Partai Pendukung Jokowi |
“Bang,
haruskah kita memenangkan PDI-P untuk memenangkan Jokowi di Pilpres 2019,
seperti di tahun 2014?”
Begitu
kira-kira seorang teman mengajukan pertanyaan serius -dengan mata melotot-
kepada saya, yang sejak tahun 2013 adalah pendukung Jokowi.
Kegelisahannya
bisa saya tangkap dengan jelas, mungkin hatinya sedang “galau berat” saat ini. Karena
saya tau dia sedang dilanda kasmaran, baru-baru ini dia menyatakan cintanya
kepada partai baru, namun masalahnya, diam-diam dia masih menaruh cinta pada
PDI-P, sebabnya, karena Jokowi masih ada disana.
Ada
yang menarik pada Pemilu 2019 mendatang, yaitu dengan system baru yang akan
berlaku oleh KPU. Sehingga, situasinya sudah berbeda dengan Pemilu 2014 yang
lalu.
Letak
perbedaan pertama ada pada waktu pelaksanaannya.
Jika
di pemilu 2014 lalu, pemilihan anggota legislative (Pileg) DPRD Kabupaten/Kota,
DPRD Provinsi, DPD-RI dan DPR-RI dilaksanakan terlebih dahulu, kemudian setelah
itu baru dilaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan sekarang, Pileg dan Pilpres
dilaksanakan dengan waktu yang sama secara serentak di seluruh Indonesia.
Pertanyaan
yang jadi penting adalah, “Penentuan besaran persentase dukungan Capres dan
Cawapres 2019 di ambil dari mana?”
Disinilah
juga letak perbedaan kedua yang paling kentara. Catat ya…
Kalau
di Pilpres 2014, penentuan besaran persentase dukungan Capres dan Cawapres
ditentukan dari hasil Pileg 2014 –tahun itu- juga. Itulah salah satu fungsinya kenapa
Pileg dilaksanakan terlebih dahulu sebelum Pilpres. Karena persentase perolehan
kursi/suara partai di Pileg 2014 dipakai sebagai syarat dukungan untuk Capres
dan Cawapres di Pilpres setelah Pileg.
Lalu
di Pemilu 2019 mendatang gimana pulak?
Khusus
persentase dukungan kursi/suara partai pendukung bagai Capres dan Cawapres yang
akan maju di Pemilu 2019 nanti akan diambil dari hasil Pileg 2014 yang lalu.
Sedangkan persentasi hasil perolehan kursi/suara partai di Pileg 2019 mendatang
–jika tidak ada perubahan undang-undang pemilu- akan dipakai untuk pencalonan
Capres dan Cawapres di tahun 2024 mendatang.
Sampai
disini, perbedaan pelaksanaan Pemilu 2014 dengan Pemilu 2019 sudah jelas.
Artinya, persentasi dukungan partai kepada Jokowi untuk maju jadi Capres di
Pilpres 2019 sudah bisa kita hitung sekarang, tentu dengan menambahkan
persetase perolehan kursi/suara partai pendukung yang sejauh ini telah
menyatakan sikap akan mendukung Jokowi di Pilpres 2019 berdasarkan pada data perolehan
suara partai di Pemilu 2014 yang lalu. Partai tersebut adalah PDI-P (18,95%),
Golkar (14,75%), PKB (9,04%), NasDEM (6,72%), PPP (6,53%), Hanura (5,26 %) dan
PKPI (0%) beserta beberapa partai baru lainnya yang belum memiliki suara di
Pemilu 2014, yaitu PSI dan Perindo. Maka total dukungan untuk Jokowi di Pilpres
2019 adalah 62,6%. Itu artinya pencapresan Jokowi sudah aman untuk 2019.
Bagaimana
jika mengikuti aturan sebelumnya? Tentu saja tidak akan pernah ada kata aman,
karena persentase dukungan suara untuk Pilpres baru akan bisa diketahui saat
Pileg sudah selesai, yang dilaksanakan di tahun yang sama. Tidak ada istilah
membahas koalisi sebelum hasil pileg keluar, seperti halnya yang terjadi pada
pembentukan koalisi Jokowi di Pilpres 2014 sebelumnya. Itu sebabnya, dulu kita
mati-matian mengajak orang untuk memenangkan PDI-P beserta para calegnya –sekalipun
kita tau dari mereka banyak yang korup– di
Pileg 2014. Semua itu semata-mata tujuannya tentu hanya satu, untuk mengamankan
pencapresan Jokowi di 2014 yang saat itu hanya baru memiliki kepastian mutlak dukungan
dari PDI-P saja. Sedangkan NasDEM, elektabilitasnya juga ikut terdorong, karena
waktu itu secara cuma-cuma mereka mendeklarasikan Jokowi jadi Capres 2014.
Kembali
ke pertanyaan utama di awal artikel ini, “Bang, haruskah kita memenangkan PDI-P
untuk memenangkan Jokowi di Pilpres 2019, seperti di tahun 2014?”
Jawabannya,
tentu saja tidak harus. Lalu bagaimana?
Saat
ini, bangsa kita ini sudah memiliki perbaikan yang sangat maju, pelayanan juga
semakin mudah dan pembangunan infrastruktur juga sedang bersemangat.
Yang
jadi persoalan adalah, semakin maraknya sifat dan tindakan-dindakan
intoleransi, radikalis dan terorisme. Ada juga yang secara terang-terangan mau
mengganti Pancasila dengan Khilafah. Kemudian, maraknya korupsi para pejabat
lembaga tinggi Negara, terkhusus seperti di DPR-RI.
Orang-orang
yang memiliki kelakuan diataslah yang ingin kita singkirkan, agar usaha Jokowi
bersambut baik, serta Negara juga maju dan rakyatnya sejahtera dan makmur, dan
Pancasila serta NKRI pun jaya.
Dengan
begitu, yang harus kita lakukan adalah memilih caleg-caleg yang bagus, jujur,
pekerja keras dan memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Mereka-mereka ini
ada di 9 partai pendukung Jokowi. Bukan ditempat lain. Artinya, pilihan caleg
di 2019 semakin beragam.
Pilihlah
caleg terbaik yang berasal dari partai-partai pendukung Jokowi di Pemilu 2019,
manfaatnya agar pemerintahan Jokowi kedepan bisa berjalan lebih stabil dan
lancar. Yang korup jangan di pilih lagi, apalagi yang intoleran, radikal dan
diam-diam pendukung khilafah dan teroris.
Jadi
intinya, jangan mau terfokus hanya untuk satu partai, hanya karena partainya
Jokowi. Tetaplah rasional dan cerdas memilih. Karena pilihan kita nanti, akan menentukan pencapresan di Pilpres 2024 mendatang.
Salam
sada roha dari Anak medan.
h o r a s !
EmoticonEmoticon