Foto : Adrian Valckenier |
Siporsuk Na Mamora -
Sudah sejak lama aku mengingat-ngingat kembali sejarah ini, bertanya-tanya
dibuku mana pernah aku baca ya? Apakah kebencian terhadap etnis Tionghoa memang
adalah dikarenakan Ideologi Komunis yang selalu dituduhkan kepada mereka
sekarang ini yang ditambah dengan candu negeri ini terhadap Agama dan paham
kekanan-kananan?
Sembari
berfikir, saya mengacak-ngacak kembali bundelan buku lama yang telah saya
simpan didalam kardus, mengingat-ingat dan membaca kembali, ternyata dulu
penjajah Belanda juga pernah membantai kurang lebih 10.000 orang Tionghoa di
Batavia pada tahun 1740, jauh sebelum kita meredeka, yaitu 205 tahun sebelum
Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada
hal menarik disana, saat itu masih jaman VOC, dibawah kepemimpinan Gubernur
Hindia-Belanda ke-25 yang memerintah sejak tahun 1737 – 1741 bernama Adriaan
Valckenier, seorang pencetus/memimpin pembantaian etnis Tionghoa, tepatnya di
Toasebio dan di Bidara Cina, Batavia yang sekarang kita kenal dengan Kota
Jakarta.
Pembantaian
saat itu berbeda, bukan karena kebencian yang lalu kemudian dibantai karena
dituduhkan penganut paham Komunis seperti sekarang ini, melainkan karena
ketakutan Belanda akan kelihaian mereka dalam hal berdagang, Belanda takut
kalau suatu saat mereka akan menguasai perdangangan di nusantara yang secara
otomatis akan melemahkan langkah VOC dalam monopoli pasar.
Pembantaian
yang dilakukan Belanda tersebut tidak kalah jauh lebih kejam dari
"image" yang selama ini diciptakan Orde Baru terhadap Komunis, seperti
yang kita lihat di film G30S-PKI yang selalu diputar pada malam tanggal 30
September setiap tahunnya dikala Soeharto berkuasa.
Ditembak,
ditusuk, disembelih dan lalu dibuang begitu saja kemanapun tempat yang mereka
suka, tak terkecuali terhadap anak-anak, wanita dan laki-laki dewasa, semua
rata dibantai dan dimusnahkan oleh Belanda. Tidak kalah kejam dari film
G30S-PKI yang dipertontonkan Orde Baru itu bukan?
Perbedaan
dulu dan saat ini akan kebencian kita terhadap etnis Tionghoa sangat jauh berbeda,
sekarang malah lebih parah karena membawa-bawa Agama.
Bayangkan,
dimasa penumpasan PKI, ada sekitar lebih dari ratusan ribu bahkan jutaan nyawa
melayang hanya atas nama Tuhan, tuduhan PKI tidak beragama, keji dan tidak
manusiawi, itu yang selalu kita ingat sampai sekarang, bahkan, sekarang isu itu
mau dinaik-naikkan kembali kepermukaan oleh orang-orang yang mengaku pembela
Agama, kemudian merembes kepada Ahok dan etnis Tionghoa yang lainnya, seolah
kelompok Agamais itu menuduhkan jari telunjukkya tepat di depan wajah saudara
kita etnis Tionghoa “woi... woi... komunis!”. Yang lebih parah, opinipun
digiring dan diarahkan seolah-olah kalau Ahok menang di Pilkada DKI Jakarta
menjadi bukti bahwa Komunis kembali bangkit. Loh... Sadarkah kita, bahwa
kebencian ini awalnya terpolarisasi karena Belanda? Hanya barang kali berbeda
bungkus saja. Apakah kita juga sadar bahwa "image" membenci etnis
Tionghoa adalah merupakan warisan dari penjajah Belanda?
Oke,
saya ingin bicara soal keunggulan gen, saya tidak ingin berbicara soal istilah pribumi
atau non-pribumi, pendatang atau tidak pendatang. Kita sepakati saja dalam
pembahasan ini tentang perbedaan gen. Antara gen Batak, Jawa, Papua, Madura,
Dayak dan lain-lain dibandingkan dengan gen etnis Tionghoa.
Bisa
jadi memang gen etnis Tionghoa lebih unggul, mereja juga lebih pekerja keras
dan bahkan tidak menutup kemungkinan juga republik ini akan dikuasai oleh
mereka, dengan kata lain bahwa kita memang suatusaat akan terpinggirkan, karena
peradaban akan maju terus, salah satu kemajuannya adalah seperti yang kita
lihat hari ini di DKI Jakarta.
Tetapi
membenci dan bahkan membantai etnis Tionghoa semuanya hari ini jugapun atas
tuduhan Komunis takkan bisa menghentikan mereka untuk maju, masih ingat sejarah
Nazi yang membantai orang-orang Yahudi? Tidak ada gunanya, Yahudi bahkan
sekarang semakin menguasai disegala lini. Sebenarnya yang bermasalah adalah
kita, kita yang masih dibelenggu kemalasan, kebodohan, korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Sementara
kita yang sibuk mencari bagaimana caranya menghentikan mereka, termasuk dengan
cara menebar kebencian, tuduhan Komunis, mereka akan sibuk menempah diri agar semakin
maju dengan etos kerja yang tinggi, belajar dan menjadi manusia-manusia unggul,
lebih unggul dari kita.
Letaknya
penyelesaiannya bukan kita harus membenci mereka, mengusir dan atau membantai
mereka dengan tuduhan-tuduhan yang tanpa alasan itu, sejak awal kita adalah
tuan rumah yang ramah, tetapi Belandalah yang mewariskan kebencian itu kepada
kita, memunculkan rasa curiga selalu terhadap etnis Tionghoa, tetapi kita
memang harus mengebut ketertinggalan cara fikir, ketertinggalan ilmu dan
ketertinggalan kemajuan, hingga menjadi
manusia-manusia yang unggul.
Kita
lupakan sejenak soal keunggulan gen.
Kita
hanyalah korban, korban dari warisan budaya kebencian yang diwariskan VOC atau Belanda
penjajah!
Bukan
karena Komunis, dan bukan pulak karena kita terlalu Agamais, tetapi semua
hanyalah karena perebutan seonggok tanah emas di perut ibu pertiwi.
Jadi,
stop menganggap bahwa ini masalah Komunisme dan Agamaisme, ini hanyalah soal
pola yang sengaja diciptakan agar kelompok yang haus kekuasaan lebih mudah
mendapatkannya kembali, siapa lagi kalau bukan orang-orang titisan Orde Baru?
Selebihnya
itu, mari kita beradu menjadi manusia-manusia yang unggul.
Membantai
orang lain dengan alasan untuk mendapatkan kekuasaan lebih terhormat ketimbang
membantai orang lain atas nama Agama.
Kesimpulannya,
Belanda jauh lebih terhormat membantai Tionghoa dengan alasan ketakutan akan menguasai,
daripada oknum-oknum sekarang yang menganggap dirinya paling pribumi dan paling
Agamais tetapi menebar kebencian terhadap etnis Tionghoa dengan mengatas
namakan Tuhan dan Agama.
Merevolusi
mental seperti yang dikatakan Pak Jokowi adalah kuncinya, berlomba-lomba maju,
termasuk juga meninggalkan mental-mental terjajah warisan para penjajah.
EmoticonEmoticon