Wednesday, October 26, 2016

PAPUA “MERDEKA” BERSAMA INDONESIA

Ilustrasi
Siporsuk Na Mamora : Sudah seharusnya kalau perhatian pemerintah tak lagi bermain-main dalam memandang isu “Papua Merdeka”. Pendekatan-pendekatan yang lebih terukur dan baru harus dilakukan untuk meredam gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang telah masiv baik di tingkat Nasional maupun Internasional.

Ditingkat Internasional langkah tokoh-tokoh Gerakan Papua Merdeka tak lagi diragukan, hingga hari ini telah berhasil menggaet sedikitnya 6 negara pasifik yang tidak malu-malu lagi mendukung gerakan ini, mereka pada sidang Majelis Umum PBB ke-71 yang dilaksanakan di New York pada bulan September 2016 telah membawa isu Papua dalam pidato pandangan umum para pemimpin dunia tersebut.

Dalam sejarah pergerakan kebangsaan kita dimulai pada Kongres Pemuda II yang berhasil merumuskan naskah “Sumpah Pemuda”, ini kita percaya sebagai titik tolak semangat nasionalisme yang digelorakan dan dipropagandakan oleh  pemuda Indonesia hingga keseluruh lapisan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen ini dan berhasil hingga membawa kita pada kemerdekaan tepat pada 17 Agustus 1945.

Pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sumpah pemuda menjadi ketetapan yang sangat penting, hingga menjadi tolak ukur siapakah yang dikatakan Indonesia bisa mengacu pada orang-orang/pemuda yang ikut serta merumuskan isi sumpah pemuda tersebut, pada masa itu mereka menyebut diri sebagai perwakilan dari daerah masing-masing meskipun masih banyak yang memperdebatkan.

Fokus perdebatan yang mau kita soroti adalah perdebatan apakah Papua “meng-Indonesia-kan diri” atau “di-Indonesia-kan”, hal ini menjadi tema penting dalam diskusi yang berkembang di kalangan masyarakat.

Seperti yang saya tulis diatas, jika diskusi tentang Papua maka akan dimulai dari sejarah pelaksanaan Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) hingga Penentuan Pendapat Rakyat (1969).

Banyak kalangan yang memperdebatkan keterlibatan orang Papua dalam Kongres Pemuda II di Batavia. Di satu pihak, ada pendapat bahwa pemuda Papua tidak ikut serta dalam konferensi pemuda tersebut, dikarenakan Papua pada tahun 1928 baru berada pada tahapan pendidikan peradaban yang ketika itu di mulai di Mansinam oleh Pdt J van Hasselt yang dilanjutkan oleh Pdt I.S Kijne pada tahun 1925 di Miei, sehingga memungkinkan anak muda Papua belum banyak yang bersekolah, karenanya wawasan dan kesadaran berpolitk seperti pemuda Batak, pemuda Ambon, pemuda Jawa dan pemuda Islam, belum ada di Papua. Dipihak lain ada Ramses Ohae yang berkisah bahwa kedua orangtuanya, Abner Ohee dan Orpa Pallo ikut dalam Kongres Pemuda II tahun 1928. Mereka diutus oleh Sultan Tidore dan masuk dalam kumpulan Yong Ambon, karena pada waktu itu Tanah Papua masuk dalam kerajaan Kesultanan Tidore.

Sementara perdebatan diatas berlanjut, ada landasan hukum sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969 yang memutuskan Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera yaitu Papua kembali ke pangkuan NKRI walaupun ada perdebatan lagi mengenai keterwakilan dan tekanan yang dilakukan pihak pemerintah Indonesia terhadap perwakilan-perwakilan rakyat Papua.

Namun demikian sengitnya perdebatan diatas tak juga mampu menjawab secara kongkrit persoalan Papua, karena keinginan untuk memerdekakan diri tak cukup hanya soal “Sumpah Pemuda” dan “Pepera 1969”.

Keinginan untuk merdeka yang akhir-akhir ini digelorakan kelompok-kelompok KNPB sebagai induk organisasi Papua merdeka dilandasi pada salah satunya adalah gencarnya pelanggaran HAM dan kemudian tentang kesejahteraan rakyat Papua yang terkesan di anak tirikan, sementara kekayaan alam mereka dikuras habis oleh pemerintah. Setidaknya yang paling mencolok adalah kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua yang menjadi bahan kampanye jitu untuk mengambil simpatik dan dukungan dari negara-negara pasifik.

Di era Jokowi, pembangunan fisik sangat gencar dilakukan, baik di Papua maupun di daerah-daerah lain. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah itu yang menjadi kebutuhan Rakyat Papua hari ini? Atau apakah itu hanya untuk mengakomodir kebutuhan pihak-pihak “investor” saja?

Hal mendasar yang mereka inginkan adalah keterbebasan dari kemiskinan, penderitaan karena penyakit dan pengembangan kualitas manusia (SDM). Sering sekali kita yang dari daerah-daerah lain menempatkan orang Papua sebagai orang nomor dua ni negeri ini.

Merevolusi mental yang digelorakan Jokowi hendaknya tidak hanya menjadi bahan kampanye saja, mental merasa memiliki merasa menikmati hasil kemerdekaan ini juga harus dapat ditanamkan pada masyarakat Indonesia mulai dari yang tinggal di Sabang sampai Merauke.

Semoga pada peringatan hari sumpah pemuda yang ke-88 tahun ini bisa menjadi refleksi bersama pemuda di seluruh Indonesia tentang pentingnya memupuk dan merawat rasa nasionalisme kita bersama. Pemerintah juga demikian, mengambil perannya dalam membangun Indonesia juga dengan semangat nasionalisme yang sama terhadap setiap jengkal tanah ibu pertiwi, tidak ada lagi perbedaan prioritas, harus merata dan terukur serta seimbang.


*Siporsuk Na Mamora

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon