Tuesday, May 30, 2017

Mie Gomak Mengintai Generasi Suku Batak

Ilustrasi Mie Berformalin
Siporsuk Na Mamora - Tahun yang lalu, saya pernah bertemu dengan seorang dokter yang bertugas di salah satu puskesmas yang ada di Kota Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara.

Kami banyak bercerita tentang makanan mie-miean yang banyak dijual di kawasan Danau Toba, bahkan ada yang sudah menjadi makanan khas penduduk lokal, yang disebut dengan mie gomak. Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke daerah ini tanpa memakan makanan tersebut.

Saya bahkan salah satu orang yang menggemari makanan mie gomak buatan inang-inang Batak ini. Resepnya yang khas dengan bumbu-bumbu dan rempah-rempah lokal seperti andaliman dan lain-lain membuat makanan ini menjadi salah satu rekomendasi makanan yang wajib anda coba jika berkunjung ke daerah ini, karena memiliki rasa khas Tanah Batak.

Saya ingat betul, setiap saya berkunjung ke Danau Toba, baik sendiri atau bersama dengan tamu, menu makanan sarapan pagi kami pasti tidak lain adalah mie gomak. Hal ini rutin saya lakoni, karena menu ini sangat pas dijadikan sarapan dipagi hari yang sejuk sambil bersantai ditemani teh manis atau kopi.

Kenapa saya begitu menggemari makanan ini saat berkunjung ke Danau Toba? Alasannya karena ini adalah kesempatan makan mie gomak yang jarang terjadi. Ditambah lagi bahwa makanan ini tidak akan anda temui di daerah lain, seperti Medan.

Namum kelihatannya selera makan mie gomak harus rela saya kurangi setelah mendapat penjelasan dari dokter yang saya sebut diatas. Beliau menjabarkan penjelasan dari perspektif kesehatan yang sangat panjang dan masuk akal akan bahayanya mengkonsumsi bahan mie yang dipakai untuk membuat mie gomak. Saat itu juga, beliau meminta saya untuk segera berhenti mengkonsumsi mie gomak.

Akan tetapi, jujur saat itu saya masih menyimpan keraguan dan belum sepenuhnya yakin terhadap pendapat dokter tersebut, karena tidak disertai dengan dasar penelitian atau hasil tes laboratorium. Penjelasannya masih mengacu pada konteks mie instan dan mie lidi yang banyak dijual dipasaran. Saya hanya yakin dengan pendapatnya tak lebih karena didukung faktor profesinya saja sebagai dokter.

Sayapun berfikir, bisa jadi bahan mie yang digunakan untuk membuat mie gomak tersebut adalah mie buatan sendiri, karena pengalaman saya yang pernah menanyakan secara langsung kepada seorang ibu penjual mie yang mengatakan bahwa mie yang mereka gunakan adalah mie buatan sendiri.

Selain itu, saya juga berfikir, kalau saja mie instan dan mie lidi yang menyebar dimasyarakat mengandung bahan yang berbahaya bagi tubuh, kenapa pemerintah masih membiarkannya? Dan kenapa juga seorang dokter seperti mereka tidak melakukan penelitian yang resmi agar masyarakat seperti saya bisa memiliki alasan yang kuat untuk berhenti memakan mie gomak.

Satu lagi, saya juga mempertimbangkan satu hal yang tidak kalah jauh penting. Jika kita semua berhenti mengkonsumsi mie gomak, lantas apa lagi nanti yang akan menjadi sumber pendapatan ekonomi inang-inang mie gomak disana untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan sekolah anaknya?

Pertimbangankupun semakin melebar, saya malah berfikiran kalau ini sebuah politik ekonomi untuk mematikan sumber ekonomi masyarakat kecil. Lalu kemudian saya menyalahkan pemerintah yang tidak tegas pada peredaran bahan mie-miean berbahaya dipasaran.

Biasalah ya... Kalau kita memang sudah keburu menyukai sesuatu, baik benda ataupun makanan, maka alasan pembenaran apapun pasti kita cari. Seperti saya yang sejak dulu telah menyukai makanan mie gomak.

Hingga sampai pagi ini, saya membaca sebuah hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh BPOM terhadap salah satu bahan mie yang banyak beredar di pasar Balige baru baru ini yang dipimpin langsung oleh Kepala BPOM Pusat, Penny Kusumastuti.

