal dan kelompok FPI.
Ketua
Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehari sebelum kampanye
akbar Capres 02 Prabowo Subianto di Gelora Bung Karno (7/4/2019), menyampaikan
protesnya terkait konsep kampanye yang dinilainya tidak sejalan dengan semangat
partai yang dipimpinnya, yaitu semangat Nasionalis dan Religius.
"Saya
pribadi, yang mantan Capres dan mantan Presiden, terus terang tidak suka jika
rakyat Indonesia harus dibelah sebagai "pro Pancasila" dan "pro
Kilafah". Kalau dalam kampanye ini dibangun polarisasi seperti itu, saya
justeru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu
yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya." papar SBY dalam surat
terbukanya yang tersebar di media kala itu (6/4/2019).
Kekhawatiran
SBY tersebut memperjelas konsep politik identitas yang dibangun kelompok
pendukung Prabowo. Mempertebal garis antara "kawan dan lawan",
padahal, kita semua adalah sebangsa dan setanah air. Pemilu hanyalah metode
demokrasi yang bangsa ini tetapkan sebagai media untuk menentukan pemimpinnya.
Sejak
awal masyarakat telah terbelah, terutama dalam pandangan garis besar konsep
politik yang dibangun kedua kubu yang sedang bertanding. Jokowi dengan konsep “Pancasila-Nasionalisnya”,
dan Prabowo dengan konsep religius yang kental dengan para kelompok “pro-khilafah”
nya.
Mempertentangkan
ideologi, antara Pancasila dan ideologi yang lain, atau antar identitas
sebenarnya tidak lagi menjadi konsep untuk menarik dukungan. Karena Pancasila
bagi seluruh warga bangsa ini sudah final. Yang perlu dikedepankan adalah
pertarungan konsep program yang sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia, tanpa terkecuali.
Jauh
sebelum lonceng pertarungan Pemilu dibunyikan oleh KPU, narasi mendiskreditkan
pemerintahan Jokowi sudah ada, yaitu dengan marak dan masivenya gerakan
"#2019GantiPresiden" yang dipelopori politikus PKS Mardani Ali Sera
dan Neno Warisman. Walaupun gerakan tersebut sudah dinyatakan tutup buku, namun
efeknya yang menimbulkan kebencian terhadap pemerintahan Jokowi tetap saja
tersisa hingga sekarang. Terlebih saat Jokowi diunggulkan dalam beberapa
polling quick count sebagai pemenang Pilpres.
Sisa-sisa
efek narasi kebencian terhadap Jokowi saat ini masih terlihat, terlebih saat
banyaknya pendukung Prabowo yang terjerat hukum karena mengancam keselamatan
Jokowi. Korbannya bukan hanya politikus pendukung Prabowo, tetapi juga
anak-anak dan pemuda yang tidak tau tentang politik. Bagi mereka, Prabowo
ibarat sebagai dewa kebenaran. Jelas mereka ini adalah korban kesalahan bangunan
narasi politik adu domba dan penuh kebencian. Kasihan mereka harus menanggung
akibatnya sendiri.
Emosional
para pendukung Prabowo sampai hari ini masih dimain-mainkan, berharap terjadi
kerusuhan dan penolakan terhadap hasil hitung resmi KPU. Narasi "people power" kemudian
dikumandangkan dari Rumah Kertanegara, rumahnya Prabowo oleh para pendukungnya.
Amien
Rais, adalah sosok politikus paling senior yang pertama menyampaikan soal people power. Dia adalah pendukung
Prabowo. Lebih tepatnya pembenci Jokowi.
Menciptakan
frame di ruang publik, bahwa Pemilu
curang dan KPU memihak Jokowi adalah bagaikan obat candu yang siapa saja
-terkhusus para pemuda- bisa menelannya bulat-bulat. Alhasil, kebencian
terhadap Jokowi semakin menebal. Terlebih, fanatisme terhadap Prabowo juga
semakin menjadi-jadi, hingga mereka tidak berpikir lagi tentang dirinya yang
suatu saat bisa saja terkena masalah hukum, karena ucapan dan statusnya di
media sosial.
Banyak
pemuda yang tidak paham UU kemudian mengekspresikan kebenciannya terhadap
Jokowi di media sosial, baik ancaman, makian dan kata-kata kasar. Tak hanya
kepada Jokowi, juga kepada anggota keluarganya. Karena ketidak tauan tersebut,
mereka sendiri yang dirugikan dan harus berhadapan dengan hukum sendirian.
Menolak
hasil Pemilu jelas adalah merupakan pelanggaran UU tentang kepemiluan, karena
KPU adalah lembaga yang sah untuk melaksanakan semua tahapan Pemilu hingga
mengumumkan hasilnya. Intinya, hasil Pemilu yang nantinya akan di umumkan KPU
adalah sah menurut UU. Siapa pemenangnya, itulah yang berhak menyusun kabinet
untuk pemerintahan selama 5 tahun kedepan.
Kapolri
Tito Karnavian dan Panglima TNI sudah menyiap siagakan Polri dan TNI untuk
menindak siapapun yang mencoba membuat kerusuhan nantinya di hari dan setelah
pengumuman hasil akhir dari KPU. Bahkan, Polri sudah menyiapkan pasal makar
untuk setiap orang yang bertindak diluar aturan hukum karena tidak terima
dengan hasil akhir Pemilu 2019.
"Kalau
seandainya ada ajakan untuk pakai people
power, itu mobilisasi umum untuk melakukan penyampaian pendapat, harus
melalui mekanisme ini. Kalau tidak menggunakan mekanisme ini, apalagi kalau ada
bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu pasal 107 KUHP jelas," kata
Kapolri Tito Karnavian.
Langkah
ini lebih tepatnya untuk mengajak semua masyarakat yang tidak terima dengan
hasil KPU -jika ada- untuk bertindak sesuai dengan mekanisme hukum yang
berlaku, yaitu melalui gugatan ke Bawaslu dan atau ke MK sebagai lembaga yang
sah menangani persoalan kecurangan Pemilu.
Kita
sebagai masyarakat harus bijak, bahwa negara kita bukan negara bar-bar atau
negara koboi yang memakai hukum rimba dan bisa bertindak seenaknya, tetapi
adalah negara berlandaskan hukum. Artinya, semua persoalan harus diselesaikan
berdasarkan hukum yang berlaku.
Jangan
terhasut oleh kepentingan kelompok yang berambisi kekuasaan. Mereka kemudian
dapat kekuasaan, lalu kita kemudian dapat apa? Jangan sampai kita mendekam
dipenjara akibat tindakan yang melanggar hukum.
Salam
sada roha dari Anak Medan.
h
o r a s !
EmoticonEmoticon