Friday, February 3, 2017

Selow Kau Ahok

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Siporsuk Na Mamora - Ada yang bilang, kalau semua sama di mata hukum, tak ada tua dan tak ada muda, juga tak ada kaya dan tak ada miskin. Itu secara teorinya, dalam prakteknya mungkin mereka para pelaku yang lebih tau, sebagai manusia yang "biasa-biasa" saja kita hanya bisa mengamati dari luar.

Hal ini yang mungkin ada dalam fikiran si Ahok ketika dia didudukkan di kursi pesakitan oleh majelis hakim atas tuduhan penodaan agama yang dilakukannya saat cuap-cuap di kepulauan seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Kita harus memahami psikologisnya Ahik sebagai orang yang merasa di "kriminalisasi" oleh beberapa orang yang berkepentingan politik, yang tidak rela kalau dia jadi pemimpin di DKI Jakarta.

Tempatkan saja diri kita pada posisinya, apa yang anda lakukan ketika diperhadapkan dengan seorang saksi yang sangat berpotensi memberatkan anda dipersidangan? Mari kita lepaskan semua atribut dulu, agar semuanya bisa berfikir jernih.

Mungkin bagi sebagian pihak, ada suatu pemahaman "saling membela" satu sama lain tak peduli siapa yang salah dan siapa yang benar, atau situasinya seperti apa dan bagaimana, yang penting dia bagian dari mereka yang harus dibela dengan alasan eksistensi kelompoknya masing-masing. Mungkin ini saya sebut "solidaritas membabi buta".

Ada perbedaan fundamental disini, antara Ahok dan kelompok tersebut. Yang pertama soal keimanan dan histori keyakinan yang mereka anut dan telah mendarah dan daging.

Kita lihat dari sisi Ahoknya ya...

Masih ingat dengan kisah Yesus Kristus? Dia bagi saya adalah Tuhan, mungkin juga bagi sebagian orang yang berada di Galilea pada masa kisah ini terjadi.

Apa yang dilakukan pengikut-Nya pada saat Yesus Kristus di caci maki, diludahi dan bahkan di olok-olok lebih buruk dari seorang Barabas yang telah di vonis sebagai penghasut dan penyamun?

Ya... Berdoa dan tidak berlaku reaktiv, apalagi mencaci maki Pilatus dan ahli-ahli taurat dengan tujuan agar bebas dari hukuman penyaliban. Mereka tau bahwa Yesus benar dan mungkin mereka sadar bahwa mereka minoritas dan akan kalah ketika melawan dengan cara yang sama seperti kebanyakan orang yang menuntut pembebasan Barabas oleh Pilatus.

Jangan salah tangkap, saya jelaskan soal duduk persoalan antara penuntut pembebasan Barabas dan orang-orang yang menaruh curiga apabila pengikut Yesus semakan banyak, maka kelak mereka akan kehilangan kekuasaan. Artinya mereka semua telah menyatu menjadi satu, sama-sama ketakutan kehilangan kekuasaan.

Dari kisah singkat ini, saya ingin menjelaskan bahwa Ahok dan pendukungnya harus selow dan kerja untuk memenangkan Ahok dengan cara-cara yang elegan dan tanpa masuk dalam pusaran politik kotor yang sengaja diciptakan sebagai jebakan untuk Ahok.

Apa yang salah ketika seorang saksi didesak di pengadilah untuk menyampaikan informasi/kesaksian yang benar? Saya fikir sah-sah saja, alasan teorinya seperti yang saya sebutkan di alinea pertama.

Kisah ini adalah pelajaran penting bagi Ahok, untuk memenangkan sebuah pertarungan besar di DKI Jakarta, walaupun ini konteksnya berbeda, Ahok dalam konteks pertarungan politik dan Yesus sebagai Allah yang telah menjadi manusia dalam konteks penebusan dosa manusia.

Kebetulan kisah ini juga memberi penjelasan bahwa, kebenaran tak harus diperjuangkan dengan keramaian, keriuhan dan perang urat syaraf, biarkan mengalir seperti sungai menemukan muaranya. Yakinlah bahwa kebenaran juga akan menemukan jalannya.

Sementara "solidaritas membabi buta" yang saya sebutkan tadi adalah untuk mengaburkan pandangan orang kebanyakan terhadap tindakan ketidak benaran seseorang. Contoh kita lihat lagi dari kisah Yesus, tuntutan pembebasan Barabas tidak lagi melihat kesalahannya, akan tetapi sudah pada posisi bagaimana caranya agar Yesus Kristus mati di salibkan, dengan begitu kekuasaan akan tetap di tangan mereka.

Yesus pernah marah besar, tetapi bukan di pengadilan pemerintahan Pilatus, melainkan di dalam Gereja Allah yang telah beralih fungsi menjadi pajak. Itupun hanya sekali, selebihnya ditempat yang lain, beliau hanya mengajar dengan lembut, dengan perumpamaan dan dengan mujizat (pembuktian kemampuan/kinerja) tanpa menyinggung orang lain.

Sukses terus Ahok, semoga mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.

Untuk bapak yang tersinggung, terimakasih untuk maafmu, maaf untuk Ahok adalah maaf untuk kesalahan semua orang yang berfikir tentang cara mendapatkan keadilan tanpa mengenal umur.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon