Ilustrasi |
Siporsuk Na Mamora : Sudah seharusnya kalau
perhatian pemerintah tak lagi bermain-main dalam memandang isu “Papua Merdeka”.
Pendekatan-pendekatan yang lebih terukur dan baru harus dilakukan untuk meredam
gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang telah masiv baik di tingkat
Nasional maupun Internasional.
Ditingkat Internasional langkah tokoh-tokoh
Gerakan Papua Merdeka tak lagi diragukan, hingga hari ini telah berhasil menggaet
sedikitnya 6 negara pasifik yang tidak malu-malu lagi mendukung gerakan ini, mereka
pada sidang Majelis Umum PBB ke-71 yang dilaksanakan di New York pada bulan September
2016 telah membawa isu Papua dalam pidato pandangan umum para pemimpin dunia
tersebut.
Dalam sejarah pergerakan kebangsaan kita
dimulai pada Kongres Pemuda II yang berhasil merumuskan naskah “Sumpah Pemuda”,
ini kita percaya sebagai titik tolak semangat nasionalisme yang digelorakan dan
dipropagandakan oleh pemuda Indonesia
hingga keseluruh lapisan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen ini dan berhasil
hingga membawa kita pada kemerdekaan tepat pada 17 Agustus 1945.
Pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sumpah
pemuda menjadi ketetapan yang sangat penting, hingga menjadi tolak ukur
siapakah yang dikatakan Indonesia bisa mengacu pada orang-orang/pemuda yang ikut
serta merumuskan isi sumpah pemuda tersebut, pada masa itu mereka menyebut diri
sebagai perwakilan dari daerah masing-masing meskipun masih banyak yang
memperdebatkan.
Fokus perdebatan yang mau kita soroti adalah
perdebatan apakah Papua “meng-Indonesia-kan diri” atau “di-Indonesia-kan”, hal
ini menjadi tema penting dalam diskusi yang berkembang di kalangan masyarakat.
Seperti yang saya tulis diatas, jika diskusi
tentang Papua maka akan dimulai dari sejarah pelaksanaan Sumpah Pemuda (28
Oktober 1928) hingga Penentuan Pendapat Rakyat (1969).
Banyak kalangan yang memperdebatkan keterlibatan
orang Papua dalam Kongres Pemuda II di Batavia. Di satu pihak, ada pendapat
bahwa pemuda Papua tidak ikut serta dalam konferensi pemuda tersebut,
dikarenakan Papua pada tahun 1928 baru berada pada tahapan pendidikan peradaban
yang ketika itu di mulai di Mansinam oleh Pdt J van Hasselt yang dilanjutkan
oleh Pdt I.S Kijne pada tahun 1925 di Miei, sehingga memungkinkan anak muda
Papua belum banyak yang bersekolah, karenanya wawasan dan kesadaran berpolitk
seperti pemuda Batak, pemuda Ambon, pemuda Jawa dan pemuda Islam, belum ada di
Papua. Dipihak lain ada Ramses Ohae yang berkisah bahwa kedua orangtuanya,
Abner Ohee dan Orpa Pallo ikut dalam Kongres Pemuda II tahun 1928. Mereka
diutus oleh Sultan Tidore dan masuk dalam kumpulan Yong Ambon, karena pada
waktu itu Tanah Papua masuk dalam kerajaan Kesultanan Tidore.
Sementara perdebatan diatas berlanjut, ada
landasan hukum sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969 yang memutuskan Sidang Umum PBB menerima dan
menyetujui hasil-hasil Pepera yaitu Papua kembali ke pangkuan NKRI
walaupun ada perdebatan lagi mengenai keterwakilan dan tekanan yang dilakukan
pihak pemerintah Indonesia terhadap perwakilan-perwakilan rakyat Papua.
Namun demikian sengitnya perdebatan diatas
tak juga mampu menjawab secara kongkrit persoalan Papua, karena keinginan untuk
memerdekakan diri tak cukup hanya soal “Sumpah Pemuda” dan “Pepera 1969”.
Keinginan untuk merdeka yang akhir-akhir ini
digelorakan kelompok-kelompok KNPB sebagai induk organisasi Papua merdeka dilandasi
pada salah satunya adalah gencarnya pelanggaran HAM dan kemudian tentang
kesejahteraan rakyat Papua yang terkesan di anak tirikan, sementara kekayaan
alam mereka dikuras habis oleh pemerintah. Setidaknya yang paling mencolok
adalah kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua yang menjadi bahan kampanye jitu
untuk mengambil simpatik dan dukungan dari negara-negara pasifik.
Di era Jokowi, pembangunan fisik sangat
gencar dilakukan, baik di Papua maupun di daerah-daerah lain. Tapi yang menjadi
pertanyaan apakah itu yang menjadi kebutuhan Rakyat Papua hari ini? Atau apakah
itu hanya untuk mengakomodir kebutuhan pihak-pihak “investor” saja?
Hal mendasar yang mereka inginkan adalah
keterbebasan dari kemiskinan, penderitaan karena penyakit dan pengembangan
kualitas manusia (SDM). Sering sekali kita yang dari daerah-daerah lain
menempatkan orang Papua sebagai orang nomor dua ni negeri ini.
Merevolusi mental yang digelorakan Jokowi
hendaknya tidak hanya menjadi bahan kampanye saja, mental merasa memiliki merasa
menikmati hasil kemerdekaan ini juga harus dapat ditanamkan pada masyarakat
Indonesia mulai dari yang tinggal di Sabang sampai Merauke.
Semoga pada peringatan hari sumpah pemuda
yang ke-88 tahun ini bisa menjadi refleksi bersama pemuda di seluruh Indonesia
tentang pentingnya memupuk dan merawat rasa nasionalisme kita bersama.
Pemerintah juga demikian, mengambil perannya dalam membangun Indonesia juga
dengan semangat nasionalisme yang sama terhadap setiap jengkal tanah ibu
pertiwi, tidak ada lagi perbedaan prioritas, harus merata dan terukur serta
seimbang.
*Siporsuk Na Mamora
EmoticonEmoticon