Menurut hasil tes laboratorium tersebut, salah satu bahan mie kuning yang beredar di pasar onan Kota Balige mengandung bahan berbahaya, yaitu bahan kimia formalin yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat.

Kenyataan ini membuat saya kaget, dan yang pasti saya semakin yakin kalau mie gomak yang saya makan selama ini telah membahayakan kesehatan saya. Karena sepanjang yang saya ketahui, jangankan mengkonsumsi, mencium bahan formalin saja dalam waktu yang lama kita bisa terkena kanker hidung.

Hal yang lebih mengagetka  lagi, tentang kenyataan bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan berformalin bisa menyebabkan kelainan genetika bagi manusia.

Hayalan saya melambung jauh kemudian tentang bahaya yang mengintai generasi suku Batak kedepannya. Ternyata, bukan hanya limbah TPL saja yang menjadi ancaman sekarang, tetapi turut juga bersumber dari makanan kegemaran masyarakat disana, yaitu mie gomak.

Kita tau betul, limbah TPL juga selama ini telah meracuni manusia disekitar Danau Toba, akibatnya sangat fatal terhadap kesehatan dan genetika manusia yang lahir kemudian. Tidak jauh beda dengan resiko saat kita mengkonsumsi makanan berformalin.

Saya juga semakin pesimis dengan membaca kenyataan dalam artikel yang merilis hasil tes laboratorium BPOM tersebut, terkhusus tentang sikap pedagang yang justru masih ngotot menjual mie berjenis yang sama dengan mie yang telah dinyatakan BPOM mengandung bahan formalin tersebut kepada masyarakat. Jelas-jelas makanan itu akan mengancam kesehatan masyarakat kita, kenapa masih ngotot menjualnya hanya dengan alasan tidak ada lagi barang yang mau dijual selain mie tersebut?

Pedagang tersebut harusnya mengintropeksi diri, lebih selektif dan berhati-hati, atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang jika menemukan ciri-ciri mie yang mengandung bahan formalin seperti yang disebutkan Kepala BPOM Penny Kusumastuti, agar masyarakat Batak disekitar Danau Toba bisa terhindar dari kemungkinan bahaya kesehatan yang ditimbulkannya. Bukan malah menjualnya kembali dan membodoh-bodohi pembeli hanya dengan alasan untuk mendapat keuntungan yang lebih.

Jikalaupun ingin tetap jualan mie, janganlah menjual mie yang berformalin, atau yang berasal dari toke/produsen mie yang sama. Lihatlah dan telitilah mana mie yang layak dikonsumsi untuk dijual kepada masyarakat.

Artikel ini saya maksudkan untuk bahan refleksi, agar kita semua sadar makanan  sehat. Bukan berarti saya melarang makan makanan mie gomak atau jualan mie gomak.

Tujuan pembuatan artikel ini ada tiga hal :

Pertama, jika kita sebagai penjual bahan mie, mari menjual bahan mie yang tidak mengandung formalin. Ciri-cirinya gampang diketahui dari karakteristiknya, yaitu mengkilat dan tidak lengket. Jika menemukan ciri-ciri mie seperti itu, maka berhentilah untuk menjualnya kepada masyarakat.

Kedua, jika kita sebagai penjual mie  gomak, juallah mie gomak berbahan mie yang aman dari kandungan pengawet formalin. Atau jangan menggunakan bahan mie yang tidak memiliki ijin/tersertifikasi BPOM yang dapat dilihat dari bungkusnya. Bila perlu, bahan mienya dibuat sendiri.

Ketiga dan terakhir untuk para konsumen, jangan mengkonsumsi mie-miean secara berlebihan atau terus-menerus.

Kita jangan ngotot membeli atau menjual makanan berbahan mie kepada masyarakat yang sudah jelas-jelas kita tau mengandung bahan pengawet kimia formalin mengacu pada ciri-ciri yang sudah saya jabarkan diatas hanya untuk mendapat keuntungan lebih banyak. Ini demi kesehatan masyarakat kita kedepannya.

Jika tidak selektif dan teliti, masa depan generasi kita berikutnya akan menjadi taruhannya.

Salam sada roha dari Anak Medan. HORAS!

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